Saat paling menyedihkan adalah ketika sakit dan kau hanya sendirian. Seorang teman pernah berkata demikian, penuh keyakinan.

Aku hanya tertawa saat mendengarnya. Ah, sakit hanyalah momen sementara. Tak ada yang perlu diistimewakan. Lagian, sampai sejauh mana orang lain bisa menyerahkan kepeduliannya terhadap orang sakit?

****

Sudah empat hari aku meriang hebat. Kupikir, aku hanya butuh sedikit istirahat. Sehari, dua hari, hingga dua hari berikutnya, suhu tubuhku tak juga menurun. Akhirnya aku memaksakan diri ke dokter.

Sungguh aneh, aku pernah setuju dengan perkataan temanku yang dokter, tentang betapa naif orang-orang yang tak mau mengeluarkan uang demi kesehatannya.

Saat itu, aku juga serta merta setuju ketika ia mengatakan bahwa iuran asuransi kesehatan sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah setiap bulan, adalah sejumlah kecil yang bisa memberi banyak manfaat.

Tetapi, aku sendiri tak pernah peduli dengan kesehatanku, apalagi sampai terbujuk rayuan-rayuan sales asuransi. Aku tak pernah berpikir untuk hidup lama ataupun mati cepat. Maksudku, aku telah menyerahkan tubuhku pada alam. Biar ia yang menentukan.

Tiba-tiba aku sakit dan untuk pertama kalinya takut akan kematian. Saat ini pula aku berani melupakan kebaikan temanku yang dokter itu dan mengutuk semua dokter di dunia ini.

Sialan para dokter itu, mereka menjelaskan soal penyakit pasien dengan raut muka yang tak mampu terbaca. Sungguh hebat, pengetahuan telah memberi mereka kekuasaan penuh atas emosi seorang pasien. Mereka seperti Tuhan, mungkin. Atau apalah!

****

Tubuhku seperti pohon yang sebentar lagi mati. Layu. Disiram air pun tak mempan. Aku melangkah terseok-seok menyusuri lorong rumah sakit yang terasa tiada ujungnya.

Itulah pertama kalinya aku memahami kata-kata temanku, bahwa saat paling menyedihkan adalah ketika sakit dan aku hanya sendirian.

Tiba-tiba aku merindukan keluargaku, teman-temanku, mantan pacar, calon pacar, dan semua orang yang kukenal dengan baik.

Aku ingin memanggil mereka untuk mengerumuniku; mengompres keningku, membuatkan makanan sehat, memapahku ke kamar mandi. Atau sekedar bertanya, apakah kamu baik-baik saja?

Sampai di ujung lorong, pikiran-pikiran itu seperti ide paling hebat yang terus bersuara di kepala si empunya. Tiada bosan kupandangi telepon genggam yang tak pernah berbunyi sedari kemarin. Ingin kupanggil mereka satu demi satu.

Ha, sungguh konyol! Mau menghubungi orang-orang yang tak pernah benar-benar kuhubungi, tak sisa malukah?

Kucegat taksi. Di sana beberapa fragmen mimpi silih berganti.

*****

 Aku terbaring di atas ranjang berdebu. Kurasakan panas pada sekujur tubuhku. Beberapa kali kudengar mulutku meracau. Aku minta tolong, melolong anjing. Pipiku semakin panas oleh aliran airmata.

Tak ada yang menghampiriku. Entah mereka tak mendengar atau tak peduli. Apakah aku sudah mau mati? Karena itukah mereka tak dapat mendengar suaraku?

“Ma… Mama…”

Aku mencoba memanggil lebih keras. Tak ada sahutan.

“Ka… Ma… Ciikaa..!” Bahkan orang yang paling membenciku di rumah ini, pun kupanggil namanya. Tentu saja dia tak menyahut. Pun saudara-saudaraku.

Suaraku sudah mau habis rasanya. Dan aku mulai mengantuk.

*****

Entah berapa jam aku tertidur, tapi di luar sudah tak terlihat cahaya. Perlahan pintu kamar dibuka seseorang. Kulihat Mama masuk. Aku girang bukan kepalang. Ingin kuraih tangannya dan kusandarkan tubuhku pada dadanya.

Tetapi Mama tak menghampiriku. Ia menuju lemari kayu, membukanya, lalu mengambil sesuatu dari sana. Sebelum meraih pintu, ia melirikku sebentar.

“Anak ini hanya bisa tidur saja. Sungguh tak berguna!”

Meski dapat kudengar gerutu itu, tapi aku percaya, demam ini membuatku terus berhalusinasi.               

