Siapa yang bisa menerima tindakan KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa terhadap Komandan Kodim Kendari Kolonel Hendi Suhendi? Gara-gara kicauan istrinya, Irma Nasution, sang KSAD merasa perlu menandatangani surat perintah mencopot Dandim dari jabatannya. Apa gak berlebihan?

Terhadap prajurit lainnya berinizial Z juga begitu. Lantaran keduanya dipandang melanggar UU No. 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer tersebab kelakuan istri, mereka harus ditambah hukumannya berupa penahanan ringan selama 14 hari. Keterlaluan.

Benar bahwa kedua istri dari kalangan militer ini sempat berkicau nyinyir soal kasus penusukan Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang, Banten. Pada Irma, ia menulis: “Jangan cemen, pak. Kejadianmu tak sebanding dengan berjuta nyawa yang melayang.”

Sementara untuk istri prajurit, tulisnya begini: “Cuma sama pisau saja kok. Belum dibakar kayak dokter di Wamena. Gak kayak mahasiswa yang meninggal kepalanya retak gaga-gara dipukul benda tumpul. Gak kayak anak-anak yang meninggal gara-gara asap di Riau sama Jambi. So, gak usah lebaylah.”

Nyinyiran-nyinyiran itulah yang dijadikan dasar bagi KSAD untuk mengambil sikap berlebihan terhadap dua bawahannya. Sekaligus terhadap para istri, akan didorong prosesnya ke pengadilan umum. Itu karena hukum memang mengindikasikannya masuk ke ranah proses peradilan.

Keluarga Adalah “Orang Lain”

Saya kira penting memahami bagaimana relasi individu dengan manusia di luar dirinya (orang lain). Anggota keluarga: orang tua, suami/istri, kakak/adik, atau anak, semuanya tergolong “orang lain”. Tidak ada sangkut pautnya, secara tindakan, dengan orang yang berada di luarnya.

Kecuali (mungkin) secara moral, tiap individu tidak punya kewajiban apa-apa ikut menanggung derita atau akibat dari perbuatan orang lain. Masing-masing orang bertanggung jawab atas tindakannya sendiri-sendiri.

Dalam “konsep dosa” yang saya yakini juga demikian. Tidak pernah ada istilah “dosa kolektif”. Tidak pernah ada soal beban yang wajib ditanggung secara bersama. Artinya, tidak ada pelibatan siapa-siapa di dalamnya selain diri dan sang hakim. Sifatnya individual.

Maka kenapa perlu pengaturan hukum yang juga harus bernapas individual seperti demikian. Bahwa siapa yang melakukan dosa, terlepas benar-tidaknya adalah dosa, maka dialah yang mesti kena sanksi.

Tidak bisa, misalnya, karena yang bersangkutan adalah anggota Persit (Persatuan Istri Tentara), maka sang suami, yang tentara, turut dan harus bertanggung jawab atas kelakuan sang istri. Sangat tidak bisa.

Sehingga menghukum dua-duanya, berdasar relasi keluarga (suami-istri), adalah menyalahi “konsep dosa”. Suami-istri, dalam hal ini, tidak punya ikatan, kecuali dalam cinta.

Meretas Jalan Keadilan

Di kasus yang tengah viral ini, hal pertama yang mesti kita tanyakan: apa salah nyinyir? Kenapa nyinyiran, ejekan, ujaran kebencian, bahkan fitnah, melulu dianggap sebagai perbuatan tercela? Apa selalu harus karena moral? Moral siapa yang paling valid jadi patokan?

Lalu, yang juga patut dipikirkan kemudian, bisakah individu dihukum hanya karena menyatakan “rasa benci” atau “tidak percaya”? Jika ya, berarti kita sedang dan akan memenjarakan hati dan pikiran orang lain yang berbeda. Sementara kita tahu, di mana pun, tidak pernah ada penjara hati dan pikiran, bukan? Absurd.

UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memang mengatur soal ujaran jenis itu. Di sana, ia terkategori sebagai “hate speech”. Siapa pun yang diduga melanggarnya, potensi hukumannya bisa berupa penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar rupiah. Ngeri.

Padahal, sejatinya, hate speech bukanlah sebuah pelanggaran. Alih-alih merampas, hate speech, meski terlontar ke siapa saja di ruang publik, adalah juga bagian dari bentuk pemenuhan hak (kebebasan berekspresi). Sehingga yang melarang, justru itulah yang melanggar. Bukan sebaliknya!

Jadi, atas dasar apa kiranya seorang suami harus ikut bertanggung jawab atas perbuatan sang istri? Toh sang istri, sebenarnya, tidak harus dan tidak perlu bertanggung jawab juga atas kegilaan sang suami, misalnya. Kan, begitu?

Yang aneh adalah, kita mendukung kesetaraan gender, sebuah konsep keadilan antara perempuan dan laki-laki, di ruang privat maupun publik. Artinya, dalam kasus di atas, istri bukanlah bagian dari properti suami. Lalu kenapa seorang Dandim (sang suami) harus dicopot dari jabatannya gara-gara kicauan sang isri?

Mungkin saja kita bisa memahami—meminjam pendapat Nanang Sunandar—bahwa jika kesalahan itu berasal dari seorang anak, manusia yang belum dewasa, masih hidup dalam asuhan, maka sewajibnya menjadi tanggung jawab orang tua atau walinya.

Tapi, jika kesalahan itu ternyata berasal dari seorang dewasa, kemudian dibebankan kepada orang dewasa lainnya hanya karena mereka terikat dalam relasi keluarga berupa pernilahan, tentu logikanya patut dipertanyakan.

Tetapi pendapat Nanang di atas itu sebetulnya versi yang lebih soft dari apa yang juga saya pegang. Saya melampauinya, lebih ekstrem!

Maka itu, demi keadilan, dan demi akal sehat, Saptamarga tidak layak mendasari hukum disiplin militer. Juga terhadap hukum yang berjenis demikian.

SImpulnya, unsur apa pun yang secara nyata melanggar kebebasan individu adalah juga bentuk penjajahan. Olehnya, harus segera dihapuskan karena tidak sesuai dengan... Ah, sambung sendirilah. Pokoknya begitu.