Data tahun 2018 menunjukkan bahwa Indonesia berada di 10 besar negara dengan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terbaik di dunia di bawah Cina, Amerika Serikat, India, Jepang, Jerman, dan Rusia. Sedangkan negara-negara besar lainnya, seperti Brasil, Inggris, dan Perancis, secara berturut-turut berada di bawah Indonesia.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi mata uang Indonesia yang mengalami kinerja buruk di tahun yang sama. Rupiah mengalami pelemahan yang cukup signifikan terhadap dolar AS. Salah satu faktor yang memengaruhinya adalah kebijakan stimulus tax cut yang dijalankan oleh Presiden Trump.
Kebijakan tersebut mendorong The Fed untuk menaikkan nilai acuan suku bunga dan melakukan strategi quantitative ease guna meningkatkan likuiditas keuangan di AS. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi global yang dimotori oleh AS, Cina, dan Eropa mengalami pertumbuhan yang menggembirakan.
Akan tetapi, meskipun tren ekonomi global mengalami pertumbuhan yang menggemberikan, data menunjukkan bahwa Cina justru menghadapi pelambatan ekonomi akibat dari perang dagang yang terjadi dengan Amerika Serikat.
Imbas dari perang dagang dengan Amerika Serikat tersebut tidak hanya dirasakan oleh sektor perdagangan, namun, sektor keuangan Cina juga memperoleh dampak negatif yang ditunjukkan oleh pelemahan Yuan terhadap Dolar AS.
Secara kontekstual, di tengah kecamuk perang dagang serta dominasi AS dalam pasar keuangan dunia, kinerja model kapitalisme Indonesia dan Cina dalam menghadapi disrupsi ekonomi tersebut cukup menarik untuk diamati.
Apakah kebijakan yang diambil oleh institusi keuangan kedua negara tersebut mampu mempertahankan nilai ekonomi mereka, atau memang tren pelemahan pada sektor keuangan merupakan tindakan yang disengaja guna mempertahankan diri dari gejolak ekonomi kapitalistik dunia di bawah kepemimpinan Amerika Serikat.
Kerangka Perbandingan
Amerika Serikat di bawah Trump menjadi variabel penting bagaimana negara seperti Indonesia dan Cina menghadapi tantangan guna mempertahankan pertumbuhan ekonomi mereka sesuai dengan target yang dicanangkan. Realisasi pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai target menunjukkan bahwa pengaruh AS di bawah Trump cukup siginifikan dalam memengaruhi hal tersebut.
Selain itu, Indonesia dan Cina menjadi representasi atas sistem ekonomi liberal dan non-liberal di mana kedua model tersebut akan coba dikomparasi penulis melalui penerapan kebijakan yang diambil oleh masing-masing negara dalam sektor keuangan.
Pertanyaan mendasar yang coba ditelusuri penulis adalah bagaimana model kapitalisme liberal dan non-liberal Indonesia dan Cina menghadapi disrupsi ekonomi global di bawah kepemimpinan kapitalistik Amerika Serikat.
Dalam pembahasan ini, penulis coba mengurai secara singkat pola kebijakan moneter negara Indonesia dan Cina dalam menghadapi strategi kapitalistik AS di pasar global.
Sentralisasi Kebijakan Bank Sentral
Meskipun Indonesia tidak berhadapan langsung dengan AS dalam konteks perang dagang, namun dinamika yang terjadi antara AS dan Cina tetap memberikan pengaruh terhadap ketahanan Indonesia.
Kebijakan moneter Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia (BI) yang menganut kerangka kerja Inflation Targeting Framework (ITF) di mana selanjutnya dikuatkan melalui mekanisme Flexible ITF dengan mengacu pada fleksibilitas ITF dalam merespons kompleksitas keuangan dunia sebagai salah satu instrumen kuat dalam memengaruhi makroekonomi, dengan penggunaan suku bunga sebagai sasaran operasional.
Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak 1 Juli 2005 setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter.
Dalam menghadapi konteks perang dagang yang berimbas pada melemahnya mata uang, BI mengeluarkan sejumlah kebijakan: penyesuaian suku bunga dan intervensi di pasar valuta asing.
Penyesuaian suku bunga acuan dilakukan sebesar 125 basis poin agregat hingga menyentuh posisi 5,5 persen. Langkah ini diharapkan dapat merespons para pelaku pasar dan penanam modal untuk meningkatkan produksi dan menanamkan investasinya.
Di samping itu, BI juga melakukan langkah intervensi valuta asing (valas) dengan membeli surat berharga negara di pasar sekunder, membuka lelang FX swap, dan membuka windows swap hedging. Total pembelian yang dilakukan BI mencapai Rp11,9 triliun.
Senjata Mata Uang
Kebijakan yang diambil oleh People Bank of China (POBC) cenderung normatif. Melalui publikasi yang dilancarkan secara masif melalui media pemerintah, bank sentral Cina menekankan bahwa guna mengatasi tarif tinggi yang diberlakukan AS, maka mereka akan mengambil langkah bijaksana dan netral, menjaga likuiditas yang masuk akan dan stabil, serta mengendalikan pasokan uang untuk memfasilitasi reformasi struktural pada bidang keuangan.
Selama perang dagang berlangsung, nilai tukar Yuan telah terperosok 9 persen terhadap mata uang Dolar AS. Akan tetapi, hal tersebut dipertanyakan oleh AS di mana Presiden Trump menuding bahwa Cina telah melakukan manipulasi nilai tukar Yuan.
Ia menuding bahwa Cina sengaja melakukan strategi penurunan nilai mata uang guna mendorong nilai ekspor yang turun akibat pengetatan tarif yang dilakukan Amerika Serikat.
Di samping itu, bank sentral Cina juga menyuntikkan dana sejumlah USD74 miliar ke dalam sistem perbankan untuk menunjang fasilitas pinjaman jangka menengah. Langkah ini diambil sebagai bentuk lanjutan atas pelonggaran fiskal yang diambil oleh pemerintah setempat.
Simpulan
Model kapitalisme liberal yang dijalankan oleh Indonesia dalam menghadapi disrupsi ekonomi pada era perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina mengandalkan peranan dari komponen institusional ekonomi negara.
Bank sentral berperan aktif dalam menjaga stabilitas ekonomi melalui instrumen kebijakan moneter dan finansial dengan mengatur suku bunga acuan, nilai mata uang, intervensi pasar, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang berlaku sistemik.
Tidak berbeda jauh dengan Indonesia, meskipun model kapitalisme Cina non-liberal, langkah-langkah strategis dalam perang dagang dengan Amerika Serikat masih dilaksanakan oleh bank sentral setempat. Instrumen kebijakan seperti suku bunga acuan, nilai matau uang, pun dengan intervensi perbankan menjadi bingkai besar bagaimana komponen institusional memegang peranan penting dalam tradisi kapitalisme di Cina.