Kios ini selalu ramai dipenuhi pembeli. Kios yang dirintis oleh mama dan papaku dengan modal keringat, semangat dan mimpi ini sudah berdiri selama tiga puluh lima tahun. Tiga tahun lebih lama dari era kepemimpinan presiden yang terkenal dengan senyumnya itu.

Kios penjual bahan pokok ini tak pernah sepi. Kata papaku, cahaya sebagai kunci menariknya suatu kios. Tak perlu berhemat listrik, jika lampu terus dinyalakan pembeli juga akan terus berdatangan seperti serangga mendekati cahaya.

Bahan pokok yang dijual papaku sangat beragam. Awalnya papa hanya menyediakan beras dan telur. Dulu semua orang membutuhkan beras dan telur di rumah-rumah mereka. Keluarga yang punya banyak anak membelah satu telur menjadi empat potong. Aku keheranan dengan hal tersebut. Kuanggap sebagai pelit. Pelit yang lebih pelit daripada mamaku yang selalu menolak membelikanku susu formula.

Walau hanya anak penjual bahan pokok, aku mengenyam pendidikan di sekolah istimewa. Sekolah dekat istana raja dan aku menjadi teman seangkatan salah satu putri dari raja di daerahku yang istimewa ini. Di sekolah ini, setiap akhir pekan disediakan susu gratis, padahal sungguh tak perlu. 

Susu gratis seharusnya untuk anak dari para pengemis, bukannya anak raja dan pengusaha. Bagiku, penjual bahan pokok juga pengusaha. Begitu kata papaku, supaya kami tak merasa miskin walau di sekolah ini, aku lebih miskin dari teman-teman lain.

Susu gratis itu terasa sangat nikmat. Baunya wangi, tidak amis seperti susu sapi di warung kaki lima yang sering kukunjungi bersama papa dan adik-adikku sebulan sekali. Ketika aku merengek pada mamaku untuk membelikan susu bermerk itu, mama menolak. Dibelikannya jeruk sebagai pengganti permintaanku. Dibelikannya juga majalah-majalah baru dan bekas. 

Jika sudah begitu, aku bisa lupa sebentar tentang enaknya susu pabrikan itu. Saat aku sudah lupa, aku dengan mudah bisa menikmati es susu sirup dengan roti bakar dan telur puyuh di warung susu kaki lima bersama adik-adikku.

Setelah dewasa barulah mama memberitahuku, beberapa pedagang susu itu punya utang yang belum dibayar. Datang ke warung mereka menjadi sarana untuk mengetahui kabar kapan utang akan dibayar. Tak pernah sekali pun aku ingat papaku menagih utang, setiap kali kami jajan susu, kami hanya diminta duduk dan bersikap baik lalu menikmati hidangan kaya gizi berharga murah di hadapan kami.

Para pedagang susu itu, adalah langganan di kios papa dan mamaku. Mereka biasa membeli kebutuhan pokok untuk dibawa ke desa mereka sebulan sekali. Barang yang dibeli sangat banyak dan kurasa perkembangan usaha papa mamaku berkaitan erat dengan permintaan kebutuhan mereka. Itulah sebabnya sampai ada hubungan utang di antara papa mama dengan mereka.

Tak hanya menjual beras dan telur, papa mama mulai menjual gula dan teh. Rokok, tepung, mi, kerupuk dan minyak goreng menyusul melengkapi jenis dagangan di kios papa dan mamaku. Kesukaan mereka menyediakan segala pesanan pelanggan membuat mereka dikenal sampai ke desa-desa.

Seusai panen, rombongan orang dari dusun, akan berbelanja di kios papa dan mamaku. Mereka menyewa mobil kol, yang dimaksud adalah colt diesel. Tapi di sini kami yang berlidah polos menyebutnya dengan kol saja. Seperti nama sayuran.

Langganan semakin banyak, sekarang papa mamaku punya pelanggan penjual gudeg. Gudeg ternikmat yang kusukai. Tak pernah terlalu manis maupun terlalu gurih. Rasanya pas dibandingkan dengan gudeg-gudeg populer yang balihonya terpajang di tempat-tempat strategis di kota ini. 

Pernah kutanya, gudeg Mbah Sri ini enak sekali, tapi kok tidak terkenal seperti gudeg Mbah Djoem. Kata Mbah Sri, mereka kakak beradik. Namun pulungnya diwariskan ke kakaknya. Mbah Sri tak pernah iri. Tujuannya menjual gudeg adalah supaya anaknya bisa jadi sarjana seperti papaku. Lalu dialog lintas generasi itu merujuk pada nasihat-nasihat klasik tentang aku harus bisa membuat bangga orangtua dengan menjadi sarjana kelak.

