Mayangsari sering berkata tidak pada banyak hal. Ketika ia ditawari menjadi model untuk suatu produk pakaian. Saat beberapa pria menawarkan cinta yang dangkal. Bila malam ia makan mie rebus dan setelahnya Jamal akan memaksa ia berolah raga selama dua jam. Ketika sebait lirik memanggilnya untuk dilahirkan, tetapi ia tak mau dunia mendengarkannya. Mayang tak ragu untuk mengatakan tidak.

Mayang juga mengatakan tidak ketika ibunya berulang kali meminta ia pulang kampung. Tak sudi ia jika harus mengunjungi tempat kelahirannya. Sesekali ia merindukan ibunya. Tetapi ia lebih sering membenci keluarganya. Apalagi ketika ayahnya merumah di tempat istri kedua yang hanya berjarak lima ratus meter dari rumah istri pertamanya.

Pada akun Instagramnya, dua kali Mayang menulis ini: "Bila saja pilihan tak hanya untuk manusia yang sadar, aku sering berpikir, bagaimana jika dulu aku memilih tak dilahirkan?"

Ratusan ribu penggemarnya menanggapi dengan cara berbeda-beda. Banyak yang sok perhatian, "Sabar ya, Kakak..." diimbuhi dengan emoticon sedih. Beberapa dari yang banyak itu, sebagian bertanya iseng, "Lagi baper ya, Kakak. Kenapa siih?" “I still love you no matter what…”

Don’t be silly, you are the reason why god made a girl! Kamu cantik, baik, dermawan, suaramu bagus, bisa bikin lagu sendiri, sudah terkenal sampai luar negeri. Apa lagi yang kamu sesalkan?” 

Yang terakhir itu membuat Mayang kepingin muntah. Orang-orang sering sok tahu tentang kehidupan orang lain. Mereka hanya melihat dari luar tetapi seolah mengetahui hingga ke dalam-dalamnya.

Tetapi komentar seperti itu tidak terlalu membuatnya jengah. Mayang baru akan benar-benar jengkel ketika menemukan komentar seperti ini: "Ast………., jangan begitu. Syukuri nikmat Tuhan!"

“Ah, lagi-lagi Tuhan!” Saat aku memasang foto tubuhku dalam balutan bikini, kalian tidak berpikir aku tengah bersyukur.”

Mayang sering mengeluh tentang orang-orang semacam ini. Berulang kali ia ingin mengetik keluhan-keluhannya di media sosial. Ditambahi dengan pertanyaan, “Mengapa kalian senang sekali mengaitkan semuanya dengan Tuhan?”

“Aku dan Tuhan tak pernah akur!” Jika saja memungkinkan, ia juga akan bilang seperti itu. Tapi, ah, mana mungkin ia sanggup kehilangan ratusan ribu penggemar yang masih bertuhan itu.

Di dunia ini terlalu banyak manusia yang sering menjerat kata-kata dengan perangkap yang mereka pasang pada konsep Tuhan. Kata-kata seringkali dikurung dalam lingkup dosa, sementara di dalam kurung yang lain mereka juga mengunci kata-kata untuk menyanjung Tuhan.

Ini sungguh tidak adil!

Mayangsari begitu mencintai kata-kata. Ia tak rela dengan cara manusia memperlakukannya.

Semula ia mendekati kata-kata tanpa sengaja, karena ayahnya sering mengurung Si Mayang Kecil di kamar kerjanya bersama tumpukan buku-buku. Mungkin karena teramat kesepian, Mayang akhirnya semakin akrab dengan buku-buku.

Ia paling menyukai apa pun yang memuat gambar-gambar cantik dan indah. Pernah ia menyobek halaman tengah sebuah majalah hanya karena mengagumi gambarnya. Di sana ada seorang perempuan memakai gaun putih tipis. Kepalanya tenggelam dalam topi besar berwarna gading, pada muncungnya terdapat bulu-bulu yang nampak halus.

Perempuan itu berdiri dikepung hamparan ilalang. Ia sangat cantik meski hanya nampak dari samping. Matanya memandang entah ke mana, seperti ingin menjangkau tempat yang sangat jauh. Mayang seakan menemukan dirinya di dalam gambar perempuan itu. Makhluk cantik yang kesepian.

*****

Mayangsari sudah menyadari paras cantiknya saat ia berusia delapan tahun. Sewaktu ia sedang berjalan-jalan di taman kota bersama ayahnya. Hari itu Mayangsari kecil memakai gaun beludru mini yang berumpak-umpak. Di sekeliling kerah dan bagian bawah baju itu melilit renda bunga ros.

Mayang kecil tertawa riang saat mengenakannya. Bukan saja karena baju itu baru, tapi ia juga menikmati harum sabun cuci yang berpadu dengan wangi setrika arang yang melekat padanya. Ia juga menyukai kain satinnya yang nampak mengkilat cemerlang, bersaing dengan kulit Mayang yang segar nan bercahaya.

Mayang masih ingat, setiap berpapasan dengan satu-dua orang, mereka akan berhenti dan mengatakan, “Duh, cantiknya…!”

