Pasca kunjungan Presiden Republik Indonesia dalam mendiskusikan terkait masalah perekonomian sekaligus membawa misi perdamaian dari Ukraina ke Rusia, sekarang kita akan sama - sama mengevaluasi kembali bagaimana kelanjutan dari invasi tersebut.
Baru - baru ini, tepatnya pada tanggal 5 Agustus 2022, Kim Jong Un (Dibaca : Presiden Korea Utara) telah mendeklarasikan kesiapan Negaranya dalam membantu Rusia.
Dimana Presiden Kim Jong Un telah mengirimkan 100.000 orang pasukan Militer ke Ukraina dan diperintahkan untuk mematuhi segala instruksi yang diberikan oleh Presiden Putin.
Presiden Kim Jong Un menyatakan kesiapannya dalam membantu Rusia adalah sebagai bentuk dukungan terhadap wilayah Donbas (Dibaca : Donetsk dan Luhansk) yang memang sudah merdeka dari Ukraina.
Hal ini pun semakin memperkuat paradigma dunia bahwa Presiden Putin sedang menciptakan aliansi baru dalam menghadapi Negara Uni Eropa.
Pasca kunjungannya ke Iran menemui Presiden Ibrahim (Dibaca : Presiden Iran) dan Presiden Erdogan (Dibaca : Presiden Turki) pada tanggal 8 Agustus 2022 kemarin, di mana disebut - sebut bahwa aliansi tersebut terdiri dari Negara berikut ; Rusia, Suriah, China, Turki dan Korea Utara.
Namun orang nomor 1 di Rusia itu hanya menyampaikan bahwa kunjungan tersebut dilakukan demi mencegah terjadinya isolasi internasional yang dilakukan oleh Negara yang ada di dunia terhadap Rusia. Mengapa demikian?
Tercatat bahwa beberapa hari sebelum kunjungan Presiden Putin ke Iran, Presiden Biden telah lebih dulu mengunjungi Israel dan Arab Saudi dan berjanji bahwa Iran tidak akan lagi memasok senjata (Dibaca : Drone dan senjata nuklir) ke Rusia.
Dan jika benar itu terjadi maka sangatlah jelas Amerika Serikat sedang melakukan propaganda terhadap Negara lainnya yang ada di dunia dalam "Menghukum" Rusia.
Diklaim terlalu gegabah dalam mengambil langkah, Mantan Mentri Luar Negri Amerika Serikat, Henry Kissinger memberikan peringatan pada Presiden Biden bahwa dirinya sudah terlalu ikut campur sehingga menjadikan Amerika berada dalam "Ambang peperangan" dengan Rusia dan China.
Presiden Biden juga diklaim terlalu gegabah dalam menentukan arah iklim perpolitikan dunia sehingga menciptakan perseteruan global yang semakin rumit dan serius.
Tidak hanya ikut campur dalam invasi Rusia - Ukraina, kunjungan kontroversi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Nancy Pelosi ke Taiwan pun mendapat pertentang keras dari China karena merupakan wujud sebuah pelanggaran.
**Catatan : Karena ranah saya memang Rusia-Ukraina, saya tidak akan merembes ke Amerika - Taiwan dalam tulisan ini. Tapi mungkin di tulisan yang berbeda bisa saja akan saya informasikan lebih lanjut.
Lantas bagaimana sikap Presiden Biden setelah memperoleh klaim tersebut?
Presiden Biden seolah "Mulai kelihatan aslinya", sang Presiden Amerika Serikat itu mulai menyalahkan Presiden Zelensky atas invasi Rusia - Ukraina yang berlangsung sangat lama.
Presiden Zelensky disebut - sebut tidak mau mendengarkan arahan dan informasi dari Amerika Serikat dan hal itu disampaikan oleh Presiden Biden pasca berlangsungnya pengumpulan dana partai di Los Angeles pada 10 Juni 2022 lalu.
Sedang Presiden Zelensky tetap bersikukuh bahwa dirinya akan merebut kembali Krimea (Dibaca : Wilayah Ukraina yang dicaplok oleh Rusia sejak 2014), mengingat bahwa invasi ini dimulai lantaran Krimea, maka harus diakhiri oleh Krimea.
Benar saja, selang beberapa waktu setelah Presiden Zelensky mengeluarkan statement demikian, terjadilah serangan di wilayah Krimea tepatnya di Bandar Udara Krimea.
Peristiwa tersebut disusul dengan ledakkan yang menghancurkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporizhzhia milik Rusia yang bertempat di Krimea.
Dan bersamaan dengan itu pulalah, sejumlah 30 puluh ribu orang warga negara Zaporizhzhia mulai mengurus surat pindah kewarganegaraan dari Ukraina ke Rusia.
Dan yang tidak kalah menggemparkan, baru - baru ini, Presiden Zelensky juga telah mendeklarasikan tentang kecurigaannya bahwa akan ada ancaman besar dari Rusia yang nantinya diluncurkan pada tanggal 24 Agustus 2022.
Hal ini dikarenakan, tanggal 24 Agustus merupakan hari kemerdekaan Ukraina pasca jatuhnya Uni Soviet, sekaligus genap sudah 6 bulan invasi Rusia - Ukraina yang dimulai sejak tanggal 24 Februari lalu.
Dan kecurigaan tersebut diperkuat dengan masuknya rudal S-300 Rusia ke wilayah perbatasan sejak tanggal 20 Agustus, namun sama sekali belum difungsikan hingga hari ini. Bersamaan dengan itu juga ada banyak sekali kereta api yang masuk ke wilayah Ukraina namun belum difungsikan hingga sekarang ini.
Namun, dalam menyikapi hal itu, sekiranya kecurigaan orang nomor 1 di Ukraina ini benar, maka Presiden Zelensky bersama dengan pasukan Militernya yang tersisa sudah menyiapkan strategi atas segala kemungkinan terburuk.
Sepertinya benar prediksi dunia, bahwa Presiden Putin tidak akan berhenti sebelum mendapatkan kembali Ukraina yang sudah jauh sekali terpropaganda Amerika.
Dan Presiden Putin lebih rela Negara Ukraina tidak ada lagi dalam daftar Negara yang ada di dunia, ketimbang Ukraina harus menjadi boneka Amerika.