Tak bisa dipungkiri, semangat kedaerahan menjadi nafas menuju kemerdekaan Indonesia. Paham senada dari setiap daerah ini menjadi kekuatan penuh dalam proses panjang merebut kemerdekaan itu. Jauh sebelum lahirnya Indonesia, masyarakat adatlah yang berada di tiap pintu-pintu gerbang daerah untuk menghadang masuknya agresi kolonial.

Tidak ada Indonesia tanpa perjuangan Masyarakat Adat (daerah). Demikianlah logika yang harus mendasari lahir dan merdekanya negeri ini. Sejak Proklamasi dilontarkan Soekarno, sejak itu pula masyarakat menggantungkan mimpinya jauh dari penjajahan, termasuk penindasan, kelaparan dan berbagai tindak kejamnya kolonial memporak-porandakan tatanan kehidupan masyarakat di belahan daerah.

Akan tetapi, ekspektasi di atas kepala masyarakat adat tidak semenarik dengan istilah kemerdekaan saat ini. Pasalnya kebijakan pemerintah dari rezim-rezim sebelumnya hingga Jokowi saat ini belum bersahabat dengan keberadaan masyarakat adat. Justru keberadaan masyarakat adat sering kali dibenturkan oleh kepentingan golongan atau mekanisme versi negara yang jauh dari tatanan masyarakat adat.

Legalisasi aset contohnya. Masyarakat adat dipaksa untuk melegalisasi apa saja yang diyakini sebagai warisan atau peninggalan leluhurnya. Bagi masyarakat adat tidak mengenal dengan apa yang disebut “Sertifikat Tanah”, bagi mereka pengakuan dari tetangga atau orang lain secara natural diekspresikan melalui rangkaian adat. Biasanya pengakuan didukung oleh batas-batas alam. Tanpa legalisasi aset, masyarakat akan dihadapkan dengan hukum formal.  

Sering kali, masyarakat dibenturkan oleh legalisasi versi negara. Konflik agraria dari daerah-daerah di era investasi besar-besaran membuktikan bahwa masih enggannya negara menuntaskan konflik sebelum menerima penanam modal masuk. Sejak dibukanya kram Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) era Soeharto, sejak itu pula klaim-klaim sepihak hutan negara terjadi di berbagai daerah.

Kuatnya kekuasaan saat itu memaksa masyarakat melepas hak-haknya termasuk sumber daya yang melekat pada dirinya. Klaim hutan besar-besaran tersebut mengharuskan investor mengakses izin kepada negara dan sekaligus meminta dukungan keamanan dari negara atas kelancaran segala kegiatan investasi.

Justru mekanisme demikian menyulut konflik bom waktu dari berbagai daerah. Sebagai negara agraria yang berlatar belakang masyarakat bertani atau berkebun, kebijakan ini justru sangat mengganggu tatanan kehidupan masyarakat. Sampai saat ini, sepanjang tahun 2021 dihimpun dari data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) setidaknya sudah terjadi 207 konflik agraria dari berbagai daerah.

Dari ratusan konflik tersebut, ada 198.000 kepala keluarga terdampat dengan luasan mencapai setengah juta hektar. Justru konflik si era Jokowi didominasi oleh proyek-proyek Pembangunan Strategis Negara (PSN) yang sering di gadang-gadang oleh rezim saat ini. Kerja-kerja atas nama negara justru mempersulit keadaan masyarakat.

Pemerintah selalu berdalih bahwa investasi besar-besaran akan membuka peluang kerja yang besar pula. Justru logika yang demikian berbanding terbalik dengan kenyataan di masyarakat, apalagi mereka yang berada di daerah seperti masyarakat adat. Di era revolusi industri saat ini, justru peran manusia semakin kecil di sektor-sektor perusahaan.

Yah logika sederhananya, jika perusahaan mampu menggunakan tenaga robot, untuk apa pula mempekerjakan manusia dengan biaya yang besar. Hal ini diperkuat dengan data Apindo, mereka mengatakan jika tahun 2010 setiap investasi 1 triliun mampu menyerap 5.000 tenaga kerja, akan tetapi pada tahun 2016 hanya menyerap 2.200 pekerja dan diyakini angka ini akan menurun setiap tahunnya yang salah satunya dipengaruhi kemajuan teknologi.