Beberapa dari mereka meminta izin untuk menggendongnya barang sebentar atau sekedar membelai pipinya, atau rambutnya. Banyak pula yang menghadiahinya permen dan makanan-makanan manis yang disukai anak-anak.

Mayang kian senang menemukan dirinya dipuji dan dimanjakan orang-orang asing. Sejak itu, selain tahu tentang kata cantik yang dilekatkan padanya, ia juga samar-samar mulai mengerti, orang-orang cenderung bersikap baik kepada anak perempuan yang cantik.

Maka, ia pun mengatakan pada dirinya untuk selalu tampil cantik. Ia sendiri sering mengagumi hal-hal yang cantik, beriringan dengan keinginan untuk memilikinya. Itu mengapa aksi merobek halaman tengah sebuah majalah bisa terjadi.

*****

Hari itu, karena seorang lelaki asing ia mulai membenci ayahnya. Lelaki tinggi dengan senyum ramah itu menghampiri ayahnya yang tengah menyiapkan nasi dan sayur kacang merah untuk Mayang. Ia berbicara sangat sopan kepada sang ayah.

Mayang memperhatikan mereka sambil mengaduk-aduk nasi dan sayur kacang buatan ibu yang sangat disukainya. Entah mengapa ibunya semakin jarang membuat sayur itu, meski berkali-kali Mayang memohon. Makanya, ia girang bukan kepalang saat tahu ayahnya membawa bekal sayur kacang dan tempe goreng.

Setelah selesai berbicara dengan lelaki tinggi itu, ayahnya buru-buru mengajak Mayang pulang. Ia tak menghiraukan permintaan Mayang untuk menghabiskan makanannya dulu. Alih-alih mengabulkan, sang ayah membuang nasi dan sayur kacang itu ke tempat sampah. Mayang menangis kencang. Seisi taman menatapnya sedih.

******

Setelah hari itu, Mayang semakin jarang keluar rumah. Ayahnya yang melarang. Bahkan ia sering dikurung sendirian ketika sang ayah harus berangkat mengajar dan ibunya terbaring lemah di tempat tidur, sementara kedua abangnya pergi sekolah. Sebabnya sangat misterius, Mayang hanya mendengar kalimat terpatah-patah sang ayah saat bercerita kepada ibunya, "Mulai sekarang, Mayang tak boleh keluar rumah tanpa saya. Seorang gila ingin membuatnya tampil di televisi."

Tampil di televisi? Mayang tak mengerti arti kalimat itu. Tetapi ia menyimpannya baik-baik dalam ingatan. Ia terus mengulang-ulang kalimat itu, jangan sampai suatu saat ia lupa. Begitu tekadnya. Ia mulai mencari tentang televisi di buku-buku ayahnya. Hanya sedikit saja tersedia, itu pun ia temukan dari majalah yang sudah lusuh.

Televisi. Saat usianya sudah mencapai 12 tahun, Mayang mulai mengerti kalimat ayahnya tentang tampil di televisi itu. Diam-diam, saat ayahnya sudah pergi mengajar, Mayang akan menyalakan televisi. Di sana ia melihat gadis-gadis cantik memeragakan pakaian yang menawan. Rambut hitam panjang. Lipstik menyala pada bibir yang cantik. Gadis-gadis itu konon mendapatkan banyak uang hanya dengan tampil cantik di televisi. Mayang mengiri. 

Ia semakin tersiksa menjalani kurungan yang dipasang ayahnya. Selama sepuluh tahun ia hanya hidup di kamar sepi nan gelap, di ruangan paling belakang rumah mereka. Ia tak bisa sekolah. Setiap hari ia hanya belajar bersama ayahnya. Dari siang hingga sore belajar pelajaran sekolah, setiap malam ia belajar mengaji. Ayahnya membuat skema belajar untuk Mayang sebagaimana pelajaran yang didapatkan anak-anak di sekolahan

Mayang mulai sering bertanya-tanya, kenapa ayahnya semakin mirip malaikat penjaga?

Ia pernah membaca sebuah buku berisi dongeng tentang malaikat penjaga yang diberi tugas oleh Tuhan untuk mengawal seorang manusia. Mayang lupa siapa manusia itu persisnya. Yang ia ingat, manusia itu selalu dipengaruhi oleh malaikat yang mendampinginya.

Bisikan si malaikat sering membuat Mayang marah. Misalnya ketika ia membisiki si manusia untuk mengabaikan seekor kelinci yang memohon-mohon padanya agar tidak dibunuh. Si manusia mengasihi kelinci itu dan berniat untuk membebaskannya. Tapi sang malaikat membisikinya,

Tuhan menyuruh kamu untuk mempersembahkan darah kelinci itu, dengan begitu kamu membuktikan kepatuhanmu kepadanya.

Malaikat itu terlalu sering menghalangi si manusia untuk melakukan apa pun yang dia inginkan. Mayang merasa iba terhadap manusia itu, ia berjalan bebas di bumi tetapi si malaikat selalu membisikinya untuk melakukan ini itu. Si manusia akhirnya jadi bodoh. Mau buang hajat pun ia harus tanya, hajatnya dibuang ke sungai atau dikubur di kebun saja?

