Pada mulanya mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) hendak melakukan aksi damai di Balai Kota Malang untuk mengecam New York Agreement yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Belanda pada 15 Agustus 1962. 

Namun ketika mereka tiba di simpang empat Rajabali, mereka bertemu sekelompok warga Malang, yang kemudian terjadi perselisihan atau adu mulut, hingga berujung terjadinya bentrokan. Bentrokan pun kian memanas, sampai berujung pada aksi saling lempar batu.

Tak cukup, di Surabaya sejumlah orang berbaju TNI mendatangi asrama Papua di jalan kalasan. Konon, bendera merah putih milik pemerintah kota Surabaya yang terpasang di depan asrama mereka tiba-tiba sudah berada di dalam saluran air. Hingga akhirnya secara bertahap sejumlah orang berseragam Satpol PP dan organisasi masyarakat mendatangi dan mengepung asrama.

Dalam video yang tersebar viral di media sosial, mahasiswa Papua tersebut sempat diteriaki “monyet” oleh suara tak dikenal. Deretan aksi ini kemudian memicu kericuhan di beberapa wilayah Papua, seperti Sorong, Manokwari, dan Fakfak. Aksi ini diwarnai pembakaran gedung DPRD Manokwari, pengrusakan fasilitas yang ada di bandara Domine Eduard Osok Kota Sorong, dan membakar kios di Pasar Fakfak.

Gubernur Papua Lukas Enembe pun menjawab aksi rasialisme tersebut dengan pernyataan bahwa "kami bukan bangsa monyet, kami manusia”. Aksi rasialisme ini menodai perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang telah berusia 74 tahun. 

Seakan aksi ini mengoyak kembali konsep nation yang mencoba merangkum dan mengatasi partikularitas dalam bangunan Indonesia Merdeka. Sebuah komunitas politis yang dibayangkan (Imagined Communities) yang memiliki kesetiakawanan yang mendalam kini menciut oleh tindakan rasialisme.

Seakan imajinasi bersama itu kini retak bahkan keropos. Peristiwa rasialisme ini seakan menjadi pertanda bahwa konsep nation and identity tak bisa dianggap sudah sepenuhnya selesai seturut dengan diraihnya kemerdekaan politik 1945. 

Tentu hal ini berkaitan dengan bentuk-bentuk subjektivitas, terutama berkaitan dengan bagaimana kita memandang diri kita, diri “ke-Indonesiaan”, serta bagaimana kita memandang orang lain. Kemudian hal ini berpengaruh pada objektivitas sosial, yakni pola-pola kehidupan masyarakat tempat di mana kita hidup.

Konstruksi Proyek Kolonial: Sebuah Jebakan Rasialisme

Bumi Manusia, salah satu karya tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, mengisahkan seorang tokoh bernama Minke, seorang yang dilahirkan sebagai bangsawan Jawa yang kemudian harus berhadapan dengan kolonialisme dan dunia feodalisme Jawa di awal 1900-an. 

Minke sendiri adalah sebutan yang diberikan oleh seorang guru Belanda, sebuah kata yang sejatinya berasal dari kata Monkey, monyet atau kera. Sehingga kata "Minke" mengandung unsur rasialisme yang sengaja direproduksi untuk menanamkan rasa inferioritas pada masyarakat pribumi.

Geneologi kata ini berangkat dari hipotesis eugenik Darwin yang menyatakan orang kulit berwarna masih berada di antara manusia dan primata sejenis kera (evolusi yang belum sempurna), sehingga ditempatkan lebih rendah dari orang kulit putih yang dianggap sebagai ras unggul. 

Pandangan eugenik Darwin bukan semata-mata sebuah proyek penemuan ilmiah yang hendak mencari kemurnian pengetahuan, melainkan dalam praktiknya berperan sebagai justifikasi ilmiah atas proyek penjajahan atau kolonialisme atas nama supremasi kulit putih. 

Pandangan eugenik Darwin ini menjadi dasar epistemologis untuk menciptakan tatanan masyarakat berdasarkan segregasi rasial dan mempertahankan keistimewaan (privilege) kaum kulit putih. Pandangan ini kemudian menjadikan sistem perbudakan yang dipraktikan seakan-akan menjadi hal yang alamiah, wajar atau taken for granted.

Dalam kasus Papua, identitas orang Papua dikonstruksi oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai ras Melanesia yang berbeda dari orang Indonesia yang dikategorikan sebagai ras Mongoloid untuk kepentingan pembangunan negara Netherland New-Guinea, sebuah basis teritori untuk orang Indo-Eropa. Ide ini muncul atas inisiasi kelompok politik sayap kanan Belanda pada tahun 1930 ketika terjadi depresi ekonomi yang menyebabkan meningkatnya persaingan kerja antara orang Indo-Eropa dan masyarakat pribumi. 

Octovianus Mote dan Danilyn Rutherford menyebutkan bahwa pemerintah kolonial Belanda dalam rangka membentuk negara Netherland New-Guinea mendirikan institusi-institusi penelitian dan dituliskannya esai-esai yang menjelaskan bahwa orang Papua termasuk dalam ras Melanesia dan berbeda dengan orang asli Indonesia.

Adalah Jules-Sébastien-César Dumont d'Urville (1790-1842), seorang navigator Prancis yang terkenal sebagai promotor terdepan, yang mewacanakan orang Papua sebagai kategori ras Melanesia yang berbeda dari orang Melayu-Indonesia. Sebelumnya, Johann Reinhold Foster, seorang naturalis Polandia, dalam karya-karyanya membagi dua kategori rasial atas penduduk yang mendiami wilayah Pasifik Selatan (Oceania), yakni mereka yang masuk kategori ras Melanesia dan mereka yang masuk kategori ras Polinesia.

