"Waktu saya meminta paspor RI, jawaban imigrasi meminta saya membuktikan bahwa saya warga negara Republik Indonesia. Saya tunjukkan surat asli bahwa saya memilih warga Indonesia dalam rangka persetujuan dwi kewarganegaraan (saya tak pernah setuju dengan perjanjian ini). Tapi hal ini tidak cukup. Mereka ingin mengadakan checking bahwa surat asli itu memang sah." (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989: 56-57).
Pernyataan dari Soe Hok Gie ini menunjukkan bahwa pandangan primordial sudah tertanam sejak puluhan tahun lalu. Kategorisasi yang menimbulkan istilah pribumi-nonpribumi tidak hanya mencuat di era sekarang, tapi menjadi sebuah kelaziman sejak dulu.
Pandangan etnis yang tersegmentasi ini menjadi perhatian Soe Hok Gie yang juga merupakan keturunan Cina. Seperti yang diungkapkannya di awal tulisan ini. Bahkan Gie sempat menunjukkan surat pernyataan dirinya sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia untuk meyakinkan aparat birokrat.
Gie bukan hanya aktif menyuarakan kritik kemapanan terhadap pemerintah di era 1960-an. Dirinya juga mengambil langkah untuk menghilangkan batasan tradisional terkait etnis minoritas.
Secara sadar, Gie mengakui tidak menyalahkan asal keturunannya karena itu merupakan ketetapan yang tidak bisa dipilih. Dirinya hanya menginginkan sebutan pribumi tidak patut berdasarkan bentuk fisik dan garis keturunan. Bagi Gie, pribumi adalah orang yang berjuang untuk kebaikan Indonesia.
Pergerakan Gie dimulai ketika dirinya bergabung dan menjadi anggota LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Organisasi ini disponsori angkatan bersenjata untuk menggalang kesatuan di kalangan keturunan Cina.
LPKB sebenarnya antitesa organisasi serupa bernama BAPERKI (Badan Perwusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Bila LPKB memiliki pandangan yang asimilatif, maka BAPERKI memiliki pandangan integratif.
Kaum keturunan Cina yang diwakili oleh Tjung Tin Jan dan Lauw Chuan Tho menginginkan asimilasi atau peleburan sehabis-habisnya orang keturunan Cina ke dalam penduduk pribumi. Ini berarti orang-orang keturunan Cina meleburkan dirinya ke dalam suku-suku yang ada di Indonesia. Seperti yang dikatakan Leo Suryadinata agar orang-orang Cina meninggalkan kecinaanya, "to abandon their Chinese." (Leo Suryadinata, 1979: 108).
Sedangkan pihak BAPERKI menganut prinsip yang persis sebaliknya, yaitu mempertahankan pluralisme. Sebagaimana begitu banyaknya etnis di Indonesia, maka anggaplah orang Cina memiliki etniknya sendiri. Maka Cina bisa dikatakan setara dengan suku-suku lain, semisal Jawa, Sunda, Minang, Batak dan lain-lain.
Persoalannya bukanlah meninggalkan kecinaan seseorang, tetapi berintegrasi ke dalam bangsa Indonesia. Sehingga Indonesia adalah suatu mozaik yang terdiri dari berbagai etnis.
Sebenarnya agak di luar dugaan ketika Gie memilih meninggalkan kecinaannya dengan bergabung bersama LPKB. Melihat dirinya yang bersikukuh tidak mengubah nama Chinese-nya. Hal berbeda ditunjukkan Ayah Gie yang mengubah nama Soe Lie Piet menjadi Salam Sutrawan dan Kakak Gie, Soe Hok Djin menjadi Arif Budiman.
"Aku setuju dengan ide-ide mereka dalam soal asimilasi. Pokoknya ada peranan kebencian pada masyarakat peranakan pada diriku. Masyarakat sebagai suatu golongan karena sikap hidup yang begitu middle class dalam pengertian money complex atau tepatnya maniak." (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989: 53).
Secara visioner, sebetulnya Gie lebih condong ke dalam prinsip BAPERKI. Pluralisme kultural merupakan corak demokrasi yang ingin dipertahankan Gie. Tetapi, Onghokham, penandatangan manisfesto LPKB menyebutkan, seorang seperti Gie merupakan eternal oppositionist yang tak tahan berhadapan dengan establishment.
BAPERKI yang tidak lain adalah organ corong dari rezim Soekarno (rezim yang teramat ditantang Gie), membuat Gie enggan bergabung ke organisasi ini. Onghokham menyebutkan, bukan karena prinsipnya, tetapi karena oportunisme BAPERKI yang membuat Gie memilih LPKB. Di organisasi LPKB jugalah Gie berkenalan dengan orang-orang yang kelak juga berpartisipasi dalam penggulingan Soekarno.
Konsep pemikiran Gie sebenarnya tidak dibatasi pada organisasi tertentu. Egaliterian terhadap etnis minoritas adalah esensi yang ingin ditunjukkannya. Baik asimilasi maupun integrasi, bagi Gie, tidaklah terlalu penting. Dirinya pun sependapat dengan Bung Karno yang menyatakan solidaritas nasional dan kesatuan nasional hanya dapat diperjuangkan melalui hak yang sama di antara berbagai suku dan kelompok peranakan.
Seperti disebutkan sebelumnya, bergabungnya Gie ke dalam organ LPKB hanya karena persoalan situasional, tidak dari hati. Puncaknya, pada 8 Maret 1966, Gie diadili LPKB. Pada hari itu juga dirinya diberhentikan dengan permintaan sendiri dengan ucapan terimakasih atas jasa-jasanya.
Soe Hok Gie menyadari betul betapa sulitnya menjadi orang keturunan di negeri ini. Situasi yang sama juga kerap terjadi saat ini. Terlebih bangsa yang disebut nonpribumi itu memiliki corak over-idealism, sebuah bentuk pemikiran yang sangat melawan kemapanan dan anti penindasan. Maka orang seperti itu harus dibuang dan diasingkan dengan menggunakan istilah "hati-hati dominasi minoritas."
Tak perlu dipertanyakan, orang seperti Gie memang kaum peranakan. Tetapi bisa dikatakan Gie lebih Indonesia dibandingkan orang Indonesia yang menyebut dirinya Indonesia itu sendiri.