Pada dasarnya, aku sudah penasaran dan ingin menonton drama Korea berjudul Hymn of Death sejak lama. Namun, aku baru memiliki waktu yang tepat untuk menonton drama ini beberapa hari yang lalu. Drama ini tidak banyak dibicarakan, tapi bagi siapapun yang telah menontonnya—pasti sepakat bahwa drama ini adalah salah satu tragic romance drama terbaik yang pernah ada.

Hymn of Death menggabungkan genre sejarah, romance dan melodrama yang dipadu dengan sangat indah dan menyayat hati. Drama ini semakin nampak berkelas karena dibintangi oleh aktor dan aktris kompeten, yakni Lee Jong Suk dan Shin Hye Sun.

Sebetulnya, salah satu alasan utama mengapa aku ingin menonton drama Hymn of Death adalah karena ingin melihat Lee Jong Suk yang merupakan salah satu aktor Korea faforitku. Akan tetapi, rupanya aku tidak hanya terbius oleh pesona Lee Jong Suk saja, melainkan juga terbawa suasana oleh kisah yang diperankannya.

Seperti halnya drama Lee Jong Suk yang lain, ia berhasil memerankan setiap karakter dengan penuh penghayatan. Dalam Hymn of Death, ia berperan sebagai Kim Woo Jin yang merupakan seorang mahasiswa jurusan Sastra Inggris di Tokyo University. Sedangkan Shin Hye Sun berperan sebagai Yun Sim Deok yang merupakan seorang mahasiswi jurusan musik yang juga berkuliah di tempat yang sama.

Selain mengenyam pendidikan di Negeri sakura, Kim Woo Jin menjalankan suatu club drama yang beranggotakan orang-orang Korea. Kim Woo Jin adalah penulis naskah drama yang sekaligus menjadi pengarah gerakan dari setiap pementasan yang dimainkan bersama kawan-kawannya. Suatu hari, ia membutuhkan seorang penyanyi untuk mengisi dramanya. Akhirnya, salah satu anggota club drama mengenalkan Woo Jin kepada Sim Deok. Dari situlah pertemuan keduanya dimulai.

Latar Belakang Kim Woo Jin

Kim Woo Jin adalah seseorang yang sangat mencintai sastra. Baginya, sastra sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tidak dapat terpisahkan. Itulah mengapa ia sangat suka menulis. Menulis tidak lagi menjadi hobi, melainkan suatu budaya yang telah mendarah daging dalam dirinya.

Sayangnya, minatnya untuk menulis ditentang keras oleh ayahnya. Ayahnya ingin agar sewaktu lulus kuliah, Woo Jin dapat meneruskan bisnis keluarganya. Woo Jin adalah tipikal anak yang patuh kepada orang tua. Ia mematuhi setiap apa yang diperintahkan oleh ayahnya, termasuk untuk menikahi seorang wanita yang dipilihkan oleh ayahnya—meskipun ia tidak mencintainya.

Latar Belakang Yun Sim Deok

Yun Sim Deok adalah seorang penyanyi soprano yang memiliki suara emas. Ia selalu berhasil menyanyikan lagu dengan begitu cemerlang—dan hal itu membuatnya semakin terlihat bersinar. Meskipun memiliki suara yang bagus, hal tersebut tak lantas membuat Sim Deok besar kepala. Justru, ia selalu diliputi rasa khawatir tentang kualitas nyanyiannya. Ia takut tidak bisa bernyanyi dengan maksimal dan mengecewakan penontonnya.

Yun Sim Deok terlahir dari keluarga sederhana—atau bisa juga dikatakan sebagai keluarga miskin. Sim Deok sebagai anak pertama berperan sebagai tulang punggung keluarga. Di awal memulai karir sebagai penyanyi, gajinya sangat kecil untuk membiayai hidup keluarganya. Apalagi, ia masih memiliki dua adik yang harus disekolahkan ke luar negeri.

Toxic Relationship

Jika melihat sekilas tentang latar belakang dari Woo Jin dan Sim Deok, keduanya sama-sama memiliki problematika yang kompleks. Keduanya sama-sama memperoleh tekanan dari keluarganya yang membuat kehidupan mereka menjadi tidak leluasa.