Foster menyebut orang Polinesia yang terdiri dari penduduk yang tinggal di daerah Hawaii, Kepulauan Cooks, Kepulauan Norfolk, Niue, Kepulauan Pitcairn, dan Tokelau yang mayoritas adalah negara dependensi Inggris dan Amerika Serikat dianggap lebih unggul dalam hal estetika, moral, dan intelektual daripada mereka yang masuk dalam kategori ras Melanesia, seperti wilayah Papua, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Kaledonia Baru, dan Fiji. 

Foster menyebut karakter masyarakat ras Melanesia sebagai tribal societies yang identik dengan budaya barbar. Bahkan penemuan kedua tokoh inilah yang ratusan tahun lamanya dijadikan sumber rujukan untuk menyebut wilayah yang dihuni penduduk ras Melanesia ini sebagai black islands atau black race of Oceania.

Dalam karya-karya Dumont d'Urville, penduduk ras Melanesia yang tinggal di wilayah Pasifik Selatan dikategorikan hanya sebagai “cabang” ras kulit hitam Afrika (branch of the black race of Africa) atau biasa disebutnya Oceanic Negro. Lebih awal, Ynigo Ortiz de Retez, pelaut Spanyol, mengunjungi pulau ini pada tahun 1545 dan memberikan nama Nueva Guinea kepada pulau Papua karena teringat kepada Suku Guinea yang lain di Afrika.

Dengan kata lain, para pelaut dan ilmuwan Eropa melakukan praktik “Afrikanisasi” di wilayah Pasifik Selatan. Semua wacana rasial ini sengaja dikonstruksi untuk melegitimasi persaingan kolonial di antara negara-negara Eropa untuk menguasai negara-negara Pasifik Selatan. Kata Melanesia sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni melas yang berarti “hitam”.

Scientific racism ini kemudian menjadi hegemonic text yang membentuk dan menentukan identitas orang Papua. Dalam bahasa Foucault, scientific racism ini membentuk episteme, sebuah landasan epistomologis yang alih-alih memiliki kekuatan ilmiah dan mempunyai otoritas untuk menentukan kebenaran (truth) hingga mengonstruksi identitas. 

Bahkan scientific racism ini bertahun-tahun telah menjadi regime of truth (rezim kebenaran) yang menguasai praktik diskursus ilmu pengetahuan melalui formasi diskursif para intelektual Barat orientalis. Akhirnya scientific racism ini seakan menjadi struktur diskursif khalayak umum, menjadi satu-satunya cara dalam memahami realitas biologis, geografis, hingga kebangsaan.

Dengan kata lain, diskursus scientific racism bukan semata-mata diskursus ilmu pengetahuan, melainkan sebuah jaringan praktik pengetahuan yang berkelindan dengan praktik kekuasaan (persaingan kolonial). Dalam bahasa Jacques Derrida, scientific racism ini telah menjadi logosentrisme, sebuah “pusat rujukan” apabila hendak memahami orang Papua. 

Diskursus scientific racism ini kemudian menciptakan oposisi biner antara “orang Indonesia” dengan “orang Papua”. Ia sengaja menciptakan garis pemisah yang kuat antara “orang Indonesia” dan “orang Papua”, yakni antara “kita” dan “mereka”, yang berbeda sama sekali.

Diskursus scientific racism ini bertujuan menciptakan sense of difference (perasaan berbeda) dalam diri orang Papua dan orang Indonesia. Nasionalisme Papua yang menjadi ideologi Organisasi Papua Merdeka (OPM) juga berakar dari sense of difference semacam ini. Mereka percaya bahwa orang Papua adalah kategori ras Melanesia yang berbeda dari orang Indonesia, yang termasuk dalam kategori ras Mongoloid. 

Bahkan Organisasi Papua Merdeka aktif menyuarakan dan mendapat dukungan dari Melanesian Spearhead Group (MSG), sebuah organisasi internasional yang terdiri dari negara-negara kategori ras Melanesia. Padahal kategori ras Melanesia adalah hasil kontruksi kolonial.

Tindakan rasialisme (berkata: monyet) yang dilakukan di Surabaya akhir-akhir ini juga akibat dari ditanamkannya prasangka rasial dari scientific racism yang membentuk mentalitas yang penuh dengan sense of difference terhadap orang Papua. Sehingga memunculkan ekspresi ujaran kebencian bernada rasialisme. 

Dengan kata lain, keduanya, baik orang Indonesia maupun orang Papua, sama-sama terjebak dalam kontruksi rasial yang merupakan ekses dari scientific racism rezim kolonial. 

Dalam bahasa Gramscian, keduanya adalah subjek yang berada dalam kondisi hegemoni, karena secara tak sadar diskursus rasialisme tentang Papua sebagai ras Melanesia yang berbeda dari orang Indonesia mendapat perolehan konsensus dari kedua subjek yang dihegemoni oleh narasi kolonial.

Kondisi inilah yang selalu mengahambat persatuan dan resolusi konflik antara Indonesia dan Papua. Perasaan berbeda inilah yang selalu menyelimuti dan mengganggu penciptaan kesadaran bersama sebagai nation, bangsa yang memiliki rasa senasib dan sepenanggungan. 

Namun masalah ini tak banyak mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia, yang cenderung menganggap masalah Papua hanya semata-mata sebagai problem pembangunan. Sense of difference inilah perlu mendapat perhatian untuk dikikis. Karena apabila tidak ditangani, ia akan menjadi “api dalam sekam” seturut dengan perlakuan diskriminatif yang dialami oleh orang Papua.