Setiap kita memiliki banyak sekali keinginan. Mulai dari yang sederhana hingga yang terlihat sulit dicapai. Kendati demikian tak sedikit dari kita yang tak mau bahkan tak berani mewujudkannya. Lebih parahnya, kita malah mengerjakan sesuatu yang sama sekali tak pernah ingin kita kerjakan.

Namun, apa jadinya jika setiap manusia diberikan satu keinginan yang pasti terwujud?

***

Gorengan hangat mengimbangi dingin malam, di sampingnya kopi susu mengepul disajikan di hadapanku oleh ibu penjaga warung sambil tersenyum, “monggo, Mas”. Kutengok jam, pukul 01.33 dini hari.

Setelah sesapan pertama kopiku baru kusadari bahwa ini adalah hari yang telah kurencanakan untuk melakukan salah satu keinginanku, mewujudkannya. Dan hari sudah berganti tapi diri ini sama sekali belum melakukan apa pun.

Tak ada yang pernah benar-benar memastikan apa yang bakal terjadi esok. Meski dengan persiapan sematang apa pun, kemungkinan melenceng dari rencana tetap ada.

Selayaknya manusia, hanya doa dan usaha. Kemungkinan tak berhasil selalu ada. Sebab kita tak bisa memastikannya, maka hanya bisa memperkecil kemungkinan kegagalan itu dengan rencana yang sematang dan sedetail mungkin. Kendati demikian, kita tetap tak bisa memastikan keberhasilan rencana kita.

Saya adalah orang yang meledak-ledak saat mempunyai suatu keinginan. Tak sedikit keinginan yang saya rasa sulit saya dapat, bahkan beberapa sangat jauh dalam hidup saya untuk sampai di fase itu. Tapi itulah keinginan. Kita selalu menginginkan sesuatu yang jauh dan sulit kita dapat. Semakin mustahil maka semakin bernafsu mendapatkannya. Dan itulah tantangannya, bukan sesulit apa atau semustahil apa keinginan kita, melainkan bagaimana kita mewujudkannya.

Saya pernah berangan dengan seorang perempuan yang waktu itu masih ada ikatan rasa (baca: mantan) untuk mempunyai perpustakaan kecil di rumah. Berharap di beberapa waktu senggang kita habiskan dengan membaca.

Saya juga pernah berangan memiliki warung kopi dengan nama dan konsep yang terlalu matang saya pikirkan. Saya ingin jadikan warung kopi sederhana, dengan beberapa mural di sudut dinding warung. 

Salah satu mural didominasi warna hijau bergambar daun-daun yang padat. Mural lain bertajuk “Urip (ojo) Mung Mampir Ngombe” dengan gambar orang bersantai sambil mengerjakan banyak hal, di bawahnya tertulis “urip mung mampir ngombe, mangan, ngopi, kerjo, nyenengi dekne, rabi, ngaji,  mujudno cita-cita, dan lain-lain, dan lain-lain. Ojo mung mamper ngombe tok, mundak keselek.” Dan di satu sisi dinding yang lebih luas akan saya biarkan polos tanpa cat hanya dengan tulisan “Warung Kopi Sekar” dan mengikuti di bawahnya : warung sederhana sebagaimana kebanyakan warung yang menyediakan kopi, tempat nyaman, teman dan cerita bagi kesedihan, kebahagiaan, juga sambatan.

Kenapa namanya Warung Sekar? Sebab ada romantisme historis pada wanita di masa lalu. Anjay!

Masih banyak angan lainnya yang terlampau tinggi melambung. Ingin mengadakan acara pengajian tiap beberapa bulan sekali di RT. Mempunyai ternakj lele. Memiliki beberapa ribu ayam petelur. Memiliki beberapa konter pulsa. Memiliki toko buku. 

Membuat buku dan membagikannya gratis pada dulur-dulur di Paciran. Membuat acara dan pementasan berdasarkan buku tersebut. Menikah di umur 25, dan kini umur saya sudah 23 dan finansial masih jauh dari kata freedom. Namun ada pendapat “yang utama dalam pernikahan buka harta namun cinta” heiii anda yang memegang pendapat itu, jangankan cinta, pacar saja saya tak punya.

Juga kuliah di tahun ini, atau mungkin tahun depan. Ini sebenarnya angan yang terlalu ndakik-ndakik di antara angan-angan yang lain, kendati demikian saya masih terlalu pesimis angan ini bisa terwujud.

Karena begitulah, saya memang meledak-ledak dalam berharap tapi tidak demikian dalam mewujudkannya. Kenapa demikian? Barangkali karena berharap tak perlu banyak tenaga jika dibandingkan dengan mewujudkannya. Jauh, sangat jauh. 

Atau mungkin juga mengutip seseorang (aduh saya lupa siapa orangnya) yang berpendapat bahwa sebenarnya saya tidak sungguh-sungguh menginginkan sesuatu tersebut, karena jika benar-benar menginginkan sesuatu tersebut maka kita akan suguh-sungguh dalam mewujudkannya.

Setiap rencana selalu ada kemungkinan kegagalan. Setiap pilihan yang diambil selalu ada risiko, kita hanya bisa memilih, risiko mana yang mau kita tanggung.

Kemudian, jika kegagalan itu dirasakan biasanya seseorang akan melakukan improvisasi, bisa dengan mengambil langkah agar rencana yang telah disusun tak bertambah melenceng, atau melakukan suatu pelampiasan untuk menggantikan keinginan yang tak sesuai tadi.

Dan yakinlah, Saudara, tulisan ini bukan untuk bercerita, memberi masukan atau bahkan menasihati, ini murni pelampiasan saya terhadap satu angan yang sudah direncanakan namun gagal. Kegagalan memang tak membawa kita pada hasil yang diinginkan, namun kegagalan membawa kita pada hasil yang pantas bagi kita.

Jika ada pepatah mengatakan: kegagalan adalah guru terbaik, kegagalan akan memberikan kita pelajaran berharga. Aku lantang membantahnya: aku tak ingin pelajaran, aku mau apa yang kuinginkan terwujud, setelah itu aku akan belajar sendiri dengan tenang tanpa digurui oleh kegagalan.

Tapi begitulah manusia, terkadang hanya berpendapat dengan keras. Tak sekeras saat melakukan hal yang ingin diwujudkan. Itu sebabnya kita terlalu banyak mempunyai keinginan yang tak jadi apa-apa. Keinginan yang hanya berakhir menjadi sekadar keinginan belaka, tak lebih dari itu.