Kita bisa lihat dalam diri Woo Jin telah tertanam rasa cinta yang teramat sangat dengan dunia sastra. Menulis sudah menjadi napas baginya dan tanpa itu, Woo Jin merasa sangat tersiksa. Namun, ayahnya tidak memberikan hak kepadanya untuk menekuni kesenangannya. Ayah Woo Jin hanya peduli dengan bisnis keluarganya tanpa pernah tahu bagaimana perasaan anaknya yang sebenarnya.

Sedangkan Sim Deok memiliki keluarga yang terlalu bergantung kepada dirinya. Ayah dan ibu Sim Deok tidak bekerja, sehingga menggantungkan nasibnya kepada anak pertamanya. Beban Sim Deok semakin berat ketika harus menyekolahkan kedua adiknya keluar negeri. Sim Deok terus mendapat tekanan dari orang tuanya untuk mencukupi kebutuhan hidup seluruh keluarganya.

Disadari atau tidak, kedua keluarga ini memiliki toxic relationship yang tentu saja hanya menekan satu pihak, yang tidak lain adalah anak mereka sendiri. Memang harus diakui bahwa kehidupan pada masa penjajahan Jepang sudah cukup sulit, apalagi jika ditambah untuk memberi perhatian yang lebih kepada anak—mungkin itu adalah hal yang berat bagi para orang tua.

Namun, hal ini selayaknya menjadi pelajaran bagi para orang tua di masa kini untuk lebih memperhatikan apa yang diinginkan oleh anaknya. Jangan sampai para orang tua memaksakan kehendaknya hingga akhirnya anak menjadi terkekang dan depresi.

Pasangan Kekasih yang Sefrekuensi

Sumber: Pinterest.comKim Woo Jin dan Yun Sim Deok adalah dua orang yang berkecimpung di dunia seni. Maka tidak heran jika keduanya dapat sangat terhubung ketika berinteraksi. Sim Deok juga memahami dunia sastra, sehingga ketika Woo Jin membaca suatu karya sastra, maka Sim Deok bisa langsung tahu siapa penulisnya dan pesan apa yang terkandung di dalam karya tersebut.

Woo Jin juga sangat mendukung karir Sim Deok sebagai penyanyi soprano. Ia yakin bahwa Sim Deok dapat menjadi penyanyi sukses dan terkenal—meskipun bukan itu poinnya. Bagi Woo Jin, Sim Deok adalah seseorang yang berani bermimpi besar dan mampu mewujudkan mimpinya. Itulah mengapa Woo Jin selalu menguatkan Sim Deok ketika ia mulai lelah dengan mimpi-mimpinya.

Begitu juga Sim Deok yang selalu mendukung Woo Jin untuk terus menulis. Sim Deok sangat menyukai tulisan Woo Jin karena di dalamnya memuat semangat untuk berjuang menentang penjajahan. Melalui kegiatan menulis, Woo Jin menyuarakan perlawanan dan segala keresahannya tentang berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu.

Dari Woo Jin dan Sim Deok, aku belajar bahwa memilih pasangan yang sefrekuensi itu sangat berharga. Jiks pasangan kita memiliki minat atau kesenangan yang sama, maka kita dapat lebih mampu untuk saling mengerti dan memahami.

Bukan hanya itu, memiliki pasangan yang searah dengan kita juga dapat memberikan semangat tersendiri dalam menekuni aktivitas tersebut. Seperti halnya saat Woo Jin berhenti menulis selama lima tahun untuk menjalankan bisnis keluarganya, Sim Deok kembali memberikan semangat kepada Woo Jin dan berkata:

“Woo Jin, ambil pulpenmu. Aku suka dengan tulisanmu.”

Bayangkan jika pasangan kita adalah seseorang yang sangat memahami isi dunia kita. Maka, sudah pasti kita tidak akan merasa kesepian karena orang yang kita cintai mampu memahami apa yang kita sukai. Dari ucapan Sim Deok tersebut, akhirnya semangat Woo Jin untuk menulis kembali tumbuh dan ia mendapatkan lagi jati dirinya yang sebelumnya telah hilang.

Memilih Mati untuk Mendapatkan Hidup

Saat Woo Jin dan Sim Deok duduk bercengkrama di tepi danau, mereka saling bercerita tentang kehidupan keluarganya yang begitu rumit. Sebelumnya, keduanya memutuskan untuk kabur bersama ke Jepang dan meninggalkan keluarganya. Akan tetapi, keduanya sama-sama dilanda kebingungan dan putus asa.

