Saya ingin berbagi cerita perihal pluralitas beragama di Sumatra Barat, terkhusus Kota Bukittinggi. Beberapa waktu lalu, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam IAIN Bukittinggi mengadakan acara Youth Peace Festival di kampus IAIN Bukittinggi yang terkenal dengan sebutan kampus hijau nan asri ini. Youth Peace Festival ini diadakan dalam rangka perayaan Hari Filsafat.
Kegiatan ini berlangsung selama dua hari berturut-turut, dengan rangkaian kegiatan yang beragam, mulai dari diskusi dosen perihal keragaman di Bumi Minang, serta dilanjutkan dengan Speech Contest antarpemuda lintas agama yang berada di Sumatra Barat.
Hingga membedah film “The Imam and The Pastor” yang langsung mendatangkan Pastor dari Gereja Saverius Bukittinggi sebagai The Pastor dalam film tersebut, sedangkan The Imam-nya langsung diwakili oleh Direktur Pascasajrana IAIN Bukittingg sendiri.
Acara ini juga sebagai wujud dari kerja sama antara Prodi Aqidah dan Filsafat Islam IAIN Bukittinggi dengan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Bukittinggi. Yang sebelumnya juga telah mengadakan acara Youth Camp Antar-Pemuda Lintas Agama selingkup Sumatra Barat, yang ditutup dengan jalan santai antarumat beragama di Bukittinggi.
Pada kesempatan itu, langsung dibuka oleh Wali Kota Bukittinngi. Dalam sambutannya, beliau sangat mengapresiasi kegiatan ini, agar tercipta kedamaian antarumat beragama yang berada di Kota Bukittinggi dan sekitarnya.
Saya sebagai tenaga pengajar juga ikut memeriahkan acara tersebut, dengan memoderatori pembedah film “The Imam and The Pastor” yang dihadiri oleh selingkup akademika IAIN Bukittinggi itu. Serta Pemuda Lintas Agama Sumatra Barat yang tergabung dalam Komunitas Pelita.
Hari pertama acara ini diadakan langsung mendapatkan kritikan yang luar biasa dari berbagai pihak, mulai dari MUI, para ustaz, dosen-dosen, masyarakat di sekitar kampus, guru-guru sekolah agama, serta tokoh-tokoh agama Bukittinggi sendiri. Bahkan semua yang ikut dalam pengadaan event ini, baik kepanitiaan, mahasiswa, dan bahkan Prodi Filsafat IAIN sendiri langsung mendapatkan teror, baik melalui media sosial berupa Whatshapp, Facebook, Instagram, dan sebagainya.
Saya sendiri, di akun media sosial pribadi, langsung dikecam kafir dan telah sesat dengan ikut acara tersebut, bahkan memoderatori seorang Pastor dalam diskusi tentang keragaman di Kampus Islam yang katanya itu haram dan sebagainya. Orang tua angkat saya yang notabennya juga seorang dosen langsung menghubungi saya, dan mengatakan agar saya cepat sadar dari acara pengkafiran tersebut karena sudah menyimpang dari ajaran Islam.
Tak berhenti sampai di situ, bahkan para kawan-kawan saya ketika mengajar di Pondok Pesantren juga ikut men-tag saya di Facebook agar cepat-cepat sadar dari kesesatan ini.
Fenomena ini membuat saya geleng-geleng kepala dan bertanya heran. Di manakah letak kafirnya seorang muslim yang berbicara dan membawa Pastor dalam kampus Islam? Begitu sempitnyakah kita memahami Islam? Atau memang seperti itukah ajaran Islam mengajarkan umat untuk berinteraksi dengan agama-agama lain?
Ataukah memang tak ada tempat untuk berbagi dengan kawan-kawan non-muslim dalam ranah sosial? Sehingga berbaur dengan orang-orang beragama berbeda dengan kita itu seolah sangatlah hina dan menyesatkan.
Inilah salah satu fenomena-fenomena pluralitas beragama yang masih perlu ditinjau kembali oleh masyarakat Minang yang katanya aman-aman saja itu. Perihal toleransi beragama, Sumatra Barat tidak dalam baik-baik saja. Hampir sebagian besar orang Minang mengatakan bahwa Sumbar adalah daerah yang paling toleran perihal perbedaan agama. Iya secara teori, namun nihil secara praktis.
Fenomena seperti inilah yang akan terus menimbulkan primordial dan konflik antarumat beragama. Ditambah lagi dengan masyarakatnya yang belum terbentuk kesadaran multikulturalisme, yaitu masyarakat yang tak hanya sekadar mengerti akan adanya kelompok-kelompok yang berbeda, melainkan masyarakat yang mampu memberikan tempat dan ruang serta rela hidup berdampingan dengan kedamian dan varian-varian yang ada pada kelompok yang berbeda tersebut.
Kita terlalu sibuk dengan bentuk simbolitas agama itu sendiri, sehingga lupa substansi dari ajaran agama secara benar. Terlalu cepat menganggap orang lain salah dan merasa kita paling benar. Sikap inilah yang harus kita perbaiki dan ditinjau ulang.
Kita merasa orang yang tahu terhadap banyak hal, namun secara pengamalan kita begitu fakir. Perihal surga dan neraka itu adalah kepastian dan urusan Tuhan. Kita sebagai manusia hanya mampu berusaha hidup secara baik dan benar seperti ungkapan Cak Nun.
Kita perlu mengikis prasangka-prasangka negatif dalam memandang agama-agama yang berbeda di negeri ini. Upaya itu sangat perlu dan penting dilakukan dalam masyarakat yang plural ini.
Dalam konteks masyarakat yang plural ini, kita perlu sikap dan pemikiran yang inklusif yang berpandangan bahwa di luar agama yang kita anut juga terdapat kebenaran walaupun tidak sesempurna agama yang kita anut. Pemikiran yang seperti ini tidaklah salah, bahkan pemikiran yang seperti ini akan membuat kita makin toleran dan menghargai satu sama lain.
Sebagai mayoritas, kita harus mampu menunjukkan kepada semua makhluk Tuhan di dunia ini, bahwa Islam itu rahmat bagi semua, yang mampu berdialektika dengan realitas kehidupan manusia yang majemuk. Jangan memahami Islam secara kaku, seperti lo ke aku.
Artinya, kita memang butuh pemahaman yang benar dan baik perihal agama, agar mampu hidup berdampingan dengan kedamaian antarumat manusia. Jika mereka bukan saudara kita seiman, maka mereka adalah saudara kita semanusia.