Mayang tak sudi bila berakhir bodoh. Ia harus bebas. Hanya jika sepenuhnya bebas, ia tak akan menjadi bodoh.

*****

Ayah biasanya tidur pukul sepuluh malam, terjaga setiap jam dua dini hari dan tak pernah tidur lagi.
Jamal, sahabatku, bila kamu bisa membagi kebebasanmu yang mengagumkan itu, terimalah tubuh dan jiwaku. Akan kulakukan apa pun yang kamu suruhkan kepadaku, jika malam ke-12 di bulan ini kau bersedia menjemputku. Pukul sebelas, saat semua orang sudah mematikan lampu kamar, aku akan keluar dari rumah. 
Tak usah kau balas surat ini. Cukup aku menunggumu hingga pagi di saung yang pernah aku bicarakan itu. Kumohon, biarkan aku mengetahui bahwa kau benar-benar sahabatku."

Isi surat yang ditulis Mayang pada usia 19 tahun, sehari setelah ia mendapatkan Kartu Tanda Penduduk yang dibuatkan ayahnya. Surat itu ia tujukan untuk sahabat pena yang dikenalnya selama dua tahun. Jamal. Pengagum beberapa tulisan yang diam-diam dikirimkan Mayang pada sebuah majalah remaja.

Lewat surat mereka saling bercerita. Mayang membicarakan ketakbebasannya, Jamal berbusa-busa mengagulkan kebebasan penuh yang baru ia peroleh setelah masuk kuliah. Dua anak muda itu dipersatukan oleh kesepian dan buku. Jamal yang terlampau bebas sering merasa sendirian di dunia ini. Ia sulit menemukan seseorang yang memahami kehendak bebasnya.

"Orang-orang telah dikelabui malaikat penjaga yang kamu ceritakan itu, Mayang. Mereka seperti kehilangan arah tanpa mengikatkan dirinya pada malaikat itu. Uh, aku ingin membagi kebebasan ini denganmu." Kata Jamal dalam salah satu suratnya untuk Mayang.

Jamal terenyuh saat tahu, untuk mengirim satu tulisan saja Mayang harus menempuh dosa besar yang paling dibenci ayahnya, mencuri. Mayang tahu soal uang yang diselipkan di antara buku-buku ayahnya, itulah yang dicurinya untuk membeli prangko dan mengupah anak tetangga yang biasa mengantarkan tulisan-tulisannya sampai ke bis surat. Mendengar kisah itu, Jamal tak hanya tersentuh, ia mulai tergila-gila oleh Mayang. 

******

Bagi Mayang, keluarga adalah Jamal. Meski ia berkali-kali merindui ibunya, tetapi ia tak mungkin kembali pada ayahnya. Hanya Jamal rumahnya. Jika orang lain mengenal Jamal sebagai manajernya yang galak dan setia, itu hanya bonus saja bagi Mayang. Jamal adalah segalanya: keluarga, kekasih, manajer, dan malaikat penjaga. 

Mayang menyesal, mengapa Jamal mengubah diri menjadi malaikat penjaga. Mayang lebih menyukai Jamal si manusia, yang mengakui kebutuhannya akan kebebasan. Tetapi kini, Jamal mengurung dirinya dalam peran malaikat penjaga. Ia mengikat Mayang kuat-kuat ke dalam dirinya. Bila Mayang berusaha mengingatkannya soal kebebasan, dia akan mengelak: "begini cara kita berbagi kebebasan."

Jamal nampak menikmati peran barunya. Setiap gerak Mayang, bahkan untuk menulis di media sosial saja, harus dibicarakan dulu dengan Jamal. Ketika Mayang memasang foto tubuhnya yang nyaris telanjang, Jamal marah-marah tak karuan. "Lihat komentar-komentar itu, kamu tak terganggu? Kamu bisa kehilangan banyak kontrak kalau begini. Kita akan merugi, tahu!" 

Jamal juga semakin posesif. Bila ada lelaki yang menatap dan tersenyum kepada Mayang, Jamal akan buru-buru menarik perempuan itu untuk menjauh. Setelahnya, ia akan memarahi Mayang dengan berbagai tuduhan dan kata kasar. Lalu mereka akan berdebat habis-habisan.

Bila kata-kata tak lagi bisa mewakili kekesalan, tubuh mereka yang menggantikan. Keduanya akan bergulat, saling memukul, menjambak, menampar, menendang. Setelah itu, tangis dan sesal. Lalu mereka akan pura-pura berbaikan dan saling bercumbu. Selesai bercinta, mereka kembali pada keadaan semula.

Akhirnya Mayang semakin sering bertanya-tanya, mungkinkah manusia hidup tanpa malaikat penjaga? Adakah kebebasan yang sesungguhnya itu? 

Ia kembali teringat pada dongeng tentang manusia dan malaikat penjaga itu. Andai saja ia tak pernah dikurung di kamar kerja ayahnya. Andai saja ia tak pernah membaca buku dongeng itu di kamar kerja ayahnya. Bila dua hal itu tak pernah terjadi, mungkin ia tak akan membenci malaikat penjaga.