Walisongo selalu menjadi rujukan utama bagi para peneliti tentang masuknya agama Islam ke Indonesia. Sunan Ampel merupakan tokoh Walisongo pertama yang datang dari negeri Champa ke Indonesia. Kemudian Sunan Ampel mulai menyebarkan agama Islam ketika telah bermukim di Jawa.
Sunan Ampel dianggap sebagai tokoh pertama yang berhasil mengislamkan sebagian besar masyarakat Jawa sehingga tentu sangat menarik untuk kita bahas secara detail. Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada tokoh pendakwah Islam di Jawa sebelum kedatangan Sunan Ampel. Ada tokoh-tokoh Islam seperti Syekh Jumadil Kubro, Syekh Kuro, Syekh Datuk Kahfi, Syekh Maulana Akbar, dan lain-lain.
Baca Juga : Pokok Pemikiran tasawuf Hasan al-Basri
Ada banyak pertanyaan yang timbul akibat adanya fakta-fakta sejarah tersebut, di antaranya mengapa para tokoh penyebar Islam sebelum era Walisongo tersebut tidak mampu mengislamkan masyarakat Jawa? Mengapa Walisongo dianggap lebih berhasil dari tokoh-tokoh di atas? Dan berbagai pertanyaan lainnya.
Maka dari itu, buku ini dihadirkan oleh penulisnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu. Dalam buku ini diterangkan bahwa salah satu metode dakwah yang digunakan oleh Walisongo ialah strategi budaya yang bersifat akulturatif, persuasif dan evolutif.
Salah satu isi buku ini bahwa Sunan Ampel menerapkan strategi budaya akulturasi adalah dengan adanya gagasan “angajawi” atau menjadi Jawa (baca: Nusantara). Angajawi menjadi sebuah term harian yang digunakan oleh Sunan Ampel ketika dia berinteraksi dengan komunitas luar (non-Nusantara).
Sunan Ampel berhasil berdakwah kepada masyarakat Jawa dengan cepat dikarenakan beliau menggunakan metode dakwah budaya. Beliau meleburkan dirinya sebagai wong jowo atau disebut sebagai angajawi (menjadi Jawa) dengan berpakaian Jawa dan berinstrumen Jawa.
Sikap yang ditunjukkan oleh Sunan Ampel ini sudah tentu akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa. Kita pasti akan lebih nyaman jika berkumpul dan berinteraksi dengan orang-orang yang masih satu kelompok dengan kita.
Metode dakwah Anggajawi ini dapat kita lihat juga dengan term yang lebih modern pada pemikiran Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang mulai diperkenalkan pada tahun 1980-an. Gagasan ini pada dasarnya merujuk pada gagasan tentang dialektika antara norma ajaran Islam dan kebudayaan hasil cipta manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.
Dalam buku ini disebutkan bahwa banyak sekali pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil dari sosok Sunan Ampel. Salah satu ajaran beliau yang sangat masyhur adalah larangan 5 M (Moh-limo): Emoh maen (tidak berjudi), Emoh ngombe (tidak minum minuman keras), Emoh madat (tidak narkoba dan sejenisnya), Emoh maling (tidak mencuri) dan Emoh madon (tidak berzina).
Ajaran Moh-limo ini merupakan perlawanan terhadap ajaran Mo-limo (lima tahapan spiritual) dari aliran Tantrayana. Bagi sekte ini, setiap manusia harus melakukan lima tahapan spriritual tersebut untuk mendapatkan pembebasan spiritual tertinggi dan abadi yang disebut dengan Pancamakara.
Lima tahapan tadi meliputi mamsha (daging), matsya (ikan), madya (minuman keras), maithuna (bersetubuh sepuas-puasnya) dan mudra (bersemedi). Ajaran ini sudah jelas bertentangan dengan Islam dan Sunan Ampel memberikan perlawanan secara bijak dengan menciptakan ajaran Moh-limo.
Maka Sunan Ampel sebagai salah satu Walisongo yang digambarkan oleh penulis sebagai sosok pendakwah yang akulturatif, persuasif dan evolutif dapat dipertanggungjawabkan. Karena strategi dakwah seperti Anggajawi dan Moh-Limo merupakan bentuk nyata dari metode dakwah budaya tersebut.
Namun, ketika penulis menyatakan hal-hal seperti Anggajawi dan Moh-limo dalam buku ini masih belum dijelaskan secara detail tentang sumber yang diambil penulis. Dalam melakukan penelitian sejarah ada tahap heuristik di mana kita harus mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah baik sumber primer ataupun sekunder.
Penulis sendiri tidak mencantumkan sumber apa yang digunakan dalam menarasikan dakwah Sunan Ampel dengan ajaran-ajarannya tersebut. Sebagai akademisi sudah tentu kita harus mencermati hal ini karena menyangkut akan validitas dan kredibilitas sejarah tersebut.
Gaya bahasa yang cenderung naratif memang membuat buku ini lebih enak dan mudah dibaca oleh semua kalangan, namun memiliki kelemahan berupa buku ini menjadi mirip seperti novel sejarah yang biasanya memiliki sifat fiksi. Padahal buku ini seharusnya menyajikan fakta sejarah secara murni.
Teks naratif biasanya ditujukan selain untuk memberikan informasi kepada pembaca juga agar dapat menghibur pembaca itu sendiri. Oleh karena itu, menurut saya bahwa buku ini memang belum sepenuhnya dikatakan sebagai fakta sejarah yang murni.
Masih terkait dengan sumber yang dipakai dalam buku ini, banyak sekali referensi yang diambil dari internet melalui situs-situs yang tidak dapat dipercaya validitas datanya seperti Kompas, Traveloka, Selasar, Good News From Indonesia dan masih banyak lagi. Penelitian sumber yang demikian sangat sulit untuk dibuktikan dan dipertanggungjawabkan secara akademik.
Sejarah memang selalu membuat kita berpikir ulang terkait peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Apakah memang benar sebuah peristiwa terjadi dengan sedemikian atau ada campur tangan demi kepentingan-kepentingan lain? Kita harus melihat fakta sejarah secara cermat dan cerdas agar tidak tertipu dan mampu mempertahankan kebenaran yang ada.
Semakin kita membaca Masa Lalu, semakin kita memahami Masa Depan!!!