Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri bahwa sikap kita juga turut menyuburkan aksi ormas radikal?

Semakin bertambah hari sejak reformasi, semakin banyak kita saksikan aksi ormas radikal yang meresahkan dan membuat ngeri. Bahkan saking seringnya, terkadang pemerintah setempat malah bergabung dengan aksi mereka – entah itu karena takut atau hanya sekadar merebut simpati untuk pilkada, yang jelas sikap pemerintah ini semakin mengkhawatirkan.

Masih jelas kita ingat pengusiran warga penganut Syiah di Sampang dan pengusiran bekas ormas Gafatar di Kalimantan Barat, dimana pemerintah seharusnya melindungi kebebasan warganya malah turut andil dalam menciptakan tragedi tersebut. Selain itu, ada lagi pembubaran paksa ibadah, menghalangi pembangunan tempat ibadah, dan tindakan lainnya yang benar-benar meresahkan.

Bayangkan jika setiap orang yang tidak setuju dengan sikap ormas radikal ini, menyikapi ketidaksetujuannya dengan melakukan perlawanan. Perlahan, ormas-ormas radikal pasti akan membubarkan diri dengan sendirinya.

Perlawanan bukan berarti berhadapan langsung dengan anggota ormas dan melawan mereka dengan kekerasan, tetapi dengan cara-cara yang beradab.

Kita bisa memulainya dengan selalu berpikir dan bertindak mengedepankan hukum. Jika rasanya sulit, bisa dicoba cara perlawanan dengan memperdalam rasa kepedulian. Dan bila masih terasa sulit, kita bisa memulai dari keluarga yaitu meningkatkan mutu pendidikan anak serta pembentukan karakternya.

Berpikir dan bertindak mengedepankan hukum berarti kita menanggapi tindakan pelaku kekerasan (anggota ormas radikal) dengan melaporkannya kepada pihak yang berwenang tanpa melakukan konfrontasi dengan anggota ormas.

Tidak mudah memang berlindung di bawah payung hukum di negeri kita sekarang ini. Kita sering mendengar bahwa seorang ketua ormas berteman dekat dengan aparat keamanan. Tentara jadi pengawal pribadi, kata Slank dalam lagunya ‘Gosip Jalanan’. Maka tak heran, bila sebuah ormas melakukan pelanggaran hukum, kasusnya bisa ditutup atau hilang seperti menguap bersama udara.

Ada lagi kejadian yang biasa, dimana para anggota ormas melakukan intimidasi atau persekusi setelah tahu mereka dilaporkan yang bersangkutan. Hoax? Tidak. Kita bisa dengan mudah mendapatkan beritanya di media massa. Entah itu cetak maupun elektronik.

Dan setelah diintimidasi atau dipersekusi, pilihan hanya ada 2 : melapor lagi atau diam. Tak jarang, melapor malah membuat masalah makin runyam. Namun, apakah kita akan membiarkan kebiasaan ini selamanya? Apakah kebiasaan itu berdampak baik bagi kita dan generasi selanjutnya?

Kebiasaan semacam itu membuat masyarakat biasa menjadi tak peduli dengan perilaku ormas radikal yang tak mengganggu kehidupannya pribadi. Maka kebanyakan dari mereka memilih diam. Meskipun sebenarnya, kehidupan bermasyarakat yang rusuh secara langsung atau tidak, akan mengganggu kehidupan pribadinya. Kita sudah melihat banyak contoh.

Pembubaran acara kebaktian atau pengajian, misalnya. Berita dengan cepat beredar. Begitu juga spekulasi dan rasa takut. Bisa melebar kemana-mana yang kerap membuat masyarakat yang tak bersalah kena getahnya. Mungkin dampak buruknya belum begitu terlihat secara langsung, tetapi tertanam subur di ingatan para anak-anak yang se-kelompok, se-agama, se-suku dengan korban persekusi.

Ingatan itu bisa menjadi ‘bom waktu’ bagi kehidupan bernegara kita. Bom waktu yang bisa ‘meledak’ kapan saja. Akan ada aksi balas dendam di masa yang akan datang bila keadaan ini tak segera diatasi.

Atau bila tidak mau berandai-andai atas apa yang akan terjadi di masa depan, mari kita lihat aksi balasan yang terjadi di daerah yang berbeda, dimana kelompok yang mayoritas di suatu daerah, akan diperlakuan dengan sama ketika mereka menjadi minoritas.

