Akhir-akhir ini elite politik sibuk mempersiapkan konstelasi pilpres dengan cara melobi aktor-aktor potensial. Ada yang sejak dini sudah mendeklarasikan diri sebagai capres, cawapres, king maker, bahkan secara terang-terang bisa mengalahkan petahana. Semua itu dilakukan untuk berebut kuasa pada pilpres mendatang.
Bagi orang-orang yang paham tentang perpolitikan, hal ini sungguh seru. Mereka bisa mengikuti perkembangan politik yang terjadi setiap saat seraya melakukan berbagai analisa kecil-kecilan untuk kemudian di-upload dan bikin sesak media sosial.
Kalau analisisnya kokoh, tak mengapa. Akan menjadi masalah jika mereka asal bicara, asal nulis, asal klaim ini itu. Sialnya, banyak orang yang termasuk golongan terakhir, dan banyak yang ikut terprovokasi yang membuat media sosial makin riuh.
Mungkin bagi Anda cerita tadi menggelikan. Tapi percayalah, orang-orang semacam itu akan terus berlipat ganda hingga menjelang pilpres mendatang dan mereka adalah golongan orang-orang yang merugi.
***
Saya sebenarnya mengapresiasi banyaknya tokoh-tokoh nasional yang ikut meramaikan bursa calon presiden. Tentu akan membuat banyak pilihan bagi kita sebagai pemilih. Tapi situasi ini mengingatkan saya akan kesulitan hidup yang dialami teman saya yang tinggal di Sabu Raijua, NTT.
Begini, tempo hari teman saya, seorang warga Sabu Raijua, NTT, menulis sebuah status di akun WhatsApp miliknya. Kira-kira isi statusnya begini:
“Bagi teman-teman pung (punya) sodara pejabat, tolong sampaikan ke dong (mereka) bahwa katong (kita) di sini butuh bensin. Sudah seminggu bensin langka di sini.”
Dia mengunggah tentang keluhannya sebelum pengumuman kenaikan harga pertamax.
Saya mengira dia lebay. Sebab lelaki satu ini memang tipikal manusia yang doyan berkelakar dalam hal apa pun, terkadang sampai tahap menjengkelkan. Namun, hingga saat ini, teman-teman saya di Sabu Raijua ikut mengeluhkan hal yang sama. Apa yang mereka sampaikan itu sebenarnya tidak membuat saya heran, karena saya pernah menetap di Sabu Raijua selama satu tahun.
Publik akan selalu gaduh bahkan mengamuk tatkala tiap jenis minyak alami kenaikan harga, namun tidak bila sebaliknya. Untuk urusan ini tentu saya tidak akan membahas secara detail.
Jubelan tulisan bertema kenaikan BBM telah berserak di mana-mana. Tapi keluhan endemik orang Sabu Raijua soal kelangkaan bensin begitu senyap, jarang terungkap. Saban tahun mereka harus merasakan fase-fase krusial untuk mendapatkan pasokan bensin. Kelangkaan tidak cukup satu atau dua hari. Tidak juga hitungan minggu. Paling cepat satu bulan pasokan bensin kembali normal.
Mungkin di antara kita banyak yang belum tahu di mana letak Sabu Raijua. Maklum, bila dilihat dari Google, kita harus memicingkan mata karena ukuran pulau Sabu Raijua sangat mungil bahkan samar. Sabu Raijua adalah wilayah kepulauan yang terletak di tenggara Indonesia, diapit oleh pulau Sumba dan Rote (pulau terselatan Indonesia). Dari segi pembangunan, Sabu Raijua jauh tertinggal dibanding dua pulau sohor tersebut.
Kepedihan orang Sabu semakin bertambah ketika melihat Pak Jokowi kerap mengunjungi Sumba dan Rote untuk meninjau program pembangunan atau sekadar membagikan sepeda kepada anak-anak.
Sependek pengetahuan saya, beliau belum pernah mampir ke Sabu Raijua. Rasanya sedih. Tapi orang Sabu sadar, datang atau tidaknya presiden ke tempat mereka tidak akan berdampak banyak. Karena saya senantiasa mendengar curhatan orang Sabu tentang ketimpangan pembangunan di sana, ditambah mahalnya kebutuhan pokok, selain sulitanya pasokan BBM. Itu sebabnya, mereka sesekali berguyon ingin bergabung dengan Australia.
***
Kembali ke persoalan bensin. Kebijakan BBM satu harga di seluruh Indonesia sebagaimana kerap digencarkan Tuan Presiden nyatanya baru sebatas mimpi. Sungguh saya tidak bercanda!
Untuk memastikan hal ini kamu tidak perlu jauh-jauh ke Papua atau Maluku. Kamu cukup tanyakan kepada para Pengajar Muda dari Indonesia Mengajar yang pernah dan sedang mengabdi di tepian negeri. Sebab mereka menetap selama satu tahun hidup di pelosok menjadi guru SD sekaligus menyaksikan realitas lain di republik ini.
Itulah yang saya alami saat bertugas di Sabu Raijua satu tahun terakhir. Harga BBM di kabupaten yang dijuluki “Pulau Sejuta Lontar” sangat berbeda dengan aturan pemerintah pusat.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya, Sabu Raijua belum bisa mandiri. Kebutuhan pangan maupun logistik masih dipasok dari Flores, Makasar, Sumba atau Kupang. Sementara BBM dipasok dari Kupang, yang berjarak 115 mil. Kalau cuaca buruk, kapal-kapal tak boleh berlayar. Suplai minyak ke Sabu Raijua ikut tersendat sementara kebutuhan akan BBM tak bisa tersendat. Inilah yang membuat kelangkaan.
