Menurut Reza A.A Wattimena (2012:12), yang juga perlu ditegaskan adalah bahwa korupsi bukan hanya soal hukum, tetapi lebih dalam dari itu, yakni soal kultur. 

Jika urusan korupsi hanya diserahkan pada para penegak hukum, maka di negara-negara yang memiliki kultur korupsi kuat, orang-orang yang kaya dan berkuasa tidak akan pernah dituntut secara hukum, apalagi dihukum. Juga jika korupsi hanya dilihat sebagai soal hukum, maka pasal-pasal yang multitafsir dapat digunakan oleh para koruptor untuk melakukan korupsi.

Di Indonesia, pasal-pasal yang multitafsir dan bertentangan satu sama lain amatlah banyak. Dua hal ini akan membuat pemberantasan korupsi menjadi semakin sulit dan kultur korupsi akan semakin kuat. Maka kita tidak boleh secara sempit melihat korupsi semata sebagai masalah hukum saja.

Tidak hanya masyarakat, para elite partai politik pun tidak mau berdiam diri untuk tidak ikut andil dalam memberantas para koruptor, meskipun pelakunya tetap dari kalangan mereka. 

Secara definisi, partai politik merupakan kendaraan bagi rakyat, berguna untuk menyuarakan hak masyarakatnya dan juga mengontrol kebijakan publik. Oleh karena tugas yang berat ini, maka pembenahan moral anti-korupsi wajib ada untuk seluruh pengurus, kader, dan simpatisan partai politik, bukan hanya suara lantang yang didengungkan.

Akhir-akhir ini, partai politik terlalu pragmatis dalam menentukan sikapnya. Dalam tradisi filsafat, pragmatisme dipahami sebagai pemikiran yang menolak gagasan bahwa pikiran manusia dapat menjelaskan, merepresentasikan, atau memotret realitas secara objektif dan apa adanya. Kaum pragmatisme justru berpendapat bahwa pikiran tidak lebih sebagai instrumen untuk memprediksi, bertindak, dan memecahkan masalah; pemahaman atas realitas atau fenomena hanya bisa dibenarkan jika menghasilkan sesuatu yang bermanfaat (utility).

Menurut Yeremias Jena dalam artikelnya di Kompasiana (2014), pragmatisme mengandung dua konsekuensi penting. Pertama, penolakan terhadap objektivitas realitas. Meminjam pemikiran Immanuel Kant, realitas pada dirinya (das ding an sich) tidak bisa diketahui. 

Seseorang hanya bisa mengetahui realitas melalui kacamata yang dipakainya. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa individu memiliki otonomi yang besar dalam mengontruksi dan memahami setiap fenomena yang dia hadapi. 

Kedua, realitas direduksikan kepada dimensi praktikalitas, manfaat, dan keuntungan yang dapat diperoleh seseorang. Itu artinya kacamata yang digunakan untuk memahami realitas tidak lain adalah kacamata manfaat atau kegunaan, terutama untuk kepentingan diri sendiri. 

Semangat anti-korupsi dalam esai ini sengaja menampilkan filsuf kenamaan, yaitu Friedrich Nietzsche. Menurut Peter Levine (2012:258), Nietzsche mengungkapkan Kembalinya yang Abadi dan Kehendak untuk Kuasa sebagai pengganti bagi metafisika tradisional dan doktrin-doktrin religius, tetapi tanpa memercayainya untuk dirinya sendiri. 

Dengan konsep ini, ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekadar insting-insting alamiahnya (natural insting) yang mirip dengan hewan maupun mahluk hidup lainnya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru. 

Karena dikelilingi oleh kehendak untuk berkuasa, manusia pun terdorong untuk mencipta dunia. Tindak mencipta dianggap sebagai dorongan alamiah dan bahkan kebutuhan eksistensial manusia. Dalam arti ini, manusia bukanlah subjek seutuhnya, karena ia merupakan bentuk konkret saja dari kehendak untuk berkuasa.

Saya sepakat dengan Nietzsche. kekuasaan bukan untuk diingkari, melainkan untuk diraih, dirayakan, dan digunakan untuk mencipta, bukan untuk bertindak korup. Catatan saya bukanlah bentuk ketidaksetujuan, melainkan sekadar pemikiran untuk mengekspresikan kehendak untuk berkuasa secara kontekstual.

Yang pertama tentu kita harus mengakui bahwa diri kita merindukan kekuasaan dalam segala bentuknya. Yang kedua, fakta alamiah ini kita tafsirkan dan pahami dengan kerangka berpikir Humanisti Kantian yang menjadikan manusia sebagai tujuan dari segala sesuatu. Yang ketiga, kehendak untuk berkuasa, setelah ditafsirkan secara humanistik, harus diterapkan secara indah.

Artinya, penerapan kehendak untuk berkuasa di dalam kehidupan harus memiliki aspek estetik yang tepat dan mendalam. Keindahan ini mencakup mulai desain penerapan kekuasaan (termasuk rencana, tata kelola, evaluasi, danciri fisik), sampai dengan fungsi kontrol yang sudah ada di dalam kekuasaan itu sendiri.

Keinginan untuk memperkaya diri adalah hal yang manusiawi. Hal yang wajar jika sekarang kekayaan dapat mengubah seseorang. Yang awalnya tidak dihormati karena dia kaya, maka pasti banyak orang yang segan terhadapnya. Kehendak untuk berkuasa tersebut sejatinya selalu ada dalam jiwa manusia, tergantung manusianya dimanfaatkan sebaik-baiknya atau malah dibuang sia-sia dengan keputusan mendekam di penjara.

Melalui pemikiran Nietzsche ini, pengurus, kader, dan simpatisan partai politik perlu menerapkan dan mengamalkan ketika menjalankan tugasnya. Sehingga perubahan tersebut setidaknya bisa mengurangi pesimistis masyarakat untuk partai politik yang semakin pragmatis ini. Bisa dibilang, partai politik perlu berkaca melalui filsafat untuk para kadernya, terutama pemikiran Friedrich Nietzsche. 

Tampaknya Presiden Joko Widodo menyuarakan semangat anti-korupsi dengan melibatkan masyarakat secara langsung. Dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018, kini pelapor kasus korupsi dan suap bisa mendapat hadiah hingga Rp200 juta. 

PP itu mengatur tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. PP tersebut diteken oleh Presiden Jokowi pada 18 September 2018.