Asrama adalah bangunan atau gedung yang dikhususkan bagi pelajar. Biasanya sekolah dengan kriteria tertentu menyediakan asrama bagi pelajarnya. Kriteria yang dimaksud dapat berupa lokasi sekolah yang jauh dari pemukiman maupun yang lainnnya juga. 

Ada juga sekolah bertaraf tertentu yang memang menyediakan asrama bagi pelajarnya dengan tujuan pemberian pendidikan kedisplinan yang tinggi. Pada dasarnya, orangtua akan mengirimkan anaknya ke asrama dengan tujuan baik, yaitu agar si anak dapat belajar hidup bersama dan mandiri.

Dalam kehidupan berasrama, kita akan bertemu dengan banyak orang yang berarti banyak pribadi. Itulah tujuan asrama yang sebenarnya agar kita dapat bergaul dan mengenal pribadi tiap pribadi, namun dengan aturan yang selalu menaungi agar pergaulan itu tidak lepas kendali.

Ada pula asrama yang memang dikhususkan untuk kehidupan keagamaan, seperti contohnya  Pesantren, Biara, ataupun Seminari. Saya telah merasakan kehidupan asrama sejak saya duduk di bangku SMP dan hingga saat ini (kuliah) tetap berada di asrama. 

Inti dari kehidupan asrama menurut saya pribadi adalah kemandirian, pergaulan, dan relasi diri sendiri dengan Yang Maha Kuasa. Ada orang yang kehidupannya bisa dibilang berantakan; saat dia masuk asrama, kehidupannya semakin baik. Namun ada pula yang kebalikannya. 

Hal tersebut jelas mematahkan persepsi sebagian banyak orang yang beranggapan, "Wihh, anak asrama ternyata si kawan ini. Pasti dia orang baik baik." Saat saya pertama masuk asrama, jelas kehidupan menjadi terasa sangat berat sebab itu pertama kalinya mencuci baju sendiri, menyetrika sendiri, dan mengurus pekerjaan rumah lainnya sendiri.

Hari-hari menjadi terasa sangat berat sebab usia yang masih sangat muda. Bagi seorang pelajar SMP yang baru tamat SD, jelas kehidupan sendiri tanpa ada orangtua yang biasa selalu membantu terasa sangat sulit apalagi dengan sifat kekanak-kanakan yang masih terbawa bawa. 

Asrama saya saat saya SMP berisi gabungan pelajar dari SMP dan SMA dengan total keseluruhan kurang lebih 700 pelajar. Tidak ada pemisah antara pelajar SMP dan SMA kecuali kamar tidurnya yang memang dipisahkan antara kamar tidur SMP dan SMA dengan tujuan agar yang SMP tidak mengganggu yang SMA.

Pembagian kamar, yaitu dengan sistem barak. Dalam satu barak, bisa terdapat 20 sampai 40 orang. Dengan jumlah sebanyak itu dan dengan luasan kamar yang tidak terlalu besar serta ventilasi yang kurang memadai, maka berada di dalamnya layaknya berada di tempat penjualan ikan asin. 

Bicara masalah kedisplinan, tidak ada perbedaan antara peraturan yang berlaku bagi pelajar SMA dan SMP. Jadwal yang sudah teratur tanpa nego terkadang menjadi tantangan tersendiri apakah ingin mengikutinya sepenuhnya atau membