Kerikil-kerikil berjatuhan dari truk di depanku. Mau tak mau cuma bisa sabar berada di belakangnya, sambil berharap tak akan kejatuhan kerikil. Mobil kulaju mendekat ke sisi kanan bagian belakang truk. Kuintip ke depan, belum juga bisa kusalip. 

Dalam kejenuhan berada di belakang truk berplat nomor AB 7774 DP ini aku tertawa membaca tulisan di pojok kiri bawah, “ Kamu cinta rupiah, aku cinta batu, kita takkan bersatu. “ Rasanya ingin kufoto lalu kuunggah ke laman media sosialku. Truk jadi viral demikian juga diriku akan ikut populer menumpang suara hati pemilik truk pasir ini.  

Adzan maghrib melantun di radio yang kusetel keras-keras. Sebelumnya, celoteh dua penyiar pria yang seringnya seperti sedang curhat justru membuatku merasa tak kesepian. Mereka seperti tak mempedulikan siapa yang sedang mendengarkan. 

Mereka bercerita seolah tak ada orang lain, hanya mereka berdua. Berkelakar, tertawa-tawa seolah tak punya beban. Yang satu bercerita tentang perempuan yang jadi impian namun kenalan pun tak pernah. Yang satu lagi seorang playboy, sering bercerita tentang berganti pacar  setiap bulan. Oh, memuakkan. 

Langit semakin gelap, macet pun harus kunikmati. Perbaikan jalan menjelang Lebaran selalu menghias seluruh kota ini. Kisah klasik proyek perbaikan jalan. Proyek-proyek dikerjakan siang dan malam, namun tak selesai hingga hari pertama Hari Raya Idul Fitri. Katanya supaya jalan menjadi mulus, berkualitas bagus, dan perjalanan pemudik bisa lancar. Nyatanya,  jalan dibongkar pasang dan kembali berlubang di saat hujan. 

Truk di depanku, memancarkan seberkas sinar. Kulihat dari sela-sela kayunya yang berlubang. Logikaku bersemangat melihat cahaya itu. Tak mungkin batu bisa memancarkan cahaya. Lalu benda apakah itu? 

Kuusap ponselku, kulihat waktu menunjukkan pukul 19.00. Sudah satu jam aku terjebak di kemacetan ini. Kubuka kaca jendelaku untuk melongok ke luar. Ah, sebentar lagi sudah giliranku meloloskan diri dari macet. Cahaya itu masih terlihat ada. Sinarnya kebiruan seperti baju bangsawan Inggris. Tidakkah ada yang melihatnya selain aku? 

Kudekatkan mobilku ke pantat truk. Lampu di perempatan sudah merah. Tapi tetap kuinjak pedal gas, memepet truk di depanku. Lolos.

Kuputuskan untuk mengikuti cahaya biru di dalam truk itu. Toh besok libur dan aku tak punya pacar untuk kuajak menghabiskan uang gajiku. Lebih baik kubelikan bensin, siapa tahu cahaya itu bisa kufoto dan kuunggah ke media. Pasti aku akan lebih terkenal daripada hanya mengunggah foto tulisan di pantat truk. 

Truk menyalakan tanda akan berbelok ke kiri, masuk ke jalan di tengah sawah yang arahnya menuju perbukitan. Aku ikuti, kulihat nama jalan ini : Jalan Pitulungan. Bergegas kunyalakan peta digital di ponselku, walau suka berpetualang, aku tak mau tersesat di dusun asing. 

Jalanan mulai naik dan berkelok tajam. Rumah-rumah penduduk sudah diterangi lampu. Tak ada lampu jalan yang tinggi-tinggi, penerangan hanya dari lampu-lampu di rumah penduduk. Rumah-rumah ini kulihat kecil dan berhalaman luas. Taman-tamannya seragam, sepertinya dihias dengan tanaman obat dan sayuran. Mereka merdeka di rumahnya sendiri, pikirku. 

Truk kembali memberi tanda berbelok, kali ini belok ke kanan. Kulihat truk itu membuat tanda mengedipkan lampu dua kali sebelum masuk ke sebuah lapangan besar. Aku masih mengikuti. Truk itu berkumpul dengan banyak truk lain. Semuanya memancarkan cahaya dari sela-sela bak kayunya.

Mobil kuparkir di dekat pohon tanjung. Aku turun dan bergegas mengendap ke kumpulan truk itu. Tak lupa ponsel sudah kugenggam erat. Ini lebih menarik lagi, jangan-jangan truk-truk ini tak membawa kerikil, namun berlian. Jangan-jangan ada tambang berlian berkedok penambangan kerikil. Ini bisa membuatku kaya dengan membongkar kejahatan terselubung. Siapa tahu, pemiliknya tak bayar pajak.

Aku merapatkan tubuh ke salah satu truk. Dari balik truk ini, kudengar suatu percakapan. “ Kapan kita akan berangkat? ” suara laki-laki yang sepertinya sepantaran denganku terdengar tak sabar. 

“Masih menunggu 10 bak lagi. Sabar. Kalau berangkat sendiri percuma. Uang rokok nggak akan keluar, dan kamu malah akan didenda. “ 

“Anak istriku sudah lama menunggu. Bisa-bisa istriku kabur dengan pria lain kalau aku tak segera pulang. Tapi yo wis, istriku urusanku. Yang penting setelah malam ini semua selesai kan? ” 

“Iyo. Setelah batu diterima Bos nanti, amplop baru kubagikan. Sesudahnya kamu boleh pulang. Atau kalau kamu mau, bisa ikut ke proyek selanjutnya. Lebih mudah, lokasinya di Merapi. “ 

“Ah. Wegah Pak. Dah cukup. ” 

Kulihat truk-truk yang memancarkan cahaya  kembali berdatangan. Dua-dua sebanyak lima kali. Sopir-sopir terlihat bergegas menaiki truk masing-masing. Puntung rokok dibuang sekenanya. Mandor itu membagikan secarik kertas pada semua sopir, entah tulisan apa yang ada di sana. Aku bergegas naik lagi ke mobilku. Bersiap melaju mengikuti parade truk ini. 

