Jujur harus diakui bahwa perjalanan demokrasi kita masih dalam tahap mencari bentuk dan format yang paling sesuai dengan keadaan Indonesia. Kehidupan demokrasi yang sekian lama terkungkung dalam sebuah sistem sentralisasi dari kekuasaan otoriter rezim Orde Baru, yang kemudian dapat ditumbangkan oleh kekuatan massa pada tahun 1998 silam.
Reformasi yang kini sudah berjalan lebih dari 20 tahun belum sepenuhnya mampu untuk menjamin kebebasan berdemokrasi sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
Tanpa melihat perbedaan suku, ras, agama, dan golongan, asalkan dia warga negara Indonesia, maka dia memiliki hak dan kesempatan yang sama di dalam kehidupan demokrasi.
Argumen tersebut berdasarkan pada fakta di mana politik primordialisme dan nativisme masih menjadi isu utama dalam setiap pelaksanaan pemilu atau pesta demokrasi, baik pemilu legislatif, pemilu Kepala Daerah, maupun pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Cillford Geertz dalam The Interpretation of Culture (1973) memberikan uraian sederhana berkaitan dengan primordial ini. Menurutnya, ikatan primordial merupakan perasaan yang lahir dari sesuatu yang dianggap ada dalam kehidupan sosial, ikatan yang sebagian besar lahir dari hubungan langsung dan hubungan keluarga.
Bukan hanya itu, ikatan primordial juga bisa lahir dari keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa dan dialek serta kebiasaan-kebiasaan sosial.
Senada dengan Geertz, ilmuwan Shepsie (1972) menilai bahwa primordialisme merupakan loyalitas yang berlebihan terhadap budaya subnasional, di antaranya suku bangsa, agama, ras, kedaerahan, dan keluarga.
Politik primordialisme dan nativisme pada gilirannya melahirkan semacam aturan yang tidak tertulis dan seolah menjadi syarat utama. Manakala seseorang terlibat dalam kontestasi politik, maka dia harus jelas asal-usul garis keturunannya.
Apakah berdarah biru atau darah biasa, apakah dia ningrat atau bukan, bangsawan atau rakyat jelata. Jika dia bukan berasal dari keturunan ningrat dan bangsawan, maka tak pantas bagi dirinya untuk mengikuti kontestasi politik.
Bukan hanya itu, bahkan potret seperti apa yang digambarkan oleh Max Webber tentang hubungan antara kekuasaan, previllege dan prestise, berwujud nyata dan dapat ditemukan dalam wajah politik Indonesia.
Hal tersebut dapat kita saksikan ketika seseorang berhasil menduduki jabatan politis sebagai Kepala Daerah. Entah itu Bupati, Wali Kota, maupun Gubernur, maka prioritas utama yang dilakukannya setelah menjabat adalah mengejar pengakuan hak-hak istimewa (previllege) dan pengakuan keterhormatan (prestise) dengan cara berlomba-lomba membangun monumen dan menorehkan prasasti sebagai bentuk upaya menambah legitimasi atas kekuasaannya.
Celakanya, politik primordialisme tersebut "diaminkan" dan masih mendapat tempat yang signifikan di hati sebagian masyarakat Indonesia. Primordialisme yang sejatinya diwariskan oleh penjajah Belanda, sebagai bagian dari strategi politik devide et impera untuk memecah belah persatuan dengan membuat stratifikasi sosial di dalam masyarakat.
Secara kebetulan, primordialisme tersebut seolah mendapatkan pembenaran manakala dikaitkan dan dihubungkan dengan silsilah dan garis keturunan dari para Presiden Republik Indonesia.
Sebut saja Soekarno dan Megawati, darah kebangsawanannya mengalir dari pihak ibu yang merupakan bangsawan yang berasal dari Bali. Bahkan menurut Gus Dur yang juga keturunan ningrat, mengatakan bahwa dirinya masih ada hubungan kekerabatan dengan Soekarno, yakni sama-sama keturunan Raden Patah, Sultan Demak, dari jalur Sultan Trenggono.
Kemudian Soeharto, selain darah biru yang mengalir pada diri istrinya Hartinah (ibu Tien), yang merupakan putri keraton. Soeharto sendiri sempat diisukan sebagai keturunan ningrat. Benar atau tidaknya isu tersebut, setidaknya kebangsawanan Soeharto pernah diulas dan dimuat dalam majalah POP, Volume 2, Nomor 17, tahun 1974, yang menyebutkan bahwa Soeharto adalah keturunan dari raja Yogyakarta.
Lain halnya dengan Habibie. Meski tidak ada keterangan yang menyebutkan dirinya keturunan raja atau sultan, akan tetapi Habibie merupakan "ningrat" birokrasi yang puluhan tahun menjadi menteri dalam kabinetnya Soeharto. Di sisi lain, Habibie menjadi presiden dikarenakan faktor konstitusi, karena kedudukannya sebagai wakil presiden yang kemudian menjadi presiden menggantikan posisi Soeharto yang mengundurkan diri.
Berikutnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan "ningrat" militer. Selain sebagai menantu dari seorang Jenderal, SBY yang merupakan anak seorang Danramil adalah lulusan dari Akabri, yang mana pada era Orde Baru Akabri identik dan dinisbatkan sebagai sekolah calon pemimpin bangsa.
Selain itu, di masa pemerintahan SBY selama dua periode, ada kegiatan proyek untuk merekonstruksi dan menggali keberadaan situs istana kerajaan Majapahit. Hal tersebut disinyalir adanya upaya orang-orang terdekatnya SBY untuk menarik benang merah dan mengaitkan bahwa SBY masih ada garis keturunan dari trah kerajaan Majapahit.
Lalu bagaimana dengan Jokowi? Jokowi terlahir dari kalangan orang biasa. Bukan keturunan raja, bukan anak jenderal, bukan anak begawan ekonomi maupun konglomerat. Inilah kesalahan terbesar Jokowi, kesalahan yang paling fundamental. Kehadiran seorang Jokowi menjadi orang nomor satu di republik ini belum siap diterima sepenuhnya oleh kaum elite bangsawan dan ningrat di negeri ini.
Ketersinggungan gengsi dan prestise kaum bangsawan dan ningrat yang disebabkan oleh kehadiran sosok Jokowi tersebut, kemudian digaungkan melalui politik primodialisme dan nathivisme, dengan berbagai macam propaganda dan doktrin terhadap simpatisan dan pendukung elite politik yang menjadi lawan politik Jokowi, yang notabene adalah merupakan keturunan ningrat dan kaum bangsawan.
Jokowi adalah presiden yang setiap hari dicaci maki, dihujat dan dinistakan oleh para pembencinya melalui media sosial. Sebutan si jae, mukidi, ngaciro, dan sebutan berkonotasi negatif lainnya tak menyurutkan langkah Jokowi untuk tetap berpihak pada kepentingan kaum jelata.
Setidaknya keberpihakan Jokowi ini yang sekarang dirasakan oleh para pemudik lebaran. Berbagai kemudahan yang didapat, tingkat kemacetan dan kecelakaan yang menurun drastis jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut merupakan sebuah penghormatan atas martabat kaum jelata.
Keberpihakan dengan segala fasilitas kemudahan yang tetap saja dicemooh dan dinyinyiri oleh para pendengki dan pembencinya, yang diam-diam dengan penuh kepura-puraan serta kemunafikan turut menikmati hasil kerja Jokowi.