Dalam konteks hubungan antara negara dan warga negara, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar warganya, seperti pendidikan dan kesehatan. 

Sejauh ini, negara, yakni pemerintah Indonesia, sudah mengupayakan berbagai langkah, seperti menyediakan BPJS, PKH, KIP, dan berbagai program lainnya. Ini perlu diapresiasi. Sayangnya, hal tersebut hanya berlaku untuk masyarakat secara umum, sementara ada kelompok tertentu yang memiliki kondisi berbeda.

Dalam konteks ini, para pekerja seks di lokalisasi Bong Suwung Yogyakarta. Kondisi yang berbeda menuntut negara untuk mengupayakan pemenuhan hak dasar warga negaranya dengan cara yang berbeda. 

Warga negara yang bertempat tinggal maupun yang “bekerja” di lokalisasi Bong Suwung mayoritas memiliki KTP. Itu artinya, mereka sah 100 persen sebagai warga negara Indonesia dan memiliki hak yang sama. Namun dalam praktiknya, negara tidak benar-benar hadir memenuhi hak dasar mereka.

Citizenship dalam Kajian Post-Kolonial

Kurang maksimalnya peran negara dibuktikan dengan munculnya berbagai pihak yang mengulurkan tangan memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dalam kajian Citizenship, munculnya pihak ketiga atau biasa disebut dengan mediator umum ditemukan di negara bekas jajahan di Asia, termasuk di Indonesia. 

Namun, kemunculan pihak lain yang menjembatani relasi antara negara dan warga negara bukanlah hal buruk, namun lebih kepada karakter negara post-kolonial yang terbentuk dari proses sejarah yang  tidak sama dengan negara-negara barat.

Di negara-negara bekas jajahan, warga negara tidak bisa secara face-to-face menghadapi negara. Karakter lainnya, negara post-kolonial selalu membutuhkan pihak lain dalam upaya pemenuhan hak-hak dasar mereka dikarenakan adanya perbedaan antara right on paper dan right on reality. 

Hal ini juga dimungkinkan oleh karakter komunikasi masyarakat yang lebih menyukai berkomunikasi secara informal. Di beberapa kelas sosial, elite, seperti warga negara yang berpendidikan tinggi, hubungan antara negara dan warga negaranya mungkin bisa dilakukan secara face-to-face, tetapi tidak pada umumnya.

Bahkan, sebagian warga negara tidak menyadari hak-hak dasar yang seharusnya mereka peroleh. Walhasil, pihak pemerintah yang kurang cukup dalam pemenuhan hak dasar warga negaranya seolah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. 

Tanpa adanya kesadaran tersebut, kontrol terhadap kinerja pemerintah akan sedikit abai. Untuk itu, diperlukan adanya mediator dan pihak-pihak lain, dalam hal ini penulis menyebutnya sebagai komplementer atau pelengkap yang menemani warga negara dalam pemenuhan hak-hak dasar.

Masalah yang Dihadapi Para Pekerja Seksual di Bong Suwung dan Absennya Negara

Terdapat sekitar 120-an pekerja seksual aktif yang bekerja di Bong Suwung setiap malam. Sebagian merupakan warga Jogja sendiri, sebagiannya lagi merupakan pendatang dari beberapa daerah lain seperti Solo dan Klaten. 

Dari jumlah tersebut, sekitar 80-an pekerja seks tinggal di lokalisasi Bong Suwung yang terletak di barat Stasiun Tugu Yogyakarta dan hanya sekitar 40 pekerja seksual yang tergabung dalam komunitas ADS (Arum Dalu Sehat). Dan itu artinya, hanya sekitar 40-an pekerja seks atau sekitar 30 persen yang terpenuhi kebutuhan kesehatannya. 

Mereka yang tergabung dalam komunitas ADS bisa secara rutin mengecek kesehatannya secara gratis, seperti halnya pemeriksaan kanker servik dan test produksi kesehatan. 

