Gen Z adalah generasi yang tumbuh dan berkembang di era pesatnya digitalisasi. Teknologi digital yang serba instan dan berbagai akses yang semakin mudah didapatkan.  Pada dasarnya, hal tersebut sebanding dengan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari perkembangan teknologi tersebut. Khususnya bagi generasi yang lahir pada rentang tahun 1955-2010 atau populer dengan sebutan Gen Z. 

Gen Z menggunakan ponsel lebih dari 6 jam setiap harinya. Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, Gen Z jauh lebih sering menghabiskan waktunya dengan bermain media sosial.

Menurut salah satu survei memaparkan bahwa Gen Z di Indonesia, khususnya, menduduki peringkat tertinggi dalam penggunaan ponsel, yakni 8,5 jam setiap harinya (Kim,et al, 2020). Oleh karena itu, Gen Z di Indonesia memiliki potensi dampak negatif yang sangat signifikan pula.

Lalu, apakah dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan teknologi digital bagi Gen Z? 

Teknologi digital membawa pengaruh yang sangat krusial pada Gen Z khususnya bagi kesehatan mental (mental health). Menurut penelitian Fazida Karim, dkk (2020) yang berjudul “Social Media Use and Its Connection to Mental Health: A Systematic Review” penggunaan media sosial yang berkelanjutan dapat menyebabkan depresi, stres, dan masalah kesehatan mental.

Media sosial sering digunakan sebagai ajang untuk mengekspresikan apapun sesuai dengan keinginan seseorang, tak terkecuali Gen Z. Beberapa pencapaian dijadikan sebuah konten di media sosial. Hal ini dapat memicu kompetisi, bahkan kecemasan karena merasa belum mampu meraih apa yang orang laih raih.

Media sosial juga menfasilitasi kebebasan Gen Z untuk berkomentar tanpa dibatasi waktu. Komentar inilah yang bisa mempengaruhi kesehatan mental para Gen Z. Entah itu komentar positif maupun komentar negatif pasti membawa dampak bagi pembacanya. Contohnya komentar negatif tentang bullying pasti menurunkan tingkat kepercayaan diri, cemas berlebih, dan yang paling parah adalah depresi bagi korbannya.

Saat ini, tak sedikit Gen Z yang menyuarakan tentang kesehatan mental di media sosial, tetapi ia melupakan kesehatan mentalnya sendiri. Namun, sebagian dari Gen Z sering mendiagnosis dirinya terkena penyakit mental (mental illness) hanya dengan melihat informasi di internet mengenai gejala yang sedang ia alami. Contohnya, mood mudah berubah, merasa putus asa, dan cemas berlebih. Lalu mendiagnosis dirinya terkena gangguan mental yaitu depresi. Padahal, sebelum diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan oleh para ahli seperti psikolog atau pkisiater.

Seperti yang kita ketahui, kita telah melewati masa pandemi Covid-19 dimana hampir semua kegiatan dilakukan secara daring. Mulai dari kegiatan belajar mengajar hingga melakukan pekerjaan. Hal ini semakin membuat Gen Z tidak terlepas dari genggaman media sosial. 

Perubahan kegiatan belajar mengajar dari luring menjadi daring membuat para siswa termasuk Gen Z jarang berinteraksi dengan orang lain. Bahkan ketika di rumah pun jarang berinteraksi dengan orang tua karena asyik bermain dengan media sosial. Kurangnya interaksi membuat Gen Z merasa kesepian, sehingga rentan mengalami depresi.

Pada Oktober 2021 lalu, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan peningkatan pada kasus gangguan jiwa dan depresi hingga 6,5% di Indonesia. Survei yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada tahun 2020 menemukan, sebanyak 63 persen responden mengalami cemas dan 66 persen responden mengalami depresi akibat pandemi Covid-19.

Akan tetapi di waktu yang bersamaan, Gen Z bisa menjadi lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental. Media sosial bisa menjadi pisau bermata dua bagi Gen Z. Melalui media sosial Gen Z bisa membantu mengurangi stigma-stigma negatif tentang kesehatan mental. 

Melihat orang-orang yang datang ke psikolog atau psikiater bukan lagi hal yang aneh bagi Gen Z. Oleh karena itu, hilangnya stigma negatif membuat Gen Z lebih terbuka untuk menyuarakan kesehatan mental.

Lalu, bagaimana seharusnya Gen Z menjaga kesehatan mental?

Pertama, melakukan kegiatan-kegiatan positif. Fokus pada diri sendiri dan memanfaatkan waktu luang yang ada dengan hal produktif seperti membaca buku.

Kedua, menyadari bahwa cemas adalah hal yang wajar. Cemas adalah salah satu respon tubuh ketika menghadapi sebuah ancaman. Sehingga, membantu untuk memberikan respon dan tindakan terhadap sebuah ancaman. Merasa cemas di masa Covid-19 merupakan hal yang bisa dimengerti, lakukan interaksi dengan orang yang ada di rumah agar mengurangi tingkat kecemasan. Berpacu pada sumber informasi yang akurat mengenai segala informasi yang sedang tersebar. 

Ketiga, batasi penggunaan ponsel. Hal ini meminimalisir aktivitas di media sosial sehingga tingkas kecemasan pun akan menurun. Meningkatnya interaksi antara satu sama lain dengan tidak menggunakan ponsel dapat mengurangi rasa kesepian yang dialami Gen Z.

Memahami akan pentingnya kesehatan mental memang penting bagi Gen Z. Akan tetapi, jangan sampai Gen Z berlindung di bawah tameng “kesehatan mental” dan melakukan self-diagnosis  tanpa melibatkan ahlinya. Informasi mengenai kesehatan mental sangatlah beragam, sehingga perlu penyaringan agar informasi benar-benar bermanfaat bagi Gen Z.