Berapa banyak telinga yang harus dimiliki seorang manusia hingga ia bisa mendengar tangisan orang lain?
Kalimat di atas saya terjemahkan bebas dari lirik Blowing in the Wind-nya Bob Dylan. Saya tulis sebagai kalimat pembuka karena merasa cocok dengan keadaan kita dalam melihat masalah plastik. Kalau diubah, kira-kira begini: berapa banyak yang mati hingga kita bertindak mengurangi penggunaan plastik?
Plastik adalah anugerah yang kini berubah menjadi kutukan. Belum kering air mata menyaksikan seekor penyu menderita karena hidungnya tersumbat sedotan plastik, kita disuguhkan foto-foto seekor paus yang mati karena berkilo-kilo sampah plastik di perutnya.
Belum kelar masalah sungai yang dipenuhi sampah plastik, kita sudah dipusingkan pantai dan laut yang kini tercemar. Tapi yang saya perhatikan sejauh ini, masalah plastik belum menarik perhatian orang banyak.
Padahal, selain merusak pemandangan, sampah plastik yang telah terurai disinyalir mencemari tubuh ikan-ikan, yang kemudian bisa berbahaya untuk kesehatan manusia. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah partikel plastik akan mengubah organ-organ tubuh manusia atau mempersingkat usia?
Mungkin bila pertanyaan itu, atau isu plastik dikaitkan dengan eksistensi kita sebagai manusia, perhatian kita terhadap pencemaran yang diakibatkan sampah plastik akan lebih besar. Dan tentunya, kita akan berusaha mengurangi penggunaan plastik.
Memang tak mudah mengurangi penggunaan plastik. Apalagi saat ini kita sudah seperti ketergantungan. Dan hal yang sangat sulit tentunya untuk mengumpulkan dan mendaur ulang semua sampah plastik yang telanjur tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Membayangkannya saja sangat sulit. Tapi bila dimulai dari diri sendiri dan sejak sekarang, saya rasa kita punya masa depan lingkungan yang lebih baik.
Tindakan penyelamatan lingkungan ini bisa kita mulai dari kebiasaan berbelanja. Sebagai contoh, bila berbelanja di swalayan, kantongan plastik tempat minuman akan berbeda dengan deterjen atau barang lain.
Bayangkan berapa banyak kantong plastik yang digunakan. Keadaan ini diperparah dengan kebijakan perusahaan yang terkesan egois. Misalnya, plastik berbayar. Kasir atau petugas swalayan dengan gampang "membujuk" konsumen untuk menggunakan banyak plastik.
Dan, entah terkena "jurus bujuk" apa, konsumen seperti tidak berdaya untuk menolak—saya tahu persis ini karena telah mengalami, sebelum pada akhirnya membaca sebuah kutipan di media sosial.
Padahal dulu, sebelum swalayan menjamur, saya sering melihat ibu-ibu berbelanja dengan membawa keranjang. Satu keranjang untuk beberapa tahun. Jika sebuah keranjang terlalu besar, kita bisa membawa satu kantong plastik bekas dari rumah.
Kebiasaan itu bisa sebagai solusi, atau paling tidak membuat kita optimis bahwa upaya mengurangi plastik bukan suatu yang mustahil.
Bila membawa keranjang adalah sesuatu yang memalukan dan ribet, solusi lain mungkin dengan mengganti plastik dengan kertas. Di beberapa negara, melalui film atau vlog, saya melihat kertas digunakan sebagai kantong untuk berbelanja.
Ada yang membawanya dengan kedua tangan melingkar di depan dada seperti sedang memeluk boneka; ada yang membawanya dengan menenteng sama persis seperti menenteng kantong plastik. Kenapa kertas? Sebab kertas bisa digunakan berkali-kali, dapat beralih fungsi, dan mudah didaur ulang.
Kantong yang terbuat dari kertas, asal tidak terkena bahan cair, bisa digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Dan di kemudian hari, bila diperlukan, bisa digunakan untuk kepentingan lain. Sebagai contoh: untuk tempat corat-coret, lapisan pembungkus, atau menjadi kipas "darurat" saat cuaca panas.
