Training ini sangat berguna bagi saya, saya jadi tahu kebanggaan yang berlebihan pada agama dan suku membuat kita berkonflik. Apalagi akhir-akhir ini banyak sekali ajakan untuk demo tanggal 4 November, saya ngeri dan takut, takut kehilangan orang-orang yang saya sayangi.” -- Ning Setiani, Sekolah Perempan Bidara Cina

“Dialog antaragama saya pikir hanya bisa dilakukan oleh elite, tapi kita juga bisa ya, biar saling paham dan menghargai masing-masing agama dan suku, gak mudah ikut-ikutan, jadi punya sikap sebagai perempuan.” -- Musriyah, Sekolah Perempuan Rawajati

Ning dan Musriah, dua dari 25 peserta yang menyampaikan kesan dan pesan setelah mengikuti “Pelatihan Menumbuhkan dan Memperkuat Nilai-Nilai Pluralisme, Multikultural, dan Dialog Antaragama” pada 1 November 2016 di Aula Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta Timur, kemarin.

Memang harus diakui, jelang Pemilukada DKI Jakarta, aura terasa cukup panas, utamanya bila dikaitkan dengan situasi demo 4 November mendatang.

Kiranya tafsir surat al-Maidah ayat 51 yang dijelaskan oleh para pemikir Islam dengan akal dingin dan tanpa emosi tak jua mampu meredam rencana aksi dua hari ke depan. Sebuah aksi lanjutan yang berujung pada permintaan proses hukum pada Ahok, salah satu kandidat gubernur DKI Jakarta.

Ajakan untuk berdemo bergema melalui banyak cara. Bahkan, seorang peserta training mengakui ajakan dilakukan melalui masjid di tempat ia tinggal, lepas azan subuh sejak dua hari lalu. Pada saat yang sama, disadari atau tidak, situasi tersebut bisa berdampak memunculkan riak-riak konflik di akar rumput.

Merespon situasi tersebut, penguatan bagi kelompok akar rumput sangat diperlukan. Jika konflik terjadi, adalah masyarakat di akar rumput yang mula-mula terkena dampak secara langsung; sebagai korban ataupun sebagai masa yang digerakkan di mana perempuan selalu menjadi korban berlapis. Dan kita tak akan ingin peristiwa Poso, Aceh, Sampang, Tolikara, dan wilayah lain terjadi di Indonesia terjadi lagi.

Mpho A. Tutu, putri Archbishop Desmond Tutu berucap akan pengalamannya membangun budaya damai di Afrika Selatan, bahwa perempuan karena perannya sebagai ibu dan dekat dengan keluarga dan komunitas dapat menjadi pilar dan agen perdamaian. Budaya maaf yang ditularkan oleh perempuan disana berkontribusi penuh menjadikan negara itu bisa membangun puing-puing rekonsiliasi setelah Apartheid.

Hal yang sama, Muhammad Abu Nimer juga menarasikan pentingnya memaafkan. Ia menggambarkan maaf dan damai yang diberikan Palestina pada Israel akan menyumbang perdamaian di negeri itu dan juga dunia.

Di Jakarta, Sekolah Perempuan dari tiga wilayah yakni Bidara Cina, Jatinegara Kaum, dan Ciliwung (Rawajati) yang diinisiasi pembentukannya oleh Institut KAPAL Perempuan sejak tahun 2003 kiranya juga punya visi yang sama, mencegah konflik, membangun budaya damai.

Training kolaborasi antara KAICIID, Institut KAPAL Perempuan, dan Sekolah Perempuan ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman para leader tentang pluralisme, multikultural  politik identitas, serta pentingnya membangun dialog antaragama telah memuat enam materi.

Materi tersebut di antaranya yakni identitas, politik identitas, prasangka, memahami asal mula konflik, pencegahan konflik, pluralisme dan upaya membangun budaya damai melalui dialog antaragama.

Untuk itulah, Sekolah Perempuan sebagai kelompok perempuan di akar rumput memang tepat mendapatkan pelatihan ini. Sebagai leader mereka harus melek dan faham politik tetapi nilai-nilai non partisan dan tidak terlibat aktif dalam politik praktis sebagaimana disampaikan oleh Sofia dan Winoto penting dijaga.

Di tataran elite, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Muhammadiyah, NU, dan MUI kemarin nampaknya juga bermaksud mengajak tiga organisasi ini meredam umatnya agar tak ikut berdemo.

Saya pikir, akar rumput juga harus bergerak.

Saya bayangkan, jika 25 orang dari tiga wilayah berbeda ini dapat menyerukan nilai-nilai perdamaian kepada anggota kelompok dan komunitasnya, dan anggota kelompoknya menyebarkan kembali pada orang lain, minimal saja melarang suami, anak laki-laki, saudara laki-lakinya untuk bergabung pada Jumat mendatang serta memberikan pemahaman kiranya upaya nyata membangun budaya damai di akar rumput akan terjadi.

Inilah penyikapan para pemimpin perempuan yang patut diapresiasi dan didukung. Semoga.