Ditambah data BPKPM, sekitar 7 tahun lalu setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 750.000 tenaga kerja, akan tetapi pada tahun 2020 hanya mampu menyerap 100.000 tenaga kerja. Sehingga logika yang digunakan oleh pemerintah saat ini sudah tidak lagi relevan oleh perkembangan dan kemajuan teknologi atas investasi.  

Jika pemerintah terus-menerus memberikan akses tanah kepada perusahaan tanpa adanya kepastian hukum yang diberikan negara kepada masyarakat, maka konflik agraria akan terus menerus terjadi. Justru lokasi-lokasi yang berkonflik akan mempersulit dan enggan masuknya investor di dalam kondisi demikian. Kecuali negara melanggengkan perusahaan-perusahaan kotor untuk berinvestasi yang jauh dari prinsip kemanusiaan dan keberlanjutan alam.

Kepastian hukum dimaksud berdasar pada pengakuan negara atas hak-hak masyarakat adat sebagai kelompok atau komunitas yang sudah eksis sebelum lahirnya negara. Sampai saat ini, setidaknya hambatan yang dialami masyarakat adat datang dari berbagai arah. Selain masih kecilnya niat pemerintah pusat dan legislatif dalam pengakuan masyarakat adat, pemerintah daerah pun masih dengan hal yang sama.

Sampai saat ini, dihimpun dari data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) setidaknya mereka telah menerima 1.119 Peta Wilayah Adat dengan luasan 20,7 juta hektar yang tersebar di 29 Provinsi atau 142 Kabupaten/Kota. Dari data tersebut hanya 189 peta dengan luasan 3 juta hektar. Masih ada 17 juta hektar lagi belum menerima kepastian dari pemerintah. Belum lagi data di luar BRWA yang belum bisa diakses oleh lembaga terkait.

Legalisasi aset atau pengakuan atas tanah menjadi satu dari banyak masalah yang kian dihadapi masyarakat adat hari-hari ini. Dari konflik agraria yang timbul setidaknya telah menelan korban dari berbagai daerah. Sebagai penyumbang terbesar kebutuhan pokok masyarakat, seharusnya masyarakat adat dimuliakan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Bukan justru menerima tindakan diskriminatif atas dalih investasi atau pembangunan.

Justru atas dalih investasi yang jorok, saat ini masyarakat adat menjadi kelompok yang sangat terdampak atas kebijakan keliru pemerintah. Sumber produksi/tanah dirampas, kekeringan/matinya sumber air, serta rusaknya hutan alam sebagai penyangga kehidupan makhluk pun dirusak.

Belum lagi pemerintah atau investor yang memiliki surplus sumber daya selalu membenturkan masyarakat adat dengan pihak kepolisian (aparat hukum) demi melanggengkan dalih-dalih di atas. Kriminalisasi, intimidasi, kekerasan dan berbagai tindakan represif selalu menghantui masyarakat adat setiap hari.

Ditambah jika merujuk kepada Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Jenewa Swiss tentang Hak-hak Masyarakat Adat, pada sidang umum beberapa penjelasan mengatakan, “Masyarakat adat memiliki hak penuh atas perlindungannya dari negara, dan mereka mempunyai hak untuk mengidentifikasi identitas dirinya sendiri sebagai masyarakat adat menurut kebiasaan-kebiasaan tradisi mereka tanpa ada intervensi dari siapapun”.

Sebenarnya pengakuan sebagai masyarakat adat tidak perlu dari negara, pemerintah cukup dengan melindungi hak-hak masyarakat adat. Karna sejatinya masyarakat adat sudah lebih dulu eksis sebelum lahirnya negara. Akan tetapi akibat segala sesuatu selalu merujuk kepada legalisasi negara, untuk pengakuan pun harus berdasarkan selera dan versi negara. Lalu, bagaimana mungkin mencapai merdekanya titik perlindungan atas hak masyarakat adat?