Rusia merupakan salah satu negara yang dikenal dengan sebutan negara energy superpower di kawasan Eropa.

Sebutan ini diberikan bukan tanpa alasan, hal ini terjadi karena Rusia memiliki gas alam, minyak bumi dan juga persediaan batu bara terbesar di dunia. 

Sehingga negara ini menjadi negara terbesar kedua dalam produksi dan ekspor gas alam.

Tidak hanya kaya akan minyak bumi, gas alam, dan juga batu bara, namun negara ini juga dikenal sebagai produsen listrik terbesar ke-3 dan produsen energi terbarukan terbesar ke-5 di dunia.

Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy menyebutkan bahwa cadangan gas terbesar terdapat di Rusia sebesar 37,4 triliun meter kubik di mana angka ini setara dengan 19,9% dari jumlah persediaan gas alam yang ada di dunia.

Dilihat dari data tersebut dapat disimpulkan jika perekonomian Rusia sangat bergantung dengan harga minyak, hal ini karena seiring naiknya harga minyak maka pertumbuhan GDP pun akan mengalami kenaikan. 

Oleh karena itu, Rusia memiliki kepentingan penuh dalam menjaga kestabilan harga minyak di pasar global.

Dalam menjaga kestabilan harga minyak, Rusia menjalin kerjasama dengan negara Arab Saudi sebagai negara terbesar dalam produksi dan ekspor minyak bumi. 

Kerjasama yang dilakukan dimulai sejak 5 September 2016 yang tercantum dalam Joint Statement On Oil Market Cooperation.

Kerjasama ini dilakukan karena pada tahun 2014 harga minyak di pasar global mengalami penurunan dari yang semula seharga US $103 barel menjadi US $30 per barel di tahun 2015. 

Dimana penurunan harga minyak ini membuat perekonomian Rusia menjadi terganggu.

Hal ini semakin memperparah keadaan perekonomian Rusia karena pada tahun 2014 Rusia juga mengalami krisis ekonomi akibat dari sanksi yang diberikan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa atas tindakan Rusia yang melakukan aneksasi terhadap wilayah Crimea.

Dimana akibat aneksasi yang dilakukan oleh negara ini membuat kerjasama ekonomi antara Rusia dan Uni Eropa menjadi terhenti yang tentu memberikan dampak negatif terhadap ekonomi tersebut.

Tidak hanya memberikan dampak negatif terhadap Rusia namun sanksi tersebut juga memberikan dampak buruk terhadap negara-negara penghasil minyak lainnya seperti negara Arab Saudi.

Sanksi yang diterima oleh Rusia menyebabkan ekonomi Rusia menjadi lemah yang ditandai dengan penurunan nilai tukar mata uang Rusia dari 34,89 menjadi 38,80 rubel terhadap dolar Amerika Serikat pada pertengahan tahun 2014.

Alasan kedua negara ini menjalin kerjasama dalam perdagangan minyak bumi karena masing-masing negara ini memiliki sumber daya alam yang melimpah. 

Sehingga dengan sesama negara energy superpower diharapkan mampu menguasai harga minyak di pasar global.

Dari kerjasama tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi masing-masing negara, seperti Rusia yang berharap melalui kerjasama ini dapat meningkatkan devisa negara melalui penjualan minyak bumi.

Sedangkan untuk Arab Saudi sendiri tidak berfokus pada keuntungan materi dimana kerjasama ini dijadikan sebagai salah satu upaya dalam mencari aliansi baru. 

Hal ini karena Arab Saudi merasa tidak sejalan lagi dengan negara Amerika Serikat, di mana pada tahun 2013 Arab Saudi menolak duduk di dewan keamanan PBB karena merasa badan dunia tersebut menerapkan standar ganda. 

Kerjasama yang dilakukan oleh Rusia dan Arab Saudi merupakan salah satu contoh dari kerjasama bilateral yang bersifat kolaborasi. 

Dimana dalam kerjasama ini, masing-masing negara sepakat untuk melanjutkan konsultasi  pada kondisi pasar dengan mendirikan pemantauan gugus tugas bersama.

Dalam kerjasama ini berhasil menghasilkan program Freezing Oil yang berfokus pada pembatasan produksi minyak. 

Pada November tahun 2016 kedua negara sepakat untuk melakukan tahapan pembatasan produksi yang dianggap akan menjadi instrumen yang paling konstruktif. 

Pembatasan produksi yang dilakukan oleh kedua negara terlihat ketika pada tahun 2017 Rusia mulai mengurangi produksi minyaknya sekitar 300.000 mpd yang sebelumnya pihak Rusia memproduksi minyak sekitar 420.000 mpd.

Sedangkan untuk pembatasan produksi yang diterima oleh Arab Saudi memperoleh yang lebih besar  yaitu sebesar 480.000 mpd dimana sebelumnya jumlah produksinya sekitar 450.000 mpd. 

Hal ini dapat terjadi karena Negara Arab Saudi merupakan anggota OPEC sehingga dalam pembatasan yang dilakukan harus sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh organisasi tersebut.

Dalam pembatasan produksi minyak tersebut, tindakan kedua negara ini mendapat dukungan penuh dari OPEC dan negara anggota OPEC lainnya sebagai organisasi internasional yang menaungi kebutuhan minyak di dunia global. 

Hal ini karena OPEC juga harus tetap menjaga kestabilan harga minyak di pasar global.

Bukti dari dukungan OPEC terhadap kedua negara ini terlihat ketika organisasi ini juga memutuskan untuk melakukan pembatasan terhadap produksi minyak dengan jumlah 1,2 mpd per hari.

Hal yang dilakukan oleh kedua negara ini dan juga OPEC bukan semata-mata untuk kepentingan nasional mereka, namun untuk menjaga kestabilan minyak dan menaikkan harga minyak bumi di pasar global. 

Dengan hal ini diharapkan dapat menjaga kestabilan harga minyak meskipun mendapat tekanan dari Amerika dan Uni Eropa.