****

Semalaman aku tak bisa tidur nyenyak. Perutku melilit, lidahku pait. Tak ada yang mengantarkan makanan. Jangan harap!

Sepertinya sudah hampir subuh ketika aku tertatih-tatih menuju dapur. Di meja makan hanya ada sisa sayur asam dan ikan peda. Sedikit pun tak menggiurkan. Peduli apa, makan saja!

Tenggorokanku sakit, rasanya aku tak mampu melumat makanan itu. Tetapi mati-matian aku terus mengunyahnya. Aku harus segera mengakhiri derita ini. Aku ingin membuktikan kepada semua orang bahwa aku masih bisa hidup tanpa bantuan siapa pun!

Mungkin karena panasku sudah sedikit mereda, gerutuan Mama terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku mulai percaya kalau itu bukan halusinasi.

Ah, aku tahu, terkadang Mama bisa sekeji itu. Aku hanya tak pernah berani menyuarakannya keras-keras. Anak kecil dilarang berterus-terang. Terlalu jujur membuatmu tak disukai banyak orang.

****

Kali ini mimpiku lain lagi. Tapi situasinya masih sama, aku sakit dan terbaring sendirian. Di sebuah rumah yang bukan rumah keluargaku. Bila dilihat dari rupa dan ukuran tubuhku, sepertinya aku sudah kuliah.

Pintu kamarku diketuk tiga kali. Huh, tubuhku yang layu harus dipaksa bangun. Siapa pula yang datang! Tapi, baik juga bila ia bawa makanan. Perutku melilit. Sakit yang sama seperti pada mimpi pertama.

Huh, ternyata dia. Wajahnya kusut, badannya bau keringat. Tanpa basa-basi, orang itu menghambur ke tempat tidurku. Aku melongo.

“Kamu tak lihat aku sedang sakit?” Tegurku. Dia menoleh sebentar tanpa beranjak dari kasur yang baunya mulai bercampur dengan bau keringat itu.

“Sakit apa?” Tanyanya datar. Tak kudengar kekhawatiran atau empati.

“Sudahlah.” Aku menjawab sekenanya.

Aku keluar dari kamar itu. Bau tubuhnya benar-benar membuatku tak tahan.

Mungkin bukan karena bau itu aku jadi terganggu. Di kursi kayu yang telah lusuh, aku merenung. Bagaimana bisa dia bertanya tentang keadaanku sementara tangan dan matanya sibuk oleh telepon genggam.  

Kudengar tawa cekikikan dari dalam kamar. Tak lama, ia menghampiriku. “Kok di luar aja? Masuk, yuk!” Ajaknya.

Ah, lega hatiku. Rupanya dia masih sedikit peduli. Tetapi, oh, dia mulai menggerayangi tubuhku. Rupanya hanya itu yang dia mau. Tak lebih dari sepuluh menit, habis itu dia pamit. Berjanji akan segera kembali dan membawakanku bubur ayam.

Tapi dia datang dua hari setelah itu.

****

Mimpi ketiga, ah, sama saja. Aku malas menceritakannya.

*****

“Dari sini muter balik, Mbak?”

Sopir taksi melirikku sebentar.

“Ya, Mas.” Jawabku lirih.

“Nggak ada yang anter, Mbak?” Si sopir kembali memberi perhatian.

“Nggak, Mas.”

Sopir itu kembali melirikku sebentar. Lalu, “Emang suaminya gak bisa anter ya?” Dia sedikit menggerutu, bukan bertanya.

“Saya gak bersuami, Mas.” Jawabku bosan.

Ya, bosan!

Sering kudengar pertanyaan itu dari sopir taksi. Apakah aku menampakkan kebahagiaan atau raut sedih, pertanyaan itu seperti pertanyaan rutin atau pertanyaan formal yang disarankan perusahaan taksi kepada para pengemudinya.

Tentu saja dugaanku itu terdengar lebay. Memang. Tapi tentang seringnya mendapat pertanyaan itu, aku tak mengada-ada.

Ah, aku teringat akan tiga fragmen mimpiku tadi. Tak peduli apakah sepenuhnya mimpi atau memang pernah terjadi, aku ingin meralat ucapan temanku tentang saat paling menyedihkan itu.

Bagiku, saat paling menyedihkan bukanlah ketika aku sakit dan tinggal sendirian. Saat paling menyedihkan adalah ketika aku sakit dan seseorang berada di dekatku tetapi ia tak peduli. Atau, ketika aku sakit dan mengharapkan kepedulian orang lain, sementara aku tahu, tak ada yang benar-benar peduli.

Tapi, hey, begitulah hidup! Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Bagiku, siapa yang mampu merawat dirinya sendiri, dialah pemenangnya!