Seperti robot, satu per satu truk keluar lagi dari lapangan ini. Musik dangdut mengalun berisik. Beberapa truk yang berada di urutan belakang menderu-derukan mesinnya seolah tak sabar. Kulihat mereka tertawa-tawa di atas kursi kemudi. Tak seperti sopir muda yang setia tadi, kulihat beberapa sopir ditemani perempuan sintal berlipstik merah. Pikiran sok suci dan penuh tuduhan melintas liar di kepalaku. Pasti pelacur. Pasti pelacur lima puluh ribuan. Pasti hanya bisa hidup dari menjajakan seronok. 

Kupejamkan mata, kuusap dengan kedua tangan seolah membasuh wajah, membersihkan diri dari pikiran seburuk setan. Kunyalakan mesin mobilku, kuikuti truk yang paling belakang. Truk-truk ini tidak keluar dari Jalan Pitulungan. Truk-truk ini melaju menuju ke puncak. Sedikit ketakutan karena kerikil mereka kembali berjatuhan. Maklumlah, mobil ini belum lunas cicilannya sementara asuransi gratisan sudah habis. Malas kalau harus memperpanjang dan mengeluarkan uang lebih.

Bau kampas terbakar mulai tercium. Perpindahan transmisi kulakukan berkali-kali, membuat kakiku pegal, serasa habis lari marathon.  Ah, kenapa juga aku memilih di sini. Seharusnya cukup aku memotret tulisan di pantat truk tadi dan sekarang aku bisa berleha-leha di kamarku sambil menikmati secangkir kopi mahal yang kubeli dari internet sambil menunggu jumlah like bertambah banyak. Sesal selalu datang belakangan.  

Mataku terbelalak, kulihat kastil menyala biru nan megah di puncak bukit. Jadi batu-batu itu dikirim ke sini, untuk membangun istana ini. Ragaku kembali bersemangat, kali ini segera kufoto istana biru itu. Sungguh megah di tengah bukit. Seperti tempat tersembunyi entah milik siapa. Bangsawan mana yang membangun kastil sembunyi-sembunyi? 

Jangan-jangan ia tak bayar pajak. Perlukah kutanyakan nomor NPWP pemilik kastil ini? Tapi ke siapa? Para sopir truk pasti tak tahu menahu. Abdinya? Apalagi para abdi yang kulihat memakai kemben itu. Pasti mereka sudah bekerja di sini sejak generasi sebelumnya. 

Kulihat truk-truk membongkar muatannya. Menuang kerikil-kerikil ke areal gundukan kerikil. Kastil kerikil berwarna biru, terlalu megah untuk dinikmati sendiri. Satu per satu truk meninggalkan tempat ini. Amplop diberikan ke setiap sopir yang sudah menuntaskan tugasnya. 

Kulihat abdi-abdi memisahkan batu berwarna biru. Memasukkan ke dalam peti kayu bergembok emas. Memanggul dengan pundak menuju ke dalam kastil. Sesosok perempuan melihat ke arahku dari atas kastil. Matanya menatapku tajam. Lebih tajam dari bilah pisau.  Matanya membuatku merasakan luka. 

Seketika aku merasakan miskin. Mata perempuan bangsawan itu memberiku definisi miskin, lapar, tak punya kuasa atas segala hal di hidupku. Kupandang ke kejauhan, hotel-hotel menjualang tinggi, bersinar-sinar berwarna biru terlihat berdiri tegak seperti lilin yang menyala-nyala. Warna mereka sebiru cahaya kastil ini. 

Tak sadar aku terpaku dengan berbagai konklusi di kepalaku. Perempuan bangsawan sudah berdiri di hadapanku. Menegurku, “ Berikan ponselmu, semua ini untuk kerajaan kita. Kamu putra daerah kan? Lahir di tanah kerajaan ini kan? “ 

Aku kebingungan menatapnya. Aku memilih menunduk tak menjawab. Aku bahkan tak mengerti arah pembicaraannya.

“Hotel-hotel yang kau lihat itu adalah benteng yang akan melindungi kerajaan ini dari krisis kemiskinan yang akan melanda tak lama lagi. Semua sudah ada di kitab kerajaan yang diwariskan kepadaku. Percayalah padaku dan kebijakanku. Jangan dengarkan para aktivis yang mengaku membela rakyatku. “ Bangsawan itu kembali menjelaskan suatu pernyataan yang mulai kupahami sedikit demi sedikit. 

“ Penambangan kerikil itu bukannya merusak alam, Bu? Bukannya merugikan penduduk sekitar, tidak dengarkah Ibu berita tanah longsor di sekitar tempat penambangan? Seharusnya, normalnya di sana kan tidak longsor, kecuali bagian bawahnya sudah berlubang akibat terus menerus dikeruk. “ , kuberanikan diri bersuara, kapan lagi jika bukan sekarang. Siapa tahu aku takkan selamat dari perempuan bermata tajam ini.

“ Aku yang lebih tahu. Aku melihat segalanya dari atas sini. “  

***

Kepalaku pusing. Mata tajam perempuan bangsawan di mimpiku masih terbayang, rasanya mual. Sial. Sepertinya sudah kesiangan, alarm di ponselku entah kenapa tak bunyi Minggu pagi ini. Kuraba bawah bantalku, masih juga belum kutemukan ponselku. Tak bisa kuingat kutinggalkan di mana.