Sim Deok bingung, jika ia tetap bersama Woo Jin, maka keluarganya akan mati kelaparan. Bukan hanya itu, Ia juga merasa cukup malu karena dianggap sebagai wanita nakal dan memperoleh pelecehan dari pemerintah Jepang.

Woo Jin juga merasa bimbang karena harus kembali untuk meneruskan bisnis ayahnya. Jika ia tetap memutuskan tinggal dengan Sim Deok, maka ayahnya akan sakit-sakitan. Namun, jika ia memutuskan untuk kembali ke rumah, maka ia tidak akan pernah bisa menulis lagi. Lebih parahnya lagi, ia tidak akan pernah bisa lagi bertemu dengan Sim Deok.

Keduanya sama-sama dilema dengan jalan hidup yang begitu rumit. Keduanya juga merasa lelah dengan kehidupan yang begitu sangat mencekik dan seakan menghentikan napas.

Saat bercerita tentang keluh kesahnya, Sim Deok teringat dengan seorang penulis bernama Takeo Arishima yang mati bunuh diri. Ia berkata,

Kini, aku memahami mengapa ia membuat pilihan seperti itu. Kau tahu, dia pasti ingin beristirahat di suatu tempat di mana ia tidak perlu lagi berusaha keras dan di mana tidak ada lagi perpisahan. Dia pasti ingin damai. Aku… ingin beristirahat sekarang. Aku sungguh lelah sekarang.”

Lalu, Woo Jin menjawab,

Dulu, aku berpikir bahwa dia lari dari kehidupan. Tapi aku tidak lagi berpikir demikian. Dia membuat pilihan itu untuk hidup. Agar tidak kehilangan kepercayaan dirinya, dia memutuskan untuk mati. Untuk yang pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin menjalani hidupku seperti diriku yang sebenarnya. Meski hidup berarti kematian.”

Dari percakapan mereka, aku tidak lagi berpikir bahwa orang yang bunuh diri adalah orang yang mati konyol. Ya, dulu aku berpikir demikian—dan aku yakin aku tidak sendirian. Di Negara kita, orang yang bunuh diri dinilai sebagai orang yang memiliki hati yang kecil—atau juga memiliki pikiran yang bodoh. Mereka dianggap sebagai orang yang bosan untuk hidup, padahal rasa nasi masih enak. begitulah kata orang-orang ketika membicarakan orang yang mati bunuh diri.

Padahal, kita tidak pernah tahu sebesar apa masalah yang mereka hadapi dan seberapa dalam gejolak perasaan yang mereka rasakan. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dalam hidup mereka hingga memilih untuk mengakhiri hidup.

Dan kupikir, mereka yang mati bunuh diri bukan orang yang bodoh. Setelah melakukan riset kecil-kecilan, aku menemukan fakta bahwa kebanyakan orang yang mati bunuh diri adalah mereka yang bergelut di bidang seni, baik itu penyanyi, aktris/aktor, penulis, dan lain-lain.

Ya, para seniman memang rentan mengalami depresi dan tekanan batin akibat berbagai faktor, mulai dari lingkungan internal hingga eksternal. Kebanyakan dari mereka yang bunuh diri adalah orang yang idealis dan mendambakan kebebasan. Meskipun setiap kasus bunuh diri di dunia ini tidak dapat disamaratakan, akan tetapi kita dapat mengambil sikap dan pemikiran dari fenomena tersebut.

Kita dapat belajar dari sudut pandang Woo Jin dan Sim Deok, bahwa mereka yang bunuh diri adalah orang-orang yang tidak ingin kehilangan jati diri maupun kepercayaan dirinya. Mereka dengan gagah memilih untuk mengampiri kematian untuk tetap menjaga “hidup” versi mereka.

Aku berkata demikian, bukan berarti aku membenarkan dan mendukung upaya bunuh diri. Aku hanya mencoba untuk berada di sudut pandang Woo Jin dan Sim Deok, bahwa mereka memilih mati untuk tetap “hidup”. Namun, aku berharap di luar sana tidak akan ada lagi orang yang meregang nyawa atas kemauannya sendiri. Aku berharap setiap orang dapat menyelesaikan masalahnya tanpa harus mengakhiri hidupnya. Melawan arus untuk tetap hidup.

(DLA)