Selain itu, bagi mereka yang tidak memiliki BPJS disediakan Jamkesos. Dengan kata lain, kontrol kesehatan terhadap pekerja seks di Bong Suwung masih kurang padahal pekerja seks sangat rawan terkena penyakit kelamin seperti HIV/AIDS.

Program lainnya yang menyasar keseluruhan pekerja seksual, baik anggota ADS maupun non-anggota, yakni program VCT (Voluntary Counseling Testing) yang diadakan sekali dalam tiga bulan. 

Namun, meski demikian, sebagai salah satu kelompok masyarakat marginal dan lebih dari itu, dianggap sebagai patologi sosial, tidak jarang mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif, baik dari masyarakat secara umum maupun dari pihak pelayanan umum.

Kondisi di Bong Suwung lebih kompleks daripada masyarakat marginal lainnya. Karena, selain miskin dengan berpendidikan rendah, mereka juga diangap sebagai patologi atau sampah masyarakat. Berbagai masalah tersebut menjadikan mereka terjebak dalam lingkaran pelacuran terus-menerus. 

Faktanya, mayoritas anak-anak di Bong Suwung mengalami putus sekolah di level Sekolah Dasar. Anak-anak di sekitar lokalisasi mentok lulus Sekolah Dasar menjadi anak-anak jalanan atau paling bagus mereka bisa lulus SMP, sesuatu yang jarang terjadi, apalagi untuk anak perempuan.

Sebagai anak yang lahir dari kondisi yang berbeda dan besar di lingkungan lokalisasi, mereka memiliki karakter dan cara hidup yang berbeda dengan anak-anak secara umum serta memiliki motivasi belajar yang rendah. Kondisi tersebut membuat anak-anak tidak bisa menerima pembelajaran di sekolah-sekolah formal sebagaimana anak-anak upada umumnya. 

Sekalipun mereka sekolah dengan bebas biaya, hal tersebut tidak akan menyelesaikan persoalan selama tidak ada tindak lanjut secara khusus dari pihak pemerintah. Kondisi mental anak-anak di lokalisasi sangat jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya. 

Karena itu, mereka membutuhkan penanganan yang berbeda. Pendidikan yang tepat merupakan salah satu hak dasar yang perlu negara penuhi.

Jika pendidikan tidak terpenuhi, anak-anak akan tumbuh mengikuti pekerjaan orang tuanya menjadi pekerja seks dan preman setempat. Selain dua pekerjaan tersebut, penghuni lokalisasi biasanya bertahan hidup sebagai pemulung, pekerja karaoke, atau mentok jualan di sekitar lokalisasi. Dan lingkaran tersebut tidak akan putus tanpa adanya pendidikan yang cukup.

Dalam hal pendidikan untuk anak-anak pekerja seksual Bong Suwung, SPM Realino, sebuah yayasan sosial dari umat Katolik mencoba untuk menemani mereka belajar sekali dalam seminggu selama dua jam. 

Tentu ini masih jauh panggang dari api untuk memutus rantai sosial yang membelenggu mereka. Apa yang dilakukan SPM Realino, hanya cukup sekadar menstimulus anak-anak untuk, setidaknya, memiliki sedikit memori manis yang bisa mereka kenang kelak.

Beberapa informasi di atas berasal dari wawancara langsung dengan Nia Viviawati (29) yang merupakan koordinator ADS (Arum Dalu Sehat), komunitas pekerja seksual di Bong Suwung. Selain menjadi koordinator ADS, Nia juga merupakan ketua dari P3SY (Perhimpunan Perempuan Pekerja Sex Yogyakarta) yang membawahi beberapa daerah lokalisasi, seperti Bong Suwung, Prambanan, Jombor, Parangkusumo, Gunungkidul, dan Bantul. 

Selain melakukan wawancara secara mendalam dengan Nia pada awal Mei 2019 lalu, penulis juga beberapa kali melakukan observasi dengan menemani proses pembelajaran anak-anak di Bong Suwung bersama SPM Realino dan melakukan obrolan-obrolan lainnya untuk menggali informasi lebih luas.

