Hujan gerimis di pagi hari awal bulan Maret bikin saya ingin membuat sarapan yang simpel dan hangat. Baru ingat, kalau saya masih punya stok ubi ungu satu kilo di dapur, jadi saya langsung mencuci, memotong-motong dan mengukusnya.
Asap mengepul dari rekahan warna ubi yang eksotik ini. Ungu gelap kehitaman tetapi cantik. Wangi. Rasanya legit, lebih legit daripada ubi kuning atau ubi putih, pas untuk sarapan pagi ini menemani kopi kesukaan. Saya berpikir-pikir, bagaimana ya kalau ubi ini dibuat kolak, apakah santannya akan menjadi keunguan pula?
Sontak, saya teringat pada halo-halo, es campur khas Pilipina, yang pertama kali saya cicipi di Davao City, Pilipina. Mumpung ada waktu luang sebelum meeting berikutnya, saya ingin menikmati sesuatu yang khas Pilipina. Makanan hotel selalu standar, maka pilihan jatuh ke sebuah resto fast food di dekat Universitas Ateneo Davao yang menawarkan es campur halo-halo yang fotonya menggoda.
Es campur sejatinya selalu ramai. Berbagai buah dan manisan ikut campur di dalam sebuah mangkok. Nangka matang, sagu mutiara, kolang kaling, agar-agar dan sebagainya. Halo-halo Pilipina pun demikian.
Di dalam mangkok halo-halo yang saya pesan terdapat tujuh macam buah dan manisan mengelilingi sebuah scoop es krim berwarna ungu. Iya, ungu. Bukan coklat, putih atau pink sebagaimana yang biasa saya jumpai di Jakarta.
Di sekeliling es krim ungu tersebut ada irisan pisang, nangka, kacang merah, agar-agar berwarna hijau dan merah (gulaman), sagu mutiara, ube tumbuk dan kolang-kaling. Wow, meriah sekali warna es campur ini. Merah, hijau, kuning, coklat, putih dan ungu!
Yang luar biasa tentu saja rasanya. Ubi ungu dan es krim tak pernah terpikir oleh saya sebelumnya bisa menjadi makanan penutup yang lezat di lidah. Rasa manis susu condensed berpadu sempurna dengan macam-macam manisan dan buah-buahan ini termasuk ube tumbuk yang legit. The Filipinos know how to spoil themselves!
Teman Pilipina saya menjelaskan, bahwa ungu es krim tersebut bukan semata dari esens berwarna ungu, tetapi dari pasta ubi ungu atau ube halayang. Ube halayang dibuat dari ubi ungu rebus dan ditumbuk, kemudian dimasak dengan susu hingga kental. Ube halayang dijadikan bahan olesan roti seperti margarin atau selai, dan menjadi bahan utama dalam membuat kue bolu, tart atau es krim.
Ternyata ubi ungu atau ube merupakan warisan sejarah kuliner Pilipina sejak ratusan tahun yang lampau, meskipun tumbuh di berbagai negara di Asia termasuk Pilipina dan Indonesia. Begitu populernya ube di Pilipina, dapat dilihat dari beragam kuliner Pilipina yang mengandung ube, utamanya snack, deserts atau makanan penutup.
Karena bertetangga, banyak jenis makanan Pilipina dan Indonesia yang sama bahan dan cara pengolahannya. Yang menarik, masyarakat Pilipina memvariasikan makanan-makanan itu dengan memasukkan ube saat mengolah makanan-makanan tersebut.
Dalam makanan sehari-hari ube dicampur dalam champorado misalnya, bubur ketan berwarna coklat yang merupakan sarapan favorit orang Pilipina. Di Indonesia atau di Jawa, kita mengenal champorado sebagai salah satu dari bubur merah putih. Champorado adalah bubur merahnya saja. Biasa dibuat dari ketan atau beras ditambahi gula merah atau aren. Ketika gula aren tersebut diganti dengan ube condensed milk dan sedikit ube rebus, maka bubur champorado itupun warnanya menjadi ungu terang dan tentu saja lebih legit.
Sapin-sapin adalah kue semacam kue talam, terbuat dari ketan dan santan biasanya terdiri dari 3 lapisan. Bagian bawah berwarna kuning dan rasa nangka, bagian tengah berwarna putih dan rasa santan, bagian atas berwarna ungu dan rasa ubi ungu. Variasi warna yang sungguh menggugah mata, juga menggugah selera karena ada 3 rasa dalam setiap gigitan kue tersebut.
Karena pengaruh keberadaan Spanyol ratusan tahun di Pilipina kemudian Amerika Serikat, kuliner Pilipina banyak memiliki varian roti, bolu dan tart. Ube kemudian diolah menjadi donat, pancake, cheese cake, milkshakes, atau macapuno (kelapa kopyor) sponge cake hingga hopia, semacam bakpia.
Di Manila ada food city tour yang salah satu destinasinya adalah toko Eng Bee Tin yang menjual hopia ubi ungu paling enak dan terkenal di daerah Binondo, kawasan Chinese town Manila.
Di luar Pilipina, ube diolah menjadi berbagai macam kue teman minum kopi seperti ube coffe cake di California, macaron di Australia dan di Cina dibuat kue lapis kukus atau semacam kue pepe kalau di Jakarta.
Saya termasuk orang yang ketinggalan berita, karena teman-teman saya di Jakarta ternyata sudah terlebih dahulu mencicipi es campur halo-halo di restoran fast food franchise Pilipina, Jollibee, di tahun 90an yang kemudian tutup.
Kepopuleran dan tradisi ube membuat ube banyak diekspor ke berbagai negara, khususnya ke negara-negara di mana banyak orang Pilipina bekerja dan tinggal. Maklum, banyak penduduk Pilipina tinggal, kuliah dan bekerja di manca negara. Ube halayang banyak diekspor dalam bentuk pasta dan condensed milk. Ube mentah sendiri kebanyakan diekspor dalam bentuk frozen atau beku.
Di Indonesia, ubi ungu kurang populer dibandingkan ubi kuning atau ubi putih. Padahal rasanya lembut dan lebih legit daripada ubi kuning dan putih. Setahu saya, di Indonesia olahan bolu dari ubi ungu yang terkenal adalah bolu dari Bogor atau dibuat keripik. Selain itu, kebanyakan hanya untuk dikukus saja, seperti yang saya lakukan.
Ubi ungu harganya murah, Rp 8 ribu di pasar Pesing Kedoya. Harga yang cukup terjangkau dan tidak berbeda jauh dengan ubi kuning dan putih. Di pasar lain bisa lebih murah lagi, apalagi di daerah penghasil ubi ungu seperti Bogor dan Cipanas. Rasanya legit dan lembut, cocok untuk dipadu padankan dengan bahan makanan pembuat kue lainnya. Bisa menjadi pilihan pengganti sebagian tepung terigu, selain tape singkong, pisang atau kentang.
Mungkinkah ada kelompok kuliner di Indonesia yang mau menginisiasi ubi ungu sebagai pangan alternatif di Indonesia atau malah ubi ungu bisa naik kelas seperti di Pilipina?