Banyaknya hoakd yang bertaburan di tengah-tengah masyarakat serta maraknya praktik kolusi di Indonesia memaksa kita untuk lebih selektif dalam menentukan media mana yang akan kita jadikan acuan informasi.
Keberadaan media yang membludak di mana-mana dengan sudut pandang yang berbeda tentu membentuk berbagai macam opini. Kredibilitas yang tidak lagi dijunjung tinggi melainkan hanya sekadar jargon yang disampaikan dengan retorika yang tepat membuat kita sering kali tertipu olehnya.
Sebagai the fourth estate, atau jurnalistik yang digadang-gadang sebagai kekuatan keempat dalam struktur kenegaraan, media memiliki peran dan tanggung jawab yang besar. Termasuk dalam membeberkan informasi, mengawasi jalannya pemerintahan, dan meluruskan segala sesuatu yang sifatnya simpang siur. Tetapi apa jadinya jika tanggung jawab tersebut berada di bawah tekanan kepentingan kaum elite?
Keadaan jurnalistik hari ini amat memilukan. Para ibu-ibu kolot tamatan SLTA pun sudah paham media yang ini lebih condong ke sana dan media lainnya ke sini. Strategi-strategi media yang sudah diketahui publik tampaknya tak menggulirkan semangat mereka dalam meneruskan rutinitas kotor ini.
Seringnya kepentingan-kepentingan pribadi dicampur-adukkan dalam kepentingan publik menjadi persoalan dilematis. Belum lagi opini yang dikemas dengan rapi dalam balutan hard news.
Namun tak sedikit pula orang yang masih belum mengerti cara kerja media. Mereka belum menyadari betapa media memiliki andil yang besar dalam membentuk pola pikir kita. Sering kali kita terlena dalam bualannya. Banyak orang yang menjadi korban tipu daya media.
Pers memiliki fungsi sebagai kontrol sosial. Mereka mempunyai kekuatan untuk memengaruhi kita para audiens-nya. Segala yang mereka informasikan kepada kita akan membentuk bahkan mengubah cara pikir kita.
Sebagai contoh kecilnya, jika selama ini kamu berpikir si Fulan adalah orang baik, lalu sebuah media memberitakan sisi buruk tentang si Fulan, maka tentu pendapatmu tentang si Fulan akan berubah.
Meski begitu, belum tentu sisi buruk si Fulan memiliki korelasi dengan kepentingan publik. Namun untuk meruntuhkan nama si Fulan, tentu media harus mencari jalan lain. Tak jarang mereka mengorek masalah pribadi orang lain untuk menjatuhkan nama pesaingnya.
Karenanya, citra si Fulan akan tercoreng. Padahal sisi buruk si Fulan hanya merugikan si Fulan; tidak ada sangkut pautnya dengan publik, apalagi sampai merugikan publik. Ingat lagi, setiap media memiliki kepentingan masing-masing.
Perlu diketahui, segala sesuatu yang berkaitan dengan media adalah karya seni jurnalis yang bekerja di dalamnya. Mereka juga memiliki sudut pandang dan cara berpikir yang berbeda. Namun aspirasi mereka ditampung dalam satu wadah bertajuk “media”. Pendapat per individu disatukan, disamaratakan agar serupa dan tidak berat sebelah.
Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam karyanya 9 Elemen Jurnalisme telah menyebutkan secara eksplisit bahwa kewajiban pertama seorang jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Lalu diikuti dengan loyalitas kepada masyarakat.
Artinya, seorang wartawan harus berada di pihak yang benar, memprioritaskan kepentingan publik di atas segala-galanya. Kemudian dilanjutkan dengan verifikasi melalui wawancara, agar berita yang dipublikasikan tidak salah kaprah serta memiliki value kebenaran.
Apakah media hari ini tidak menyampaikan kebenaran? Bukan. Duduk persoalannya adalah bagaimana cara media mengemas kebenaran dengan cara yang terkesan menyudutkan.
Belum lagi kelakuan media yang seringnya menonjolkan satu sisi dan mengubur dalam-dalam sisi lainnya. Artinya, media hanya menonjolkan sisi baik dari orang yang disokongnya. Dan dengan sengaja menutup mata untuk sisi sebaliknya.
Persaingan-persaingan di antara mereka terlebih pra-pemilu sangat jelas terlihat. Media yang ini berusaha mati-matian mencari kesalahan si Fulan, sedang media lainnya berusaha keras menggagalkannya.
Jurnalistik harus memiliki idealisme. Tidak perlu menentang pemerintahan. Cukup dengan tetap menjalankan tugasnya sebagai kontrol sosial. Menjadi sumber berita yang adil, berimbang, dan terpercaya.
Apa yang harus kita lakukan sebagai konsumen media? Mengingat kembali tentang sudut pandang media yang masing masing berbeda, ada baiknya kita sebagai audiens tidak mengandalkan satu media saja sebagai patokan informasi kita.
Maksudnya, kita tidak terpaku kepada satu media, kita juga harus mengamati media lainnya agar informasi yang kita dapatkan sesuai dengan realitas. Makin banyak media, makin luas pula sudut pandang kita.
Masyarakat diharapkan dapat lebih cermat dalam menganalisis informasi. Tidak main telan, tetapi mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu.
Di zaman marak hoaks ini, skeptis adalah sikap pencegahan yang paling dini. Dengan tidak memandang segala sesuatu secara pasti, atau sederhananya mencurigai semua hal sampai bisa dibuktikan benar salahnya.
Selain itu, sebagai rakyat yang mendambakan perdamaian dan keadilan, tidak ada salahnya jika kamu mengeluarkan suara atas sesuatu yang kamu rasa tidak sesuai dengan semestinya. Karena pers sebagai kontrol sosial butuh rakyat yang juga harus mengontrolnya.