Glamor, megah memikat. Elvis Presley raja rock n roll. Generasi X akhir, gen Y dan gen Z sudah pasti hanya mendengar  kebesaran Elvis dari kisah orang  tua mereka. Maksimal, dengan membaca artikel di internet dan menonton youtube. Generasi muda  yang lahir dan tumbuh besar jauh setelah sang raja wafat pada 1977 akan diperkenalkan pada  kebesarannya oleh Elvis (2022).

Dari ranjang rumah sakit dalam keadaan sekarat,  Kolonel Tom Parker (Tom Hanks) mengenang kejayaannya di masa silam ketika menjadi manajer Elvis Presley (Austin Butler).  Ia yang mengorbitkan anak kulit putih dari keluarga miskin yang dipengaruhi oleh pergaulannya dengan lingkungan kulit hitam menjadi raja rock and roll.

Parker meyakini bakat besar Elvis setelah ia terpesona melihat penyanyi muda tersebut menyegarkan kembali lagu-lagu yang dibawakan penyanyi kulit hitam ditambah penampilan seksinya.

Sekalipun sudah menjadi manajer Hank Snow, Parker meyakini instingnya bahwa Elvis akan menjadi bintang yang lebih besar dibanding Hank Snow. Hank Snow adalah penyanyi country senior dan mapan saat itu.

Parker membujuk Elvis agar pindah ke label rekaman yang lebih besar, RCA. Tidak ketinggalan keluarga Elvis pun didekati oleh Parker. Sejak itu, Parker praktis mengatur seluruh karir Elvis berikut hampir semua  aspek kehidupan pribadinya.

Elvis yang awalnya merasa ditemukan dan diorbitkan oleh Parker lama-lama menyadari relasi dan intensi Parker tidak setulus itu. Elvis juga menghadapi problem personal seperti ketakutan, memburuknya hubungan dengan Priscillia (Olivia DeJonge)  dan ketergantungannya pada obat. Akumulasi masalah yang membawa pada kemerosotan hidupnya.

Daya tarik Elvis karena film ini memainkan kontradiksi antara narasi Kolonel Tom Parker dengan apa yang ditampilkan dalam adegan demi adegan. Klaim-klaim Kolonel Tom yang menyatakan relasi baik dengan Elvis, niat tulus melindungi dan jasanya membesarkan Elvis dengan mulus dipatahkan oleh babak per babak film ini.

Cara Baz Luhrmann menampilkan karakter antagonis dalam diri Tom Parker benar-benar memukau. “Pengecoh”, kata yang paling sering diucapkan Parker bisa menjadi kata sifat paling cocok untuk mendeskripsikan karakter manajer Elvis tersebut.

Parker penemu Elvis. Ia yang mengorbitkan Elvis. Namun ia juga yang mengeksploitasi bahkan memanipulasi bakat yang ditemukannya. Sebagai pengusaha hiburan yang ambisius dan kecanduan judi, agak sulit menemukan adegan yang menunjukkan kelicikannya secara vulgar. Sekalipun begitu, kita tetap  bisa merasakan “kejahatan” Parker pada Elvis.

Bobot dalam film ini terlihat pada isu segregasi rasial yang ditampilkan. Isu yan sesuai konteks perjuangaan hak sipil kulit hitam di AS pada dekade 1950-1960an. Elvis menyatakan kekhawatiran akan dipenjara pada BB King (Kelvin Harrison Jr).

Ia risau karena goyangan tubuhnya di atas panggung dikecam politisi. Musisi blues tersebut hanya merespon Elvis dengan sindiran getir pada sistem yang diskriminatif yang intinya kira-kira, “Aku mungkin bisa dipenjara karena goyangan. Namun kamu tidak, karena kamu kulit putih dan menghasilkan keuntungan “.

Wajar diduga bila isu ini dipengaruhi oleh Black Lives Matter (BLM) sejak 2013. BLM adalah gerakan sosial yang menyoroti rasisme, diskriminasi dan kesenjangan sosial yang dialami oleh warga kulit hitam AS   

Austin Butler benar-benar mempesona. Untuk aktor yang belum terlalu dikenal, Elvis menjadi semacam signature Butler dalam dunia perfilman. Goyangan pinggul, cara bicara dan ekspresinya cukup baik merepresentasikan Elvis.

Tidak heran bila Butler kesulitan melepaskan aksen Elvis bahkan hingga syuting film selesai. Waktu dua tahun yang digunakannya mendalami karakter Elvis terbayar lunas. Setidaknya untuk generasi yang tidak pernah melihat Elvis secara langsung. Penampilan Butler secara total merepresentasikan kebesaran Elvis di atas panggung.

Tom Hanks tidak kalah memikatnya sebagai pemeran pendukung. Reputasinya sebagai langganan nominator dan pemenang aktor Academy Awards memang terbukti dalam film ini. Sebagai karakter yang eksploitatif dan manipulatif, tidak terlihat dan terdengar sekalipun wajah atau suara licik Kolonel Tom Parker. Kejahatan yang dilakukannya pada Elvis tetap terasa dalam adegan-adegan dan dialog yang terlihat serta terdengar “biasa” saja.

Aktor dan aktris pendukung lain, seperti Olivia DeJonge (Priscillia Presley), bermain cukup aman. Tidak buruk tapi juga tidak terlalu memikat. Boleh disebut, panggung peran film ini memang dikuasai oleh Austin Butler dan Tom Hanks.

Bagi penonton yang tidak mengikuti sejarah Elvis, agak sulit mengungkapkan kembali periode hidup Elvis secara kronologis setelah nonton film ini. Sutradara Baz Luhrmann tampak ingin memasukkan sebanyak mungkin peristiwa dalam 42 tahun hidup Elvis.

Bahkan ia pun mengakui mempunyai versi empat jam dari film ini. Banyak adegan yang harus ia potong hingga menjadi versi dua setengah jam lebih. Walaupun begitu, penonton akan tetap terpuaskan dengan kebesaran Elvis, minimal dari tiap penampilan panggungnya.

Glamor, megah dan memikat menjadi kata sifat yang paling mendekati untuk mendeskripsikan film ini. Sutradara Baz Luhrmann sukses menampilkan kemewahan dan kemeriahan drama musik ala Moulin Rouge (2008) dan The Great Gasby (2013). Dua film yang pernah diarahkannya.