Di masa pandemi ini, jumlah penumpang pesawat udara menurun drastis karena hanya sedikit penerbangan yang tersedia. Tetapi kereta api ke bandara Soekarno-Hatta dan juga Kualanamu tetap dioperasikan seperti biasa,
Padahal siapapun yang melihat kereta api tersebut melintas di jalan raya dapat melihat bahwa kursi di dalam kereta bandara Soekarno-Hatta, misalnya, yang terdiri dari duabelas gerbong dengan kapasitas 272 penumpang tersebut lebih banyak kosong daripada terisi.
Kekosongan kursi atau okupansi kursi kereta api ke bandara sudah terjadi sejak sebelum masa pandemi, ketika penumpang pesawat terbang masih ramai. Saat ini, ada penurunan jumlah perjalanan yang cukup signifikan dari 80 perjalanan menjadi 40 perjalanan.
Jumlah puncak penumpang pada saat cuti bersama dan libur panjang pada 26 Okt – 1 Nov tahun 2020 yang lalu sebanyak 5.180 orang. Bagaimana dengan jumlah penumpang saat ini? Sungguh jauh dari perkiraan PT Railink dan yang jelas membuat perusahaan negara ini rugi.
Mengingat biaya operasional kereta ekspres yang tinggi, sedangkan pemasukan hanya sedikit dan penggiliran penggunaan rel kereta yang menyebabkan penumpukan penumpang commuter line, ada baiknya pengoperasian dan keberadaan kereta api ke bandara ditinjau kembali, bahkan jika perlu dihapus saja.
Usulan saya adalah kenapa tidak menyatukan layanan commuter line dengan kereta api bandara? Kenapa tidak memperpanjang jalur commuter line yang sudah ada hingga ke bandara Soekarno Hatta?
Di beberapa negara yang pernah saya kunjungi, kereta api bandara menyatu dengan kereta api yang digunakan oleh umum, tidak eksklusif seperti di Jakarta atau Medan. Di Kuala Lumpur adalah hal yang biasa melihat penumpang bahkan pramugari Air Asia naik kereta api dengan kopernya.
Selama ini, bandara Soekarno-Hatta dapat dijangkau dengan berbagai transportasi mulai dari mobil, bis Damri, taxi, hingga sepeda motor. Saya sendiri pernah ke Singapura pulang hari dengan berkendara motor ke bandara. Subuh, motor saya titipkan di parkiran bandara dan malam hari saya pulang ke rumah naik motor kembali.
Keberadaan kereta api ke bandara adalah sesuatu yang penting, karena menjadi alternatif transportasi penghubung antara bandara dan kota utama yang terdekat dengan bandara tersebut dan juga murah. Banyak kota di berbagai negara memiliki bandara yang terhubung dengan kereta api. Jakarta cukup terlambat untuk hal ini. Tetapi, moda transportasi ini tidak perlu juga menjadi sesuatu yang diistimewakan, sehingga harus ada kereta api khusus ke bandara.
Selain tingkat okupansi yang rendah, frekuensi keberangkatan kereta api bandara yang setiap setengah jam menyebabkan penumpukan penumpang di beberapa stasiun. Kereta api bandara diprioritaskan daripada commuter line. Bahkan jumlah perjalanan commuter line dikurangi.
Jurusan Tangerang-Duri PP, misalnya, jadwal perjalanan yang awalnya setiap 20 menit menjadi setiap 30 menit. Padahal pengguna commuter line jauh lebih banyak daripada pengguna kereta api bandara. Akibatnya, penumpang commuter line harus menunggu lebih lama.
Di masa sebelum pandemi, penumpang bahkan harus berdesakan karena kurangnya jumlah perjalanan commuter line. Sehingga para penumpang commuter line pun menggalang petisi di change.org untuk meminta pengembalian jadwal commuter line seperti semula.
Ada banyak hal yang bisa dipangkas jika kereta api bandara disatukan dengan kereta api umum atau commuter line. Pertama, dengan menyatukan kereta bandara dengan commuter line, siapa saja bisa bepergian ke dan dari bandara dari stasiun manapun, karena kereta api berhenti di setiap stasiun. Orang tidak perlu ke stasiun khusus.
Saat ini, kereta api bandara Soekarno-Hatta hanya dapat diakses di stasiun Manggarai, BNI City, Duri, dan Batu Ceper saja. Di Medan, stasiun yang tersedia hanya stasiun KA Bandara Medan saja.
Jika kereta bandara disatukan dengan commuter line, penggunanya bukan hanya penumpang pesawat terbang saja, tetapi juga mereka yang bekerja atau tinggal di bandara atau sekitaran bandara. Mereka juga perlu alternatif transportasi.
Kedua, tidak ada ongkos ekstra bagi penumpang pesawat terbang. Harga tiket kereta api bandara saat ini mulai Rp 70 ribu jika bepergian dari stasiun Manggarai dan Rp 35 ribu jika berangkat dari stasiun Batu Ceper. Bandingkan dengan biaya yang dikeluarkan penumpang commuter line Jakarta– Bogor yang hanya Rp 6 ribu rupiah saja. Hitungannya, untuk 1-25 km perjalanan pertama penumpang membayar Rp 2 ribu dan selanjutnya untuk tiap 1-10 km berikutnya membayar Rp 1.000, berlaku kelipatan.
Dengan ongkos yang murah ke bandara, banyak anggota keluarga atau teman yang bisa ikut mengantar. Dengan harga tiket kereta bandara saat ini, hanya si penumpang saja yang naik kereta api. Jika keluarga ikut mengantar, mereka lebih memilih menggunakan taksi atau moda transportasi lainnya.
Ketiga, penggunaan rel yang bergiliran seperti yang dilakukan saat ini menyebabkan penumpukan penumpang commuter line karena mereka harus berbagi jalur dengan kereta bandara bahkan dinomorduakan.
Di kota dan negara yang pernah saya kunjungi, seperti Singapura, Kuala Lumpur, Wina, dan Nuremberg kereta api ke bandara menggunakan kereta api dan rel yang sama. Ada kereta api yang hanya berhenti hingga stasiun tertentu, dan di sana berganti kereta ke bandara, tetapi ada juga kereta api yang langsung ke bandara.
Ada biaya penambahan ongkos tentu saja, tetapi tidak terlalu besar. Di Jerman dan Austria, jika sudah punya tiket langganan atau harian, maka ongkos kereta api ke bandara sudah termasuk ke dalam tiket tersebut. Tidak perlu lagi membayar ekstra.
Negara memang perlu memfasilitasi penumpang pesawat terbang, tetapi tidak perlu mengistimewakan mereka. Karena pesawat terbang adalah salah satu moda transportasi dan kini bukan lagi transportasi milik para the haves. Seperti jargon salah satu maskapai, 'sekarang siapapun bisa terbang'.