Sudah terlalu sering kubu oposisi kita bicara "apa", namun lupa bahas "bagaimana"-nya. Maksud hati ingin tampil kritis, tetapi yang mencolok malah argumen yang keropos. Mereka umbar masalah di depan publik, sodorkan akan buat ini dan itu, tetapi sama sekali tak memberi bagaimana cara-cara mencapainya. Menyedihkan.
Kalau kemudian dikritik karena memang banyak celahnya, mereka lalu menyerang balik. Jika bukan pakai ujaran kebencian di media sosial, ya sebar isu hoaks yang dirasa paling efektif. Kemarin operasi plastik, misalnya, entah besok operasi apa lagi yang akan mereka jadikan senjata melawan petahana.
Menjadi tak salah jika kita sebut kegemaran oposisi adalah mengumbar masalah tanpa solusi. Ambil satu contoh, misalnya, aspek ekonomi. Di berbagai media massa, isu ini selalu dimainkan. Mereka bilang kalau pertumbuhan ekonomi kita sangat memburuk. Mereka lalu tawarkan swasembada, “Ayo, bapak-ibu, kita bikin swasembada.” Kadang pula bilang begini, “Ibu-bapak, kita buat harga lebih murah.”
Tawarannya memang ajik. Tetapi, kan, masih sebatas bicara “apa”? Sementara “bagaimana”-nya, sampai saat ini, belum pernah terjelaskan secara baik.
Khawatir saya, kalau oposisi terus-terusan bicara “apa” tanpa menyertakan “bagaimana”, umbar masalah tanpa solusi, maka pada akhirnya swing voters akan berpikir rasional. Yang akan rugi, ya kubu oposisi sendiri, bukan?
Coba kita bandingkan dengan kinerja pemerintah saat ini atau apa yang sedang dan akan dilakukan oleh kubu petahana Jokowi-Ma’ruf. Baik sebagai presiden maupun calon presiden petahana, Jokowi sudah dan terus mencoba membereskan permasalahan struktural. Karena masalah ini, dari dulu sampai eranya, belum pernah tuntas.
Misalnya soal infrastruktur. Infrastruktur ini sudah jadi utang yang berlarut-larut, yang sampai era Jokowi belum dibuat-buat. Baru setelah pemerintahan Jokowi, segala utang itu berupaya diselesaikan. Sebagian besar sudah terealisasi. Jokowi bereskan permasalahan yang menumpuk, peninggalan SBY.
Di aspek ekonomi, pemerintah mengupayakan kredit mikro. Pemerintah sadar bahwa di pedesaan, khususnya, uang susah mengalir. Itulah kenapa hampir semua orang berpindah dari desa ke kota. Sulitnya lapangan kerja di desa membuat mereka harus mencari peluang di kota.
Beruntung kita punya pemimpin seperti Jokowi. Di era Jokowi Presiden RI ke-7 ini, UU Desa kemudian dipoles sedemikian rupa. Dana-dana untuk desa, dari tahun ke tahun, terus meningkat. Pembangunan benar-benar merata dengan skala prioritas pinggiran Indonesia.
Pun demikian untuk yang di pesantren. Jokowi menyiapkan tahun ini konsep kredit mikro, yakni Wakaf Pesantren. Itu diberikan kepada teman-teman di pesantren. Bagaimana dengan petani dan nelayan? Mereka pun mendapat hal yang sama. Konsep kredit mikro disebar di mana-mana. Semua tertuju untuk agenda kesejahteraan warga.
Jadi, jika dibanding kubu penantang, Jokowi toh sudah membuktikan kerja-kerja konkret. Sementara kubu penantangnya, sampai hari ini, nyaris tak menawarkan solusi apa-apa. Satu-satunya yang selalu digembar-gemborkan adalah akan buat ini dan itu, tetapi tak memasukkan bagaimana cara mencapainya. Ini, kan, omong kosong namanya?
Sekali lagi, Jokowi sudah lebih dulu memberikan bukti yang konkret. Slogan “Kerja Kerja Kerja” direalisasikan betul. Buktinya, ratusan hingga ribuan kilometer jalan tol sudah dibuat. Irigasi untuk persawahan dibangun di berbagai pedesaan. Pinggiran Indonesia yang selama ini tidak jadi perhatian pemerintah, di era Jokowi, tersentuh secara maksimal.
Andai Jokowi ingin asal menang, tentu akan berkata, “Ah, sudahlah. Ngapain sih sering-sering ke Papua. Ngapain sih sering-sering ke Natuna. Fokus Jawa dan Sumatera saja.” Tetapi Jokowi tidak melakukan itu. Ini bukti bahwa petahana benar-benar ingin membangun negeri. Jokowi sudah buat rekam jejak yang nyata. Jadi bukan semata pencitraan belaka.
Terlepas dari itu, saya kira memang tugas oposisi itu adalah memberi kritik. Mencari titik terlemah dari petahana adalah memang kiat oposisi untuk bisa menang. Dan itu tidak masalah, sejauh memang memberi kritik yang konstruktif. Ya, yang penting bukan berbentuk hoaks saja atau ujaran kebencian di media sosial.
Kalau dibilang ekonomi kita buruk, tentu tidak bisa hanya pakai feeling ekonomi buruk saja. Semua ada indikatornya. Tidakkah kita bisa melihat bagaimana inflasi itu terkendali; angka Produk Domestik Bruto per kepala kita meningkat terus tiap tahun? Economy growt kita semakin meningkat.
Betul memang apa yang Median temukan dalam surveinya. Banyak warga merasa bahwa kondisi ekonomi kita kurang baik. Tetapi ingat, Jokowi apes saat baru menjabat. Harga komoditas yang dihadapinya begitu rusak. Peninggalan SBY, tentu saja.
Tetapi Jokowi, dengan keadaan apes seperti ini, toh masih bisa mengontrol tingkat pengangguran. Inflasi masih terkendali. Kalau dirasa harga komoditi turun, daya beli jadi berkurang, pemerintah punya solusi tersendiri, yakni trade off. Jadi ada pengganti untuk semua masalah yang kini dihadapi.
Misalnya, teman-teman petani di pedesaan, yang dulunya tak punya lahan, diberikan lahan. Tahun ini, target 9 juta sertifikat tanah diberikan kepada petani. Pertanyaannya, pernah tidak kubu oposisi menilai langkah ini sebagai reforma agraria?
Kartu Indonesia Pintar. Program ini ingin memastikan bahwa semua anak didik punya kesempatan yang baik, potensi yang baik, untuk mengembangkan dirinya. Calon-calon penerus cita-cita bangsa benar-benar disiakan untuk menyongsong hari depan. Beasiswa, salah satunya, menjadi sarana utama mencapai itu.
Yang disesalkan, di saat pemerintahan sudah sangat terbuka dengan kritikan, terutama dari oposisi, mereka hampir tak pernah ingin duduk bersama. Alih-alih memberi solusi, yang dibumbar adalah masalah dan masalah terus. Itupun diumbarnya, secara tiba-tiba, tunggu dekat-dekat mau pemilu. Yang diharap hanya lahirnya kekacauan.