Hubungan Antara Negara, Warga Negara, Mediator, dan Komplementer

Di beberapa penelitian lain mengenai citizenship, LSM dan komunitas biasanya berperan sebagai mediator. Namun untuk kasus Bong Suwung, LSM dan komunitas keagamaan seperti yang sudah disebutkan di atas memiliki peran sebagai komplementer atau pelengkap. Hal ini dikarenakan ada pihak lain yang lebih tepat disebut sebagai mediator, yakni Nia Viviawati sebagai koordinator ADS. 

Nia memiliki kesadaran lebih mengenai hak-hak sebagai warga negara, dan menjadi penghubung, baik antara instansi negara dengan pekerja seksual Bong Suwung maupun antara pihak lain, yakni LSM dan komunitas keagamaan dengan pekerja seksual. Jadi di sini, negara, pihak keempat dan pekerja seksual di Bong Suwung, dihubungkan melalui mediator, yakni Nia.

Di lokalisasi Bong Suwung tercatat ada beberapa LSM dan satu komunitas keagamaan yang menemani mereka dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, seperti Yayasan Victori Plus, PKBI (Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia), LBH (Lembaga Bantuan Hukum), OPSI, Global Fund, dan komunitas keagamaan SPM Realino milik yayasan Katolik. Sementara itu, institusi pemerintah yang hadir secara aktif, yakni Puskesmas Gedong Tengen.

Kemunculan pihak keempat atau kompelementer ini dimungkinkan karena posisi mediator tidak cukup kuat sebagai mediator sehingga perlu untuk ditemani oleh pihak keempat. 

Jika di kasus lain mediator memiliki bargaining power dan relasi yang kuat dengan pihak pemerintah, di kasus ini mediator memiliki kesamaan profesi sebagai pekerja seks, dan tidak lebih dari yang lain secara ekonomi; dan itu artinya mediator tidak cukup memiliki bargaining power untuk memediasi hubungan antara negara dan warga negara.

Hal yang membedakan Nia dan pekerja seks yang lain adalah adanya kesadaran sebagai warga negara, dan upaya untuk memperbaiki diri dan komunitasnya secara terus-menerus dengan cara aktif berperan dan membangun komunikasi dengan pihak lain. 

Sebaliknya, tanpa Nia, pihak lain juga akan mengalami kesulitan untuk masuk ke lingkaran Bong Suwung. Bahkan, mereka tidak benar-benar paham bagaimana menyalurkan aksi-aksi sosial agar tepat guna.

Di sisi lain, sulitnya pemerintah menyalurkan service terhadap warga negaranya di Bong Suwung, menurut analisis penulis, dikarenakan pasifnya peran pemerintah selama ini. Sehingga, mereka tidak benar-benar merasa adanya kehadiran negara. Konsekuensinya, mereka, sebagai warga negara, akan acuh tak acuh untuk ikut berpartisipasi dalam membangun negara. Ikut berpartisipasi dalam pemilu contoh konkretnya.

Padahal, idealnya, untuk membangun sebuah bangsa diperlukan adanya saling respons satu sama lain antara negara dan warga negara. Negara wajib melindungi dan memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya, dalam hal ini kesehatan dan pendidikan. Sebaliknya, warga negara perlu ikut berpartisipasi secara penuh mendukung jalannya negara yang berdemokrasi. 

Dan dalam dalam konteks relasi tersebut, negara sebagai subjek yang memiliki otoritas kekuasaan wajib berperan aktif dengan berbagai upaya untuk memenuhi hak dasar warga negaranya secara penuh. Jika kebutuhan dasar warga negara terpenuhi dan mereka merasakan kehadiran negara, civil participation akan terbangun dengan sendirinya sehingga kemudian akan tercipta apa yang disebut sebagai full citizenship.