Pada tahun 2018, tercatat beberapa bencana besar terjadi di Indonesia, seperti gempa bumi yang terjadi di Lombok, gempa bumi yang terjadi di Palu dan Donggala, serta tsunami yang baru saja terjadi di wilayah pantai di Selat Sunda (22/12/2018). 

Sebelumnya, gempa bumi dan tsunami besar juga terjadi di Aceh pada tahun 2004 dan terjadi di Padang pada tahun 2009. Bencana serupa akan terus terjadi di Indonesia mengingat posisi Indonesia yang berada di titik pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu Pasifik, Eurasia, dan Indoaustralia.

Sayangnya,  meski puluhan kali bencana terjadi, baik bencana tsunami, gempa bumi, gunung meletus, dan berbagai bencana alam lainnya, anggapan adanya azab dan hukuman dari Tuhan masih terus dipercaya oleh sebagian masyarakat Indonesia. 

Pada gempa bumi yang terjadi di Lombok, masyarakat mengaitkan bencana dengan perilaku amoral warga, alasan-alasan politis seperti dukungan Tuan Guru Bajang (TGB) terhadap Jokowi, dan berbagai anggapan lain yang dianggap membuat Tuhan murka lalu menghukum mereka dengan bencana. Sementara, pada bencana yang melanda Palu dan Donggala pada 28 September lalu, anggapan serupa kembali terjadi dengan mengkambinghitamkan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).

Anggapan bahwa bencana yang terjadi dikarenakan adanya aktivitas LGBT di Palu, tercermin di berbagai portal berita lokal, portal Islam serta di berbagai komentar netizen di internet. Anggapan yang sama salah satunya juga dilontarkan oleh Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia era Najib Razak, Ahmad Zahid Hamidi yang menyebut jika bencana gempa dan tsunami yang menewaskan ribuan orang di Sulawesi Tengah merupakan hukuman dari Allah karena ada kegiatan kaum LGBT.

"Di Palu, di mana ada gempa dan tsunami yang terjadi baru-baru ini, dilaporkan ada lebih dari 1.000 orang terlibat dalam kegiatan (LGBT)," ujarnya seperti dikutip dari CNN Indonesia (23/10).

Anggapan tersebut terus dipercaya bak bola panas yang terus menggelinding di tengah masyarakat tanpa kontrol. Sementara itu, media massa seperti Republika dan Kompas absen meliput isu yang sudah terlanjur menjalar dan dipercaya di masyarakat. Padahal media massa memiliki kekuatan untuk mengontrol opini publik dan memiliki tugas untuk mengedukasi masyarakat.

Alex Sobur dalam buku yang ditulis oleh Jumroni (2006) mendifinisikan media massa sebagai "suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal; mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris".

Republika merupakan portal berita yang bernafaskan Islam. Dalam isu LGBT secara umum, Republika cenderung menolak eksistensi LGBT. Hal ini tampak dari beberapa judul berita mengenai LGBT sebelum terjadinya tsunami dan gempa bumi di Palu dan Donggala. 

Laporan penolakan LGBT yang diberitakan Republika tidak saja isu-isu yang terjadi di dalam negeri, namun juga penolakan LGBT yang terjadi di negara lain seperti di Malaysia. Pada judul berita yang diturunkan pada 2 September 2018, misalnya “Mahathir: Malaysia Tak Bisa Menerima Perkawinan Sejenis” atau berita yang diturunkan pada tanggal 14 Agustus 2018 “Pengadilan Malaysia Hukum Dua Wanita yang Diduga Lesbian”. 

Dalam dua berita tersebut, Republika ingin menyuarakan bahwa LGBT ditolak tidak saja di Indonesia namun juga di Malaysia sebagai sesama negara dengan mayoritas penduduk muslim.

Absennya Republika dalam pemberitaan mengenai isu LGBT pada saat terjadinya tsunami dan gempa bumi di Palu dan Donggala membenarkan asumsi bahwa Republika memilih untuk mencari aman dengan tidak memberitakan mengenai LGBT sama sekali meskipun isu ini santer beredar di tengah masyarakat. 

Dari 925 judul berita yang dikaji selama 28 September-28 Oktober 2018 lalu, termasuk ketika politikus Malaysia Ahmad Zahid Hamidi menyatakan bahwa tsunami dan gempa bumi yang terjadi merupakan hukuman Allah, Republika tidak memberitakannya sama sekali. Hal ini menandakan jika Republika sepakat dengan penolakan terhadap LGBT namun enggan menurunkan berita mengenai LGBT untuk menghindari anggapan bahwa Republika mendukung pernyataan tersebut.

