Selalu saja terulang. Ungkapan dan tindakan rasis di ruang publik kita. Kali ini hinaan bernada rasis terjadi dalam dunia sepak bola. Hinaan yang dialami oleh pemain dan pelatih asal Papua, Rivaldo Wally dan Ardiles Rumbiak. Kejadian tersebut terjadi pada babak 32 besar liga 3 antara Belitong FC versus Persikota Tangerang di Stadion Benteng, Tangerang.
Rasisme sudah menjadi kanker yang masuk dalam akar ruang publik kita. Perlakuan rasisme terhadap Obby Kogoya di tahun 2016. Persekusi pada mahasiswa Papua di Surabaya ditahun 2019, aksi rasisme terhadap youtuber Papua 2020 lalu dan yang belum lama ini ungkapan salah satu Menteri yang mengancam ASN yang tidak cetakan dalam bekerja untuk di mutasi di Papua.
Kangker akut rasisme di ruang publik bukan persoalan yang sederhana. Cara pandang terhadap Papua belum juga beranjak meskipun kita sudah belasan tahun lepas dari otoriterisme Soeharto. Berhentinya dominasi Soeharto yang sangat jawasentris harusnya juga menghentikan cara padang minor terhadap identitas di luar jawa, terutama Papua.
Tetapi faktanya tidak begitu, Papua atau masyarakat Timur seringkali mengalami tindakan rasis dan tindakan tidak menyenangkan lainnya. Wacana merendahkan seolah berjalan tanpa henti dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Kolonialisme Internal
Anggapan rendah terhadap kelompok lain bisa jadi disebabkan oleh cara berfikir oposisi binner. Diri dianggap pusat sementara yang lain dianggap pinggiran. Dalam kontek Indonesia, relasi Papua dan Jawa mempunyai sejarah panjang. Purba (2010) menjelaskan bagaimana pembangunan wacana ke-Indonesiaan dalam di masa orde baru yang sangat jawa-sentris.
Hal tersebut tergambar bagaimana proses transmigrasi masyarakat Jawa ke Papua. Wacana kolonial tampaknya tidak bisa dilepaskan dalam proses tersebut. Saat itu mungkin hingga saat ini juga, masyarakat Papua ditempatkan masih sebagai makluk yang belum dewasa (mature) dan hendak didewasakan sangat mirip dengan wacana kolonial di Afrika.
Sebuah persepsi yang menempatkan kultur ‘dijajah’ sebagai “kekanak-kanakan’ berarti mengadaikan bahwa logika kedewasaan hanya bisa dicapai oleh si ‘si terjajah’ apabila masuk dalam sistem kuasa kuasa ‘si penjajah’. Maka tidak berlebihan ketika saya menyebutnya praktik yang terjadi di Papua selama ini adalah kolonialisme internal.
Dalam artikel yang berjudul Internal Colonism dan Nation Development, González Casanova (1965) menjelaskan bahwa Kolonialisme internal adalah efek tidak merata dari pembangunan ekonomi pada basis regional di mana eksploitasi kelompok mayoritas kepada minoritas dalam masyarakat yang lebih luas dan mengarah pada ketidaksetaraan politik dan ekonomi antara daerah dalam suatu negara.
Kolonialisme internal dapat dilihat sebagai penguasaan negara yang secara de jure sudah diakui merdeka tapi secara sah menguasai tanah, membatasi kebebasan, atau menjajah suku atau rakyat dari bangsanya sendiri. Bertahun-tahun Papua hidup dalam cara pandang di atas. Dianggap kurang berperadaban dan dianggap hidup dalam keterbelakangan.
Anggapan tersebut mempunyai implikasi yang serius dalam relasi kehidupan sehari-hari. Karena dianggap tidak setara maka dengan mudah disudutkan dan bahkan direndahkan. Tingkah rasis tersebut yang sering kita dengar diruang publik kita. Pelabelan orang Papua sebagai “orang bodoh”, “udik” dan stereotype lain akan terus berlangsung.
Rasisme yang Menubuh
Warisan cara pandang terhadap orang Papua telah menubuh lama dan mandarah daging di sebagian orang Indonesia. Bahkan ada anggapan tentang sikap orang Papua yang dianggap tidak tahu diri padahal telah diberi otonomi khusus (Otsus).
Kita semua lupa bahwa pengakuan atas hak dan martabat tidak bisa didistibusikan dengan menggunakan anggaran. Apalagi berandai-andai bahwa segala bentuk pengakuan itu dapat dirumuskan dalam format kebijakan yang formal dan kaku yang selama ini dilakukan negara. Pengakuan adalah soal penghormatan kepada kemanusiaan.
Selama hal tersebut masih belum menjadi perhatian utama. Maka bisa dipastikan akan ada saja aksi konyol merendahkan dan bahkan menghina martabat orang Papua di ruang publik kita. Mental rasis mengendap sekian lama dan mengharuskan kita selalu memiliki keinginan untuk menundukkan siapa saja yang dianggap rendah. Ini persoalan akut bangsa ini.
Modal utama menjadi negara demokratis adalah pengakuan atas kesamaan dari segala macam perbedaan. Indonesia yang multikultur tidak akan bisa besar jika hambatan-hambatan seperti rasisme tetap ada dan cenderung dibiarkan. Ujaran konyol akan terus keluar di ruang publik kita meski terkadang berdalih ketidak sengajaan.
Kemanusiaan harus menjadi nilai utama dalam membangun ke-Indonesiaan. Papua harus diposisikan sebagai bangsa yang sama dan mempunyai hak yang sama pula. Relasi yang dibangun harus berangkat dari solidaritas warga bangsa bukan atas dasar belas kasian ataupun sikap lain yang merugikan bahkan merendahkan.
Negara harus hadir mengurai masalah serius tersebut. Membangun cara pandang baru melalui pendidikan dan budaya. Bukan pendekatan formal tanpa dialog. Bukan pula pendekatan militer yang jelas melanggar HAM.