Pada tahun 1960 terjadi pertarungan seru antara dua kandidat Presiden Amerika Serikat, Nixon dan Kennedy. Banyak orang yang meragukan loyalitas Kennedy dalam pencalonannya, mengingat ia seorang Katholik, pengikut setia Paulus yang terkenal dengan taklid buta pada keyakinannya.

Fenomena keraguan ini mewabah dengan luas di kalangan penduduk Amerika saat itu, sehingga muncul pertanyaan, “Jika Kennedy terpilih sebagai Presiden, lantas bagaimana dia sanggup menentukan kebijakannya jika bertentangan dengan kehendak Paulus? Apakah dia akan mengutamakan sumpah jabatannya atau malah memilih kehendak Paulus?”

Untuk meredam kekhawatiran tersebut, pada tanggal 12 September 1960, Kennedy menegaskan keseriusannya di hadapan Greater Houston Ministerial Association, “Saya bukan calon Presiden Katholik. Saya adalah calon Presiden dari Partai Demokrat yang kebetulan juga seorang Katholik.

Saya tidak mencampur-adukkan agama dengan urusan publik, dan agama tidak memengaruhi saya dalam hal ini.” Rupanya jawaban ini dapat menghilangkan keraguan sebagian besar warga Amerika, sehingga Kennedy terpilih sebagai Presiden Amerika yang ke-35.

Dilema kesetiaan terhadap negara dan agama sejatinya menghendaki solusi. Agama Islam dengan kandungan ajarannya yang universal memberikan konsep yang indah, sehingga tidak akan ditemukan kebuntuan dalam berfikir dan bertindak terkait dilema kesetiaan tersebut.

Dalam Sūrah An-Nisā : 60, Alquran menegaskan, “Wahai orang yang beriman, taatlah kepada Allāh dan taatlah kepada Rasul, dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu.”

Kalimat “Wa ulil amri min-Kum” (dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu), jangan disalahpahami bahwa kesetiaan hanya diarahkan kepada kekuasaan orang Islam saja. Ayat ini justeru mengajarkan orang-orang yang beriman untuk bersikap positif dalam kwalitas loyalitas hakiki terhadap kekuasaan yang sah.

Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah, Ḥaḍrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. bersabda, “Al-Qurān memerintahkan, “Taatilah Allāh dan taatilah rasul-Nya dan taatilah mereka yang memegang kekuasaan di antaramu.” Oleh karenanya, orang yang beriman harus taat kepada para pemegang kekuasaan, selain dia taat kepada Allāh dan rasul-Nya. Memaknai bahwa para pemegang kekuasaan tidak termasuk pemerintahan non muslim maka akan berdampak pada kekeliruan”.

Ketaatan kepada para pemegang kekuasaan menjadi lebih jelas jika merujuk kepada sebuah hadis, di mana Rasulullah saw. bersabda, “Dia yang mentaatiku berarti dia mentaati Allāh swt. Dia yang tidak taat kepadaku berarti dia tidak taat kepada Allāh swt. Dia yang taat kepada pemegang kekuasaanya berarti dia taat kepadaku, dan dia yang tidak taat kepada pemegang kekuasaannya berarti dia tidak taat kepadaku.” (HR Muslim, Kitab Imarah)

Oleh karenanya, sikap terbaik bagi orang yang beriman adalah taat dan patuh terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang sah. Ketika seseorang terpilih menjadi bagian dari pemegang kekuasaan, maka dia terikat dengan janji dan sumpah jabatannya. Dan jika dia menyalahi janjinya, maka dia harus bertanggung-jawab kepada Negara dan Tuhan.

Ajaran Islam inilah yang menjadi dasar pemahaman Sistem Khilafah Ahmadiyah. Khilafah yang berciri khas sebagai institusi rohani ini tidak mencari dan memperjuangkan kekuasaan politik, serta tidak berkeinginan sama sekali untuk mendirikan Negara Islam. Khilafah Ahmadiyah memperjuangkan kemuliaan institusinya dengan metode-metode rohani, siapa pun yang tergabung dalam institusi ini, dia akan hidup sebagai warga negara baik dan taat kepada pemerintah yang sah.

Dan lebih dari pada itu, Khilafah Ahmadiyah senantiasa mengajarkan jamaahnya untuk terus berjuang mewujudkan kecintaan kepada negaranya dalam rangka menunaikan pesan Rasulullah saw., “Cinta kepada negara adalah sebagian dari iman.” Tentunya, ketaatan dan kecintaan yang istimewa bagi negara Indonesia dalam rangka mewujudkan NKRI yang berdaulat di bawah naungan dasar negara Pancasila dan UUD 1945.

Beberapa nama menjadi bukti loyalitas para pengikut Ahmadiyah terhadap NKRI. Sebut saja nama Olich Solichin yang berhasil menjuarai Piala Thomas pada tahun 1958, Arif Rahman Hakim yang dikenal sebagai Pahlawan Ampera, R. Muhammad Muhyiddin sebagai Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKAI) dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya WR. Supratman. Mereka dengan suka rela dan penuh semangat berkhidmat serta berjuang demi kemuliaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.