Apa mungkin tulisan ini nantinya juga dapat dikategorikan sebagai penghinaan terhadap presiden, entahlah. Penulis hanya mencoba memberikan treatment dan membangkitkan kesadaran kita semua, bahwa hukum yang dipositifkan, dibukukan, dan diundangkan, Itu tidak mampu menyelaraskan pemahaman kita terhadap apa itu “kritik” dan apa itu “penghinaan”
Satu persoalan yang sampai saat ini masih sering terjadi dalam penyusunan suatu undang-undang adalah penggunaan kosakata, tidak sedikit dapat kita temui di beberapa undang-undang yang isi pasalnya menggunakan kata atau kalimat yang tidak baku, sehingga menimbulkan ambiguitas, multitafsir, dan kabur.
Sebut saja pasal 27 ayat (3) UU ITE yang dijadikan senjata oleh segelintir orang untuk menjerat orang-orang yang menurutnya itu adalah perbuatan pidana. Ataupun yang sekarang kembali hangat untuk diperbincangkan ialah terkait dengan pasal penghinaan terhadap presiden yang diatur dalam pasal 218 dan pasal 219 RKUHP
Penulis yakin, bahwa semua orang bersepakat dan menyatukan pendapat yang pada intinya tidak ada alasan pembenar seseorang dengan halal melakukan penghinaan terhadap sesamanya. Di satu sisi pemerintah masih mengakui terkait dengan hukum adat yang hidup di masyarakat. sehingga akan menjadi boomerang tersendiri kepada pembuat kebijakan untuk dapat memberikan definisi yang baik terkait dengan apa itu “penghinaan”
Apakah suatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai penghinaan hanya karena terpenuhinya unsur pasal dan adanya subjek hukum yang dirugikan, atau hanya berdasar terhadap adanya laporan karena penghinaan tergolong dalam delik aduan.
lebih lanjut, persoalan utama yang ada dalam pasal tersebut ialah ketidakmampuan pembuat undang-undang untuk dapat memberikan definisi yang jelas yang dapat menjadi pagar dan pembeda, mana perbuatan yang tergolong ke dalam penghinaan, dan mana perbuatan yang dikategorikan sebagai kritik
Jika kita berbicara terkait dengan penghinaan, hal itu sudah diatur baik di UU ITE ataupun di KUHP. Sampai dengan saat ini tidak ada definisi yang mampu merangkul arti dari dua kata tersebut, sehingga setiap orang juga dengan mudah dapat memberikan interpretasi versi mereka sendiri, tentu hal ini akan Kembali pada penafsiran hakim nantinya, dengan segala kuasa dan kebebasannya.
Pasal Lama yang Hidup Kembali
Sejatinya pasal tersebut sudah ada dalam KUHP peninggalan Belanda, akan tetapi Melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus pasal 134, 136, dan 137 yang mengatur terkait dengan penghinaan kepada presiden dan wakilnya
Setidaknya terdapat tiga hal penting yang menjadi ratio-legis Hakim MK waktu itu untuk mencabut pasal-pasal tersebut. Pertama, Mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kedua, menimbulkan ketidak-pastian hukum karena tolak ukur “penghinaan” itu tidak jelas, dan Ketiga, adanya prinsip Equality before the law.
Apa iya seseorang yang menyampaikan pendapatnya di muka umum berakhir dipidana hanya karena menurut presiden sebagai orang nomor satu yang memimpin negara dan pemerintah, menganggap pernyataannya itu tidak sopan dan merugikan dirinya. Kata “Sopan” itu sendiri memiliki makna yang berbeda. Apalagi di dalam konteks Indonesia yang memiliki beribu banyak budaya dan Bahasa, tentu tingkat kesopanan tiap-tiap daerah pasti berbeda.
Para pemangku kebijakan juga tidak tepat memberikan pembenaran terhadap pasal tersebut hanya berdasar atas asumsi bahwa “Presiden tidak akan tega melaporkan warganya ke polisi”. Ini sudah menjadi Fallacy, dan tentu sudah jauh dari prinsip Equal yang kita patuhi
Bagaimana jika masyarakat juga memiliki asumsi, bahwa pasal tersebut menjadi karpet merah atau jubah besi bagi presiden, sehingga sekeras apapun senjata (kritik atau hinaan) yang diarahkan kepadanya tidak mampu menembus baju besi tersebut
di Indonesia, presiden tidak hanya sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai kepala pemerintahan, dengan segala Amanah dan tanggungjawab yang dipikulnya, hukum memberikan kekebalan terhadapnya. Benar-benar akan menjadi kesesatan berpikir jika penggunaan terhadap pasal tersebut hanya berdasar terhadap suatu jabatan tertentu.
hal seperti ini akan menimbulkan permasalahan baru, bahwa seseorang itu diberikan perlindungan khusus oleh hukum karena jabatannya, atau karena person nya. manakala penghinaan itu ditujukan kepada masyarakat biasa, maka pasal yg digunakan adalah pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Jika pernyataan tersebut benar, maka sudah jelas, bahwa pasal 218 dan pasal 219 dalam RKUHP tersebut menjadi barometer kemunduran demokrasi kita. Bagaimana mungkin pembuat undang-undang dan aparat penegak hukum dapat melaksanakan pasal tersebut, serta menggunakan kacamata seperti apa sehingga dapat memberikan Batasan yang jelas antara kritikan dan penghinaan
Kerabunan Aparat Penegak Hukum
Posisi ataupun jabatan cenderung mendorong seseorang untuk tunduk terhadap atasannya, hal itu tidak dapat dipungkiri karena adanya relasi kuasa. Kondisi seperti ini yang menyebabkan keterpurukan kehidupan ber-hukum kita.
Di satu sisi, masyarakat tidak mendapatkan kepastian hukum karena ketiadaan tolak ukur yang jelas. sedangkan disisi yang lain, aparat penegak hukum juga tidak mau ambil pusing terkait hal itu, Jabatan yang didudukinya telah membuatnya rabun dan membuatnya cenderung berpihak terhadap penguasa. Jadi, kita tidak bisa serta-merta mengkambing-hitamkan masyarakat hanya karena mereka tidak paham maksud dan tujuan dari pasal tersebut.
MK Bukanlah Keranjang Sampah
Meski pasal tersebut terkesan sebagai jubah besi presiden, kita harus sepakat bahwa tidak ada pasal yang melindungi jabatan, itu sungguh tirani. jika memang suatu pernyataan seseorang di muka umum dianggap merugikan presiden, presiden dengan segala kekuasaannya sangat mudah melaporkan kasus tersebut.
Pemerintah baik eksekutif maupun legislatif juga harus sadar. Bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ada norma-norma dan nilai-nilai moral yang tidak bisa sepenuhnya kita dapatkan dari hukum positif
Mahkamah Konstitusi bukan keranjang sampah, yang jika terdapat suatu produk undang-undang dan menimbulkan polemik di masyarakat, dengan santainya bilang “silahkan ajukan Judicial Review ke MK”. Sangat memalukan.