Sependek perjalanan hidup, contoh-contoh tersebut telah saya saksikan. Bagaimana kertas putih bekas dokumen yang salah, dimanfaatkan menjadi bungkus ikan di pasar; kertas koran bekas menjadi bungkus kain setelah proses jual-beli dan menjadi kipas; bekas makalah menjadi lapisan bawah gorengan yang menumpuk; atau bekas kertas ujian jadi pelapis daun pisang membungkus nasi uduk.
Dan bila tak bisa difungsikan lagi, kertas relatif mudah didaur ulang dibanding plastik. Jangankan dengan bahan kimia yang membutuh dana yang cukup besar, didaur ulang dengan cara membakar pun, kertas lebih mudah.
Asap hasil pembakaran kertas relatif tidak berbau menyengat dibanding pembakaran plastik. Dan setelah proses pembakaran selesai, sisa pembakaran kertas relatif lebih mudah bercampur dengan tanah dibanding sisa pembakaran plastik.
Dari uraian di atas, kertas relatif lebih bersahabat dengan lingkungan dibanding plastik. Dan oleh sebab itu, sudah saatnya kita beralih ke kertas. Tentu butuh proses panjang dan melelahkan, tetapi bila mempertimbangkan eksistensi kita, langkah itu harus segera diambil.
Kita tak akan menunggu, sampai tak ada lagi air yang tak tercemar. Atau beberapa jenis spesies hewan punah akibat plastik.
Pemerintah harus mendorong peralihan ini. Sebab kebijakan 'plastik berbayar' tidak terlalu efektif—hal yang mengherankan sebenarnya karena sampai sekarang ini kebijakan yang terdengar di masyarakat hanya 'plastik berbayar'. Tidak bisakah pemerintah lebih kreatif mengeluarkan kebijakan yang menyelesaikan permasalahan ini?
Padahal pemerintah punya kekuatan untuk mendorong perusahaan-perusahaan yang terkait dengan industri kertas. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus mendorong industri ini.
Terkait limbah dan bahan baku, pemerintah harus membuat desain besar agar kerusakan lingkungan dapat diminimalisasi. Negeri kita ini luas dan kaya. Potensi untuk industri kertas sangat besar. Hanya butuh pengaturan dan pengawasan yang lebih baik, maka industri kertas kita dapat berskala internasional, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Memang, tugas pemerintah akan lebih sulit sebab banyak masyarakat sudah telanjur berpandangan buruk terhadap industri kertas, seperti saya. Sebab jalan hidup pernah mencetak pengalaman tentang betapa buruknya udara di sekitar pabrik kertas. Kertas dianggap sebagai perusak lingkungan.
Padahal, bila diatur industrinya, produksi kertas bukanlah hal yang merugikan bagi lingkungan. Bila memang terindikasi sebagai penyebab rusaknya lingkungan, kertas lebih baik dibanding yang lain. Plastik, misalnya.
Atau pemerintah bisa mendorong anak-anak muda untuk berkreasi di dunia industri kertas, mulai dari penelitian terhadap bahan baku kertas, sampai cara mendaur ulangnya. Hal ini bisa berdampak positif bagi negeri kita. Selain memperluas lapangan kerja, kita mempunyai "sesuatu" yang menjadi ciri khas. Apalagi masyarakat kita sudah sangat akrab dengan kertas.
Kehidupan sehari-hari masyarakat kita tidak bisa terlepas dari kertas. Bahkan dalam kemajuan teknologi yang begitu pesat, kertas belum tergantikan. Memang, banyak fungsi kertas yang kini sudah digantikan gadget. Tapi dalam beberapa generasi mendatang, penggunaan kertas tidak akan hilang.
Bila terkendala kepentingan politik, maka sudah saatnya masyarakat bertindak, mulai dari mengubah kebiasaan, sampai memulai kebiasaan baru. Misalnya, membawa botol minuman sendiri dan menolak membeli botol kemasan; atau sedotan plastik diubah menjadi sedotan stainless stell.
Jika takut dicemooh, saya punya kutipan yang menguatkan. Kutipan ini beredar di media sosial beberapa waktu yang lalu. Saya tidak tahu pasti siapa yang pertama merangkainya. Yang jelas, bunyinya kira-kira begini: "Saya hanya membuang satu sampah plastik, kata dua miliar orang di bumi ini."