Di Sabu Raijua, bensin dijual secara eceran seharga 15.000 rupiah dalam kemasan botol mineral ukuran 1,5 liter sedangkan pertamax dibanderol 25.000 rupiah dalam kemasan sama. Ini harga normal dari agen resmi. Saya pernah lakukan riset kecil-kecilan tentang ini. Rupanya logikanya begini, ketersediaan BBM di Sabu Raijua dikontrol dengan harga. Kalau bensin dijual sesuai harga aslinya maka orang-orang akan memborong sebanyak-banyaknya. Bila bensin dijual agak mahal, orang-orang akan digiring untuk tidak membeli banyak. Sebuah strategi agar stok BBM tidak segera habis. Tapi percuma. Strategi ini rentan memunculkan taipan minyak yang licik.
Celakanya, setiap awal tahun dan pertengahan tahun seperti ini akan terjadi siklus pergantian angin musim. Bikin kondisi cuaca tak menentu, stok BBM kian menipis dan para taipan lokal mengeruk keuntungan berlipat.
***
Sampai di sini, muncul pertanyaan pentingnya: kenapa dijual eceran, apakah tidak ada SPBU? SPBU di Sabu Raijua hanya ada satu, itu pun belum beroperasi. Saya tidak terlalu mengerti mengapa pom bensin tersebut belum beroperasi padahal bangunannya sudah selesai sejak akhir tahun lalu. Jadi sampai sekarang, BBM dikendalikan melalui agen-agen resmi dan juragan minyak.
Walaupun namanya agen resmi namun harga bensin yang dijual tidaklah seresmi di Jakarta, sebagaimana yang telah saya jelaskan pada paragraf sebelumnya. Saya iseng-iseng bertanya kepada teman di sana.
Di pulau Sabu, memasuki bulan-bulan seperti ini di mana cuaca sedang memburuk membuat stok BBM makin menipis. Dan harga bensin ikut meroket. Para taipan lokal menentukan harga pasar. Mereka menjual bensin bisa mencapai dua bahkan tiga kali lipat dari harga pasaran. Premium saja bisa mencapai 40.000 rupiah per botol ukuran 1,5 liter, sementara harga pertamax bisa mencapai 50.000 rupiah. Dan kamu tahu berapa harga bensin di pulau Raijua? Di sana bensin mencapai 80.000 rupiah.
Ada hal lain yang cukup mengejutkan. Banyak taipan lokal bekerja cukup licik. Jauh-jauh hari mereka sudah menimbun BBM. Seringkali saya melihat mereka secara senyap kongkalikong dengan oknum kapal untuk mendapatkan stok BBM. Taipan mendekati orang-orang pekerja kapal yang minim pengawasan, seperti di kapal perintis, kapal barang dan sesekali kapal tanker.
Modusnya begini, setiap kali kapal hendak berlayar pasti memerlukan bahan bakar, berapa banyak yang dibutuhkan dalam setiap trip. Biasanya orang kapal akan meminta lebih dari takaran. Kelebihan takaran ini disimpan dalam drum-drum besar dan akan ditukar dengan tumpukan uang dari para taipan culas.
Juragan-juragan minyak culas juga memberikan upeti ke penguasa pelabuhan hingga ke para amtenar daera. Agar aksinya aman.
Tetapi saya tidak melihat keberadaan taipan lokal secara hitam putih. Tidak sedikit taipan yang taat aturan. Mereka punya andil sebagai juragan minyak untuk menjual bensin kepada penjual eceran, yang kemudian akan mendistribusikan minyak hingga ke pojok dusun.
Taipan minyak punya fungsi ekonomi, sosial dan pemerataan bagi warga yang butuh bensin. Mereka bergerak dengan logika-logika ekonomi yang sederhana, tidak muluk-muluk seperti Pertamina. Coba sesekali tengok di daerah pedalaman, apakah ada SPBU atau pertamini?
Teman saya saja yang tinggal di dusun Mukti Karya, Kabupaten Musi Rawas, kalau mau beli bensin di pertamini harus naik sepeda motor sekitar dua jam! Itu pun harganya tidak satu harga.
Pengalaman lain ketika saya ke pulau Sumba. Pom bensin memang ada. Hampir di setiap kabupaten di Sumba terdapat satu atau dua SPBU. BBM dijual telah satu harga, seharga dengan di Jakarta. Tapi ya itu. Kalau kamu ingin mendapatkannya harus mengantri sekitar satu jam, atau sejak subuh. Kalau kamu tak mau repot, kamu bisa membeli bensin seharga lima belas ribu per botol dari para penjual bensin eceran yang membuka lapaknya tepat di beranda SPBU.
***
Hiruk pikuk pencapresan adalah sesuatu yang normal. Tapi saya belum mengetahui apa visi para capres tentang keberpihakan mereka terhadap peliknya persoalan BBM satu harga. Karena bagi orang Sabu dan terlebih mereka yang berada di pelosok negeri, BBM satu harga hanyalah sebatas pepesan kosong, belum menjadi kenyataan.
Mungkin yang dimaksud dengan satu harga itu adalah harga saat di SPBU. Apakah Anda sepakat dengan pendapat saya ini? Kalau tidak, tak mengapa. Namanya juga pendapat.