“Keadilan itu Utopis!!,” frasa itu hadir di benakku beriringan dengan hempasan angin senja.

Seketika, pikiranku berkelana tentang makna keadilan. Sebuah kata dengan dua cabang makna, pertama, dia itu abstrak! Keadilan itu imajinasi saja. Pada konkritnya ia sebatas tafsir. Tafsirlah yang memberi muatan material dari Keadilan. Ketika menafsir keadilan, maka ia bergantung pada siapa yang menafsirkan. 

Kedua, penafsir atas keadilan sendiri adalah sentral, bukan pinggiran. Ia dan seluruh atribut yang melekat padanya menentukan sahih atau tidaknya keadilan. 

Sejatinya, imajinasi tentang Keadilan adalah bayang-bayang penafsir, bayang-bayang atributnya, bayang-bayang kuasanya. Ia tidak sama sekali netral, tidak pula suci. Naif jika kiranya penafsir hanya sebatas corong keadilan. Namun sebaliknya, keadilanlah corong dari penafsir itu. 

kenyataan ini tentunya berada tepat di depan hidung kita. Tepat berada pada lalu lintas kehidupan kita. Ia mengatur kita, menentukan cara kita berhubungan, cara kita menjalankan hidup, bahkan menentukan kapan kita pantas untuk mengakhiri hidup ini. sejatinya ia alat pengendali saja.

Lantas, apakah masih ada rasa Keadilan? Rasa yang seolah-olah terpisah dari kenyataan hidup yang dhaif, hidup yang saling menyikut, hidup yang dibatasi oleh kuasa penafsir. Mungkin saja rasa keadilan adalah penawaran dari kenyataan pakah dari ketidakadilan, sebuah imajinasi tentang kepedihan dan ketidakberdayaan. Sebuah dongeng untuk orang-orang yang terpinggirkan. Yang pasti, kita semua adalah kerak dari hirarki sosial saja, tiada lebih, tiada kurang...

Namun, kenapa suara atas ketidakadilan itu selalu bergaung dan bergema? Seperti panggilan suci dari lubuk nan jauh. Apakah ini suara yang suci ? 

Tidak, ketidakadilan itu realitas. Ia adalah kehidupanmu sehari-hari. Ia adalah ekspresi pengekangan,  pemenjaraan tubuh dan jiwamu.  Sebelum kau bebas, maka rasa itu selalu bersamamu. 

Maka bersuka citalah "utopia"

Kita bersama dalam bayang keterasingan. Seperti ruang kosong tanpa batas. Kita semuanya berada dalam keputusasaan. Bahkan waktunya terasa tak lagi bergerak lagi.

Masih adakah harapan??

Selagi bumi berputar pada sumbunya, selalu ada kemungkinan.  

*

Sejarah peradaban manusia telah menyajikan pelbagai kemungkinan itu. Ia muncul dalam denyut perubahaan sosial. Ada dalam bentuk revolusi, ada dalam bentuk evolusi. Semuanya mengalir bagai air, dari Hulu ke hilir. Hulu adalah cita, semua asal, mungkin saja ia suci bagaikan mata air yang memuncratkan kearifan. Air itu pun bertugas melintasi rintangan, tanpa lelah, tanpa pamrih. Untuk satu tujuan yakni sampai ke samudera luas peradaban.

Meskipun ada yang menafikkan, membalikkan tubuh pada hukum alam, meludahi sosok gerak perubahaan. Tetap saja, air kearifan menunaikan tugasnya itu. Ia dengan halus dan cair telah melubagi batu, membelah tebing, membentuk daratan.

*

Themis yang bijaksana mulai membuka selubung matanya. Dari puncak piramida yang angkuh. Ia mencoba menengok lagi kenyataan. Terlihat baginya kenyataan itu begitu miris, penuh luka, penuh duka, penuh amarah. Ia mulai pun mempertanyakan, kenapa pedang yang dipegang tangan kanannya itu begitu tajam ke bawah,  namun tumpul ke atas ? apakah ini disebabkan karena ia selama ini menutup matanya? ataukah selubung itu begitu kuasa? Sehingga iapun tak berdaya menyibaknya?

Nyatanya, ia masih berdiri tegak di atas puncak piramida itu. Ia masih jauh dari tanah, apalagi kerak paling bawah di bawah tanah. Kerak yang rakyat jelata hidup dan melata. Mereka meronta dan mulai memikirkan imajinasi tentang Keadilan.

Mata nanar rakyat jelata membusung ke atas, melawan pedihnya sinar matahari. Mereka tak kuat. Sinar itu seperti pisau belati yang menusuk serat mata mereka yang merah. Pedih tiada tara. 

Thermis sadar bahwa banyak mata dari tanah gersang dibawahnya itu yang menatapnya. Ia pun sadar, banyak mata tersebut penuh pengharapan. Dalam sel darahnya, ada semacam energi yang mengajaknya untuk ke bawah, ke tapak piramida yang gersang itu. Kakinya mulai beranjak melangkah...

Namun, kakinya telah terkunci, kakinya telah terpasung oleh rantai yang kuat, menancap tegas di pucuk piramida. Ia tak kuasa...

*

Hong menaruh harapan pada sebuah kotak. Pada kotak itulah, ia merasa akan mampu menjawab semua teka teki, rahasia-rahasia dan misteri. 

kotak itu begitu indah, siapapun yang melihatnya akan terpesona. Kotak itu adalah sebuah hadiah dari seorang sahabat. Si pemberi hadiah adalah manusia aneh. Ia berpesan untuk tidak membuka kotak itu. "Jika kau buka, maka segala rahasia akan terungkap, kau tak akan mampu menerimanya." Begitu si pemberi kotak berpesan..

Kotak ini sebenarnya indah. Ia mampu berfungsi sebagai hiasan yang mempercantik rumah, kontras dengan segala sudut dan tekstur benda apapun. Kotak itu selalu indah dimanapun diletakkan.

Hong sangat tidak puas melihat kotak itu berfungsi hanya sebatas hiasan semata. Ia ingin sekali membuka isi kotak itu. Ia pun digiring rasa penasaran dari pesan aneh sahabatnya tentang isi kotak itu..

Dalam pikirannya, jika kotak itu begitu cantik, pastinya isinya juga, bahkan mungkin saja isinya bisa lebih indah. Hong pun tak sabar lagi untuk membukanya, rasa penasarannya telah mengingkari pesan sahabatnya.

Saat itupun tiba, kotaknya pun terbuka!!

Seketika segala isi kotak itupun keluar dalam bentuk kesedihan, penistaan, penderitaan dan rasa sakit paling perih yang pernah ada. Isi kotak itu adalah kutukan!!

Hong histeris, trans dan menghilang. Ia tidak bisa lagi merasakan kakinya berpijak pada bumi. Ia lepas!! Rahasia itu telah terbongkar,  teka teki telah terpecahkan, namun jiwanya tak lagi sama. 

Kotak itu bernama keadilan....