Kata orang, penemuan mesin cetak Gutenberg adalah revolusi. Tapi, jika kertas tidak pernah ditemukan, media apa yang akan dipakai Gutenberg ? Dus, kertas adalah inovasi. Kertas tak lain adalah revolusi itu sendiri.
Siapapun boleh-boleh saja berpendapat, tanpa kertas, manusia masih dapat menulis dengan bantuan media kulit binatang, batu, atau lontar. Namun, kesemua media yang telah disebut tidak bisa menandingi kertas. Kertas adalah penemuan yang berhasil melejitkan kebudayaan dan peradaban manusia.
Bermilyar-milyar lembar kertas atau bahkan tak terhitung jumlah kertas yang telah dihasilkan sepanjang sejarahnya, tanpa kita berterima kasih pada penemunya. Ia tak lain adalah Cai Lun. Cai Lun (atau Ts’ai Lun) lahir dari keluarga kurang mampu, di Guiyang, China, selama dinasti Han Timur pada 50 Masehi.
Dalam buku “The 100 – a Ranking of the Most Influential Persons in History” oleh Michael H. Hart, Cai Lun menduduki peringkat ke tujuh sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah berkat penemuannya. Peringkatnya berada di atas Gutenberg, Einstein, Pasteur, Galileo, dan Aristoteles.
Penemuan Cai Lun adalah akibat perasaan “muaknya” dengan tulisan-tulisan yang diukir di potongan-potongan bambu. Ia mendapatkan perintah dari Sang Kaisar untuk memproses setumpuk dokumen di rumahnya. Dengan bantuan beberapa orang, Ia mengangkut tumpukan bambu tersebut dengan gerobak yang ditarik kerbau.
Singkatnya, di tengah perjalanan gerobak tersebut tergelincir jatuh, sehingga isinya pun terburai berantakan. Ia menganggap potongan-potongan bambu tersebut tidak praktis, berat dan menyulitkan.Dari kegelisahannya itu, Ia kemudia bereksperimen untuk membuat kertas.
Melalui perdagangan, kertas menyebar keluar Tiongkok. Praktis, kertas kemudian dikenal dunia, meski ada saja sudut-sudut atau pelosok yang masih menggunakan lontar atau potongan bambu sebagai media tulis-menulis.
Nah, kemudian Johannes Gutenberg (1398-1468) menyempurnakan penemuan Cai Lun. Kertas dan mesin cetak saling melengkapi. Mesin cetak memungkinan ribuan buku dicetak dengan sangat cepat. Kecepatan pencetakan buku berbanding lurus dengan penyebaran ilmu pengetahuan ke seantero Eropa, sehingga penemuan Gutenberg ibarat “jalan tol” bagi renaissance di dunia Barat.
Buku vs E-Book
Dapatkah kita bayangkan hidup tanpa kertas ? Di zaman atau era yang katanya “paperless” penggunaan kertas kian dikurangi. Tapi, fungsi kertas tidak bisa tergantikan sepenuhnya. Ketika muncul e-book beberapa tahun ke belakang, kenikmatan membaca buku digital tidak dapat menyamai kenikmatan membaca buku yang terdiri dari berlembar-lembar kertas.
Sudah banyak penelitian yang mengungkap kelebihan dan kekurangan e-book dibanding buku biasa. Penulis sendiri secara pribadi lebih menyukai buku biasa ketimbang e-book, salah satu alasannya adalah mata yang cepat lelah jika terlalu lama membaca e-book.
Penelitian yang dilakukan di Swedia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa membaca di layar memakan habis energi jauh lebih banyak dibanding membaca dari kertas. Sinar LED yang muncul juga dapat menganggu pola tidur dan membuat tidur menjadi tidak berkualitas (merdeka.com).
Dampak e-book pun tidak terlalu baik bagi anak-anak. Penelitian dari Joan Ganz Cooney Center tentang membaca pada anak-anak menemukan bahwa hal ini dapat menimbulkan gangguan pada mereka.
Tampilan interaktif dan multimedia yang disajikan oleh e-book membuat mereka mengingat lebih sedikit mengenai teks yang terdapat. Selain itu penggunaan media elektronik ini juga dapat menimbulkan godaan bagi mereka untuk membuka hal-hal lain seperti game atau sekedar browsing di internet.
Dari Declaration of Independence hingga Proklamasi
Kertas juga menjadi media atau wadah untuk menuangkan gagasan bagi orang-orang besar di zamannya. Pun, kertas menjadi dokumen paling penting bagi kelahiran sebuah bangsa.