Berita mengenai LGBT di Republika sebelum terjadi bencana Palu dan Donggala pada April-September 2018:

  • Mahathir: Malaysia Tak Bisa Menerima Perkawinan Sejenis
  • Pasangan Gay Juga Sering Alami Kekerasan Seksual
  • Pengadilan Malaysia Hukum Dua Wanita yang Diduga Lesbian
  • Anak Korban HIV?AIDS Harus Dilindungi Khusus
  • Baznas-IPB Gelar Pelatihan Penanganan dan Pencegahan LGBT
  • Cegah LGBT, Baznas Gelar Pelatihan Guru di Papua
  • DC Disinyalir akan Tampilkan Jagoan LGBT dalam Fillm
  • Mencari Titik Temu Soal Zina dan LGBT di RUU KUHP
  • Android P Beta Mengandung Konten LGBT
  • Kemenag: Kegiatan Keagamaan Tangkal Perilaku LGBT
  • Ini Fakta Angka Soal LGBT di Sumatra Barat
  • Perilaku LGBT Pemicu HIV Tertinggi di Sumbar
  • ICMI: Negara Perlu Rumuskan Hukum yang Atur Pencegahan LGBT
  • Intelijen Kejagung Temukan Ratusan Komik LGBT Bahasa Cina

Selain Republika, Kompas di periode yang sama juga absen meliput isu LGBT dalam pemberitaannya mengenai bencana tsunami dan gempa bumi yang terjadi di Palu dan Donggala. Kompas merupakan salah satu media nasional yang dianggap lebih nasionalis dan pro-pemerintah. 

Dalam isu LGBT sebelum terjadinya tsunami dan gempa bumi di Palu dan Donggala selama 6 bulan, terhitung sejak April-September 2018, pemberitaan yang diturunkan Kompas cenderung lebih halus daripada Republika dan cenderung berupaya untuk mempertahankan hak-hak sipil LGBT. Seperti judul yang diturunkan pada tanggal 30 Mei 2018 “Pemerintah Hapus Frasa yang Mendiskriminasi LGBT dalam RKUHP”, “Diskriminasi Kelompok LGBT dan Pemerintah yang "Tutup Mata" pada 17 Agustus 2018, “MA India Cabut Aturan Larangan LGBT Buatan Penjajah Inggris” pada 06 September  2018.

Dan pada periode Oktober, Kompas juga menurunkan satu judul berita mengenai Perdana Menteri Malaysia, “Mahathir: Hak LGBT Tak Cocok untuk Malaysia” pada 25 Oktober 2018. Sebelumnya, pada 21 September 2018, Kompas juga menurunkan berita terkait LGBT dengan meminjam ungkapan Mahathir dengan judul “Mahathir Mohamad: Malaysia Tak Bisa menerima Kultur LGBT”.

Dan terkait hal yang sama, pada 06 September 2018, Kompas menurunkan berita yang berjudul “Mahathir Kecam Pencambukan Dua Lesbian di Trengganu”. Pada pemberitaan mengenai LGBT dan Malaysia, Kompas tetap memberitakan penolakan Malaysia mengenai LGBT, namun juga turut mempertahankan hak-hak sipil mereka.

Jika menilik pemberitaan yang diturunkan Kompas mengenai LGBT sebelum terjadinya tsunami dan gempa bumi di Palu dan Donggala, seharusnya Kompas juga menurunkan berita sekaligus meng-counter balik pernyataan politisi Malaysia Ahmad Zayid Hamidi. Padahal, anggapan jika LGBT sebagai penyebab bencana di Palu dan Donggala sangat santer dan dipercaya kebenarannya oleh sebagian masyarakat Indonesia. 

Namun, dari 201 berita selama satu bulan setelah terjadinya gempa yakni pada tanggal 28 September sampai dengan 28 Oktober 2018, Kompas juga absen menjalankan perannya untuk mendidik masyarakat.

Berita mengenai LGBT sebelum terjadi bencana Palu dan Donggala pada April-September 2018:

  • Pemerintah Hapus Frasa yang Mendiskriminasi LGBT dalam RKUHP
  • Marah Dimasukkan ke Grup WhatsApp LGBT, Pria Serang Warga di Cawang
  • Mahathir Mohamad: Malaysia Tak Bisa menerima Kultur LGBT
  • Diskriminasi Kelompok LGBT dan Pemerintah yang "Tutup Mata"
  • Sebut LGBT Tidak Produktif, Partai Berkuasa Jepang Dihujani Kecaman
  • MA India Cabut Aturan Larangan LGBT Buatan Penjajah Inggris
  • Pendeta Ini Kaitkan Kebakaran Hutan dan Dukungan untuk LGBT
  • Mahathir Keam Pencambukan Dua Perempuan Lesbian di Terengganu
  • Pemerintah Hapus Frasa yang Mendiskriminasi LGBT dalam RKUHP
  • Marah Dimasukkan ke Grup WhatsApp LGBT, Pria Serang Warga di Cawang
  • Mahathir Mohamad: Malaysia Tak Bisa menerima Kultur LGBT
  • Diskriminasi Kelompok LGBT dan Pemerintah yang "Tutup Mata"
  • Sebut LGBT Tidak Produktif, Partai Berkuasa Jepang Dihujani Kecaman
  • MA India Cabut Aturan Larangan LGBT Buatan Penjajah Inggris