Kita ambil contoh, penderitaan yang dialami etnis Rohingya, dibalas dengan menyerang Klenteng di negara kita. Atau kekerasan atas nama Islam yang dilakukan di berbagai negara, menjadi alasan orang melakukan persekusi dan intimidasi terhadap muslim yang lain di Australia dan Amerika. Bayangkan bila hal-hal demikian terjadi di negeri kita! Dengan mudah kita terpecah dan saling menyakiti.

Maka, mau tak mau, suka tidak suka, terpaksa atau tidak, kita harus berani memulai kebiasaan baru : melaporkan penindasan, intimidasi ataupun persekusi kepada pihak yang berwenang. Jangan takut! Zaman sekarang teknologi sudah begitu canggih.

Seperti yang telah banyak terjadi, setiap kejadian bisa direkam. Rekaman diunggah ke media sosial, lalu viralkan. Kita tahu pasti, di negeri ini lebih banyak yang geram melihat kelakuan ormas radikal. Dan seperti biasanya, kejadian yang viral akan cepat ditangani pihak berwenang.

Jika langkah pertama dirasa berat dan berpotensi mendatangkan bahaya bagi diri sendiri, kita bisa melawan dengan memperdalam rasa kepedulian. Bukalah pintu rumahmu dan berbincanglah dengan warga sekitar!

Mulailah dari tetangga. Apapun agamanya. Apapun sukunya. Apapun pandangan politiknya. Ingat, kita ingin melawan ormas radikal, maka mulailah dari diri sendiri untuk tidak jadi radikal. Bila berhadapan dengan tetangga saja takut atau gengsi, bagaimana mau melumpuhkan pergerakan ormas radikal?

Setelah dari tetangga (terlepas dari berhasil atau tidaknya upaya pendekatan kita) mulailah memberi perhatian ke lingkungan yang lebih luas. Kepada orang-orang yang membutuhkan perhatian dan bantuan.

Anak jalanan, misalnya. Dari kalangan anak-anak jalanan ini, kita bangun kepedulian untuk saling menjaga. Meskipun sebenarnya, kepedulian mereka terhadap penghargaan untuk hidup orang lain, kerap lebih tinggi dibanding kita (orang-orang yang lebih beruntung secara ekonomi).

Pengalaman saya menjalin hubungan persabatan dengan mereka selama setahun di jalanan Ibukota, menunjukkan secara gamblang penghargaan terhadap kemanusiaan itu.

Kita juga bisa memulainya dengan kepedulian pada panti asuhan, panti jompo, para narapidana, dan kelompok masyarakat lainnya. Kepedulian dan perhatian kepada mereka dari berbagai golongan akan membuka mata dan pikiran mereka.

Sehingga mencintai perbedaan tetap tumbuh di hati mereka yang terluka oleh keadaan sosial. Kita harus ingat, banyak pemuda yang tergabung dalam ormas radikal awalnya karena masalah ekonomi dan rasa tersisihkan.

Bila itu masih dirasa berat dan membutuhkan perhatian lebih, sementara kita sibuk bekerja, maka mulailah dari keluarga. Kita bisa mulainya dengan melakukan perhatian lebih pada pendidikan anak, melakukan pembentukan karakter yang menghargai kemanusiaan dan mengasah kepedulian terhadap sesama.

Perhatian kita terhadap anak sangat penting. Kita tak bisa memungkiri kenyataan bahwa orang-orang yang ada dibalik ormas radikal adalah orang-orang yang berpendidikan. Maka yang perlu bukan hanya ijazah saja.

Dengan melakukan ketiga hal tersebut – apalagi bila kita termasuk korban dari aksi ormas radikal, dan kita mengajarkan kepada anak untuk tidak memelihara dendam, maka tidak akan ada lagi aksi-aksi ormas yang meresahkan di masa depan negeri ini.

Kita juga perlu mengarahkan anak dalam berorganisasi. Kenyataan hari ini, dimana ormas radikal telah memasuki banyak organisasi di sekolah dan kampus, harus membuat kita lebih pro-aktif.

Jangan sampai si anak telah berubah menjadi seorang yang radikal, dan orangtua hanya bisa mengecap sesal. Sebab ormas radikal ini tidak mendidik. Tidak mengangkat derajat para anggotanya. Yang rugi tetap masyarakat biasa. Sementara para ketua dan petinggi ormas, menikmati kesuksesan mereka.

Sudah saatnya masyarakat harus menyatakan sikap. Sikap untuk tidak diam. Sebab, seperti kata Soe Hok Gie, mendiamkan kesalahan adalah sebuah kejahatan.