Bagaimana jika Bapak Bangsa Amerika menyatakan proklamasinya dengan lisan ? Tentu, dua ratus tahun kemudian, isi dan kata-kata para “Founding Fathers”tersebut akan mudah dilupakan begitu saja. Generasi bangsa Amerika akan kehilangan momen maha penting dalam sejarah mereka. Untung saja, deklarasi kemerdekaan tersebut masih bisa kita lihat hingga sekarang (Declaration of Independence). Hal ini dikarenakan, deklarasi ini ditulis di selembar kertas.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Bagaimana jika Bung Karno dan Bung Hatta tidak menuliskan proklamasinya pada secarik kertas ? Oh, kan kita punya rekaman suara Bung Karno ? Rekaman yang beredar sekarang bukanlah rekaman aktual ketika peristiwa tersebut terjadi. Rekaman proklamasi tersebut dibuat beberapa tahun setelahnya.
Dus, secarik kertas yang di dalamnya terdapat corat-coret dari para “Founding Fathers” menjadi saksi kelahiran bangsa ini. Kertas yang sudah dicorat-coret ini kemudian diserahkan kepada Sayuti Melik, untuk kemudian Ia mengambil mesin tik dan mengetikkan kembali ke secarik kertas lain. Kertas inilah yang kemudian dibacakan Bung Karno pada 17 Agustus 1945.
Bapak Bangsa Indonesia
Dan berbicara tentang Founding Fathers seperti Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, mereka tak pernah lepas dari kertas. Semenjak muda, mereka adalah penikmat buku. Dalam kondisi apapun, buku tidak pernah lepas dari tangan mereka.
Bung Hatta pernah mengatakan, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku Aku bebas.” Perkataan ini bukanlah sekadar gaya-gayaan, namun nyata terjadi. Ketika Bung Hatta diasingkan pemerintah kolonial ke Banda Neira, Bung Hatta membawa serta ribuan koleksi bukunya.
Hal yang sama juga terjadi dengan Bung Karno, yang diasingkan ke Flores dan Bengkulu. Melalui kertas, pula, Bung Karno menghasilkan pidato pledoi-nya, sebagai bahan pembelaan di depan pengadilan kolonial.
Di penjara yang sempit, di Banceuy, Inggit Garnasih, istrinya mengantarkan buku-buku sebagai referensi Bung karno yang sedang menuliskan pledoinya. Dengan dialasi kaleng pispot -tempat buang air kecil- Bung Karno akhirnya berhasil menyelesaikan pledoinya yang terkenal dan kemudian dinamakan “Indonesia Menggugat.”
Dari Anne Frank ke Pram
Kertas juga menjadi saksi seorang Anne Frank dan Pram. Apakah persamaan keduanya ? Baik Anne Frank maupun Pram –panggilan akrab Pramoedya Ananta Toer- kedua anak manusia yang menemukan misi sejarahnya melalui lembaran-lembaran kertas.
Jika Anne Frank yang masih berusia belasan tahun, bersembunyi dari teror Nazi yang sedang memburu kaum Yahudi di seantero Eropa pada Perang Dunia 2, maka Pram, sastrawan besar Indonesia, diasingkan dan dipenjara di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru. Masa kegelapan dalam periode hidup mereka berdua tidak berhasil memadamkan api perjuangan mereka.
Di tempat persembunyian, Anne berhasil menulis buku hariannya. Selepas Perang Dunia 2 usai, buku harian Anne menjadi salah satu buku paling laris, meski Anne sendiri tidak sempat menyaksikannya. Ia menjadi korban “Holokaus”, proyek Nazi Hitler untuk memusnahkan kaum Yahudi.
Di belahan dunia lain, atas nama memerangi Komunisme, ribuan orang dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan. Di antara mereka adalah Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan besar yang pernah dimiliki Bangsa ini. Belasan tahun diasingkan dan dipenjara tanpa kejelasan, tidak membuat kreativitas Pram punah. Ia, dibantu rekannya, Oei Hiem Hwie, yang menyediakan kertas semen agar Pram masih bisa menulis.
Dari kertas-kertas semen inilah tercipta novel “The Buru Quartet”, magnum opus Pram. Selepas dari Pulau Buru, Ia kemudian diganjar banyak penghargaan dari dunia, mulai dari Ramon Magsaysay Award, hingga calon penerima Nobel bidang Sastra. Meski sempat dilarang, buku-buku Pram kini sudah mendunia.
Jadi, layak dan tepatlah jika dikatakan bahwa media kertas adalah revolusi itu sendiri. Tanpanya, perubahan dan inovasi tidak akan begulir secepat sekarang. Jika kini ada gerakan-gerakan untuk semakin mengurangi konsumsi kertas, tidak berarti kehadiran kertas tidak diperlukan lagi.
Referensi :
https://techno.okezone.com/read/2017/12/31/56/1838079/mengintip-kisah-cai-lun-sang-penemu-kertas
https://www.merdeka.com/gaya/4-alasan-mengapa-membaca-buku-lebih-baik-dibanding-e-book.html
https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160430000324-241-127675/38-tahun-menjaga-kertas-semen-titipan-pramoedya