Pernah ada pembeli seorang dokter tentara. Jangan kira ia tampil necis saat berbelanja. Ia berpenampilan serampangan, dengan rambut kusut dan bau badan tak sedap. Biasanya ia hanya membeli sabun. Pernah ia meminjam uang dengan jaminan kalung berlian milik istrinya. Ia pinjam uang, karena gaji dalam amplopnya habis dalam semalam karena kalah taktik saat bermain catur dengan papaku. Ia tak juga jera walau sudah sering kalah.

Suatu hari, ia datang membawa kelapa muda bersama istrinya yang santun. Diberikannya kelapa muda untuk papa dan mamaku sekaligus mereka membicarakan perpisahan. Entah bagaimana rasanya membuat janji pada sahabat untuk tak lagi bersua demi menghindari kebiasaan buruk berjudi. Kalung berlian istrinya masih disimpan mamaku. 

Tentu saja ia tak pernah membayar utangnya. Mama anggap ia membeli refleksi diri dari kios papa mamaku. Refleksi sudah didapat dan dibayar dengan kalung berlian. Utangnya dianggap lunas dengan bayaran beberapa butir kelapa muda.

Sejak bulan lalu, pasar yang baru sudah dibangun megah, empat lantai menjulang ke atas berdiri di belakang kios. Para pedagang di blok ini masih belum bergeming dari kiosnya. Mereka percaya pada peruntungan, akan sulit menyesuaikan peruntungan di lingkungan baru. 

Arah hadapnya saja berubah. Segalanya berubah. Bukan hanya harga yang selalu naik, sampai setiap pembeli mengeluh dengan kenaikan harga bahan makanan yang berulang tiap tahun. Kini lokasi dagang pun harus berubah.

Surat edaran diedarkan oleh lurah pasar kepada semua pedagang. Pemberitahuan untuk segera memindahkan dagangannya ke lantai yang sesuai kali ini menggunakan banyak kata yang ditebalkan. Penegasan. Penyegeraan. Desas-desusnya, untuk menyediakan pasar yang bagus difoto saat presiden terpilih mengadakan kunjungan ke kota istimewa ini nanti.

Kios milik orangtuaku memang bersebelahan dengan beragam kios lain. Jangan tanya baunya, kadang bau jambu busuk, kadang bau bawang putih yang kelewat matang karena tak laku, kadang juga bau semanis sirup. Baunya bergantung dari dagangan apa yang tak kunjung laku.

Kios ini dan puluhan kios lainnya berdiri di lahan yang tak rata. Becek di kala hujan. Terjal di kala kemarau. Namun entah sudah berapa sarjana lahir dari kegiatan jual beli di tempat ini. Sarjana-sarjana yang kemudian mendirikan pasar baru berlantai empat, sebagai sarana unjuk kepandaian mereka.

“Ada api! Ada api!” Bu Bani, tetangga kios berteriak panik menunjuk ke arah kios penjual kertas bekas. Suaranya menyentak siang yang sepi ini. Mama menyuruhku diam di tempat. “Hubungi pemadam kebakaran, Nduk.” Sementara ia dan penunggu kios lainnya berlarian mengambil air dari kamar mandi dan menyiramkan ke tumpukan kertas yang terbakar.

Kios-kios ini tak pernah seramai siang ini. Suara sirine pemadam bersahutan. Siang hari yang sepi membuat kebakaran lekas diketahui. Para pedagang kembali ke kios masing-masing. Kali ini sorot mata mereka tak bercahaya.

“Malam ini juga kita kemas semua dagangan.” kata papaku padaku dan mama. “Nanti bergantian diangkut kol punya bakul sayur. Ini sudah ancaman pertama. Api jelas akan dipakai mereka buat memaksa kita pindah ke bangunan baru.” Aku langsung paham maksudnya.

Malam itu kami pindah. Bersama beberapa kios lain yang bisa membaca surat peringatan pertama yang datang bersama api. Benar saja, saat kami berada di jarak 1 kilometer dari kios, terdengar suara ledakan besar.

“Habis sudah.” kata papaku.

***

Hari ini hari ke satu setelah peristiwa dua belas tahun lalu. Kios milik papa dan mamaku masih berdiri dan bercahaya. Pembeli masih datang silih berganti. Mereka masih membayar untuk membeli harapan.

Kios ini tak lagi melahirkan sarjana-sarjana. Pernah kios ini membantu seorang mama menghantarkan anaknya menjadi Kapolri. Pernah juga kios ini menemani seorang mama yang anaknya menjadi artis di kota besar. Soimah. Kau pasti tau soal Soimah. Kios ini juga menemani para pensiunan menghabiskan masa tuanya dengan berdagang.

Jika kau lewat di depan kios ini dan ingin mampir. Mampirlah, bisa saja ia akan menemanimu menghabiskan sisa hidupmu agar tetap bercahaya. Seterang kios ini. Tak pernah ada yang mengingat pernah membeli harapan di kios ini. Tentu saja. Mereka tak pernah sadar pernah bertransaksi dengan para pedagang harapan.