Si Paijo, seorang pemuda desa, baru saja memiliki smartphone, hasil dari kegigihannya menabung beberapa tahun ini. Sebuah alat yang sudah didambakannya sejak dulu. Dipandu temannya, Si Marto, Paijo lantas membuat akun surat elektronik atau sering dikenal dengan e-Mail. Tentu saja diikuti dengan mendaftarkan diri di berbagai macam media sosial. Paijo yang masih lugu itu, terkaget-kaget jika pendaftaran itu gratis. Berbeda dengan saat dia mendaftarkan diri masuk sekolah sepakbola, perlu merogoh beberapa lembar uang tabungannya.
Ya... begitulah kira-kira fenomena masyarakat saat ini. Rasanya kurang eksis jika tidak mempunyai berbagai macam akun media sosial. Namun, pernahkah terlintas dalam benak Anda, pengelola aplikasi media sosial memperoleh dana darimana untuk menghidupi perusahaannya? Padahal saat pengguna mendaftarkan diri, tidak sepersen-pun harus membayar.
Kembali ke cerita di atas. Paijo yang masih tahap usia dewasa itu menyukai sepakbola, sudah semenjak remaja dia menahbiskan diri sebagai penggemar berat salah satu klub sepak bola yang baru-baru ini mendapatkan scudetto. Lalu, Paijo dengan asyiknya berselancar di media sosial mencari grup fans klub itu, mencari berita-berita tentang club itu, dan penelusuran lain yang tidak jauh-jauh dari klub sepak bola kesayangannya itu. Setelah beberapa hari melakukan peselancaran di media sosial ini, tiba-tiba muncul iklan produk merchandise yang berlogo klub sepak bola kebanggaannya.
Kira-kira seperti itulah model bisnis dan sumber pendapatan perusahaan media sosial. Mereka dapat hidup dari iklan yang nitip untuk dipasang di halaman beranda media sosial. Mereka menawarkan tempat beriklan yang sudah pasti akan menyasar calon konsumen yang tepat. Berbeda dengan media periklanan lain, siaran televisi misalnya, yang masih mencari-cari hoki untuk mendapatkan sasaran yang tepat. Mengapa perusahaan media sosial bisa seoptimis ini? Karena mereka telah berhasil membuat mekanisme profiling atau personalisasi setiap pengguna media sosial.
Kita menggunakan media sosial, sebenarnya bukanlah gratis. Namun ada harga yang kita bayar. Apa itu? Kita bayar menggunakan data diri kita, yang secara suka rela kita berikan. Mulai dari nama, tempat tanggal lahir, kota asal, kota domisili saat ini, riwayat pendidikan, dan lain sebagainya. Data-data ini telah masuk ke dalam database mereka, lalu digunakan sebagai bekal pengetahuan melakukan personalisasi.
Selain data demografi yang kita isikan secara sukarela, bisa jadi, media sosial juga merekam dan mempelajari kebiasaan kita saat menggunakan media sosial. Misalnya, topik apa yang sering kita bahas dalam status kita, kapan saja kita berselancar di media sosial. Kemudian, ketika disodorkan konten tertentu, seberapa lamakah kita memandangi konten itu, apakah akan di-klik atau sebatas lewat saja. Selain itu jejaring pertemanan media sosial kita juga dapat menjadi bekal pengetahuan bagi media sosial. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika muncul anekdot: media sosial lebih memahami jati diri kita daripada diri kita sendiri.
Keberhasilan mekanisme personalisasi pengguna media sosial ini, akan berbanding lurus dengan tingkat akurasi dari sistem rekomendasi yang mereka buat. Dengan sistem rekomendasi inilah, perusahaan media sosial berani menjanjikan bahwa iklan yang dipasang akan menyasar orang yang tepat.
Semakin banyak data yang disimpan dan diolah, semakin “pandai” sistem rekomendasi itu. Sistem rekomendasi yang semakin pandai, akan semakin tepat menyasar calon konsumen, yang kemungkinan besar akan tertarik bahkan membeli produk yang ditawarkan.
Sekarang, apakah Anda rela data privasi Anda dijual seperti itu? Sebenarnya, mekanisme periklanan seperti ini telah disampaikan para pengelola media sosial. Biasanya tertulis dalam laman “Ketentuan Layanan". Sebagai contoh, ketentuan layanan yang disampaikan Facebook, sebagai berikut:
“Kami tidak membebankan biaya kepada Anda atas penggunaan Facebook atau produk dan layanan lainnya yang tercakup dalam Ketentuan ini. Sebagai gantinya, pelaku bisnis dan organisasi membayar kami untuk menampilkan iklan produk dan layanan mereka kepada Anda. Dengan menggunakan Produk kami, Anda setuju bahwa kami dapat menampilkan iklan kepada Anda yang menurut kami relevan dengan Anda dan minat Anda. Kami menggunakan data pribadi Anda untuk membantu menentukan iklan yang akan ditampilkan kepada Anda.
Kami tidak menjual data pribadi Anda kepada pengiklan, dan kami tidak membagikan informasi yang dapat mengidentifikasi Anda secara langsung (seperti nama Anda, alamat email, atau informasi kontak lainnya) kepada pengiklan, kecuali jika Anda memberikan izinnya secara khusus kepada kami. Akan tetapi, pengiklan dapat mengungkapkan sejumlah hal kepada kami, seperti jenis pemirsa yang diinginkan untuk melihat iklannya, dan kami akan menampilkan iklan tersebut kepada orang-orang yang mungkin tertarik.”
Secara teknis, Facebook tidak menjual data diri penggunanya secara eksplisit. Setiap pengguna media sosial sudah dikelompokkan sedemikian rupa sehingga nantinya iklan akan tepat menyasar pada kelompok tertentu.
Namun sayangnya, tidak semua pengguna memahami adanya ketentuan-ketentuan tersebut. Barangkali ini menjadi PR bersama untuk meningkatkan kesadaran literasi digital ditengah masyarakat yang masih dalam masa “pubertas” ber-media sosial.
Ada satu adagium dalam kaidah fikih (hukum Islam) yang sepertinya tepat dengan kondisi ini. Ridlo bi syaiin ridlo bi maa yatawalladu minhu, ketika kita menyukai/rela akan sesuatu, maka kita pun harus rela menerima turunan dari sesuatu itu. Jika kita menyukai ber-media sosial yang gratis itu, maka kita pun harus rela pada ketentuan layanannya.
Oleh karena itu, sebagai langkah melakukan proteksi diri, kita perlu berlaku lebih bijak ketika akan menggunakan media sosial. Perlu menyaring data apa saja yang akan kita bagikan ke media sosial. Selain itu, perlu juga kita membiasakan diri membaca secara cermat ketentuan layanan setiap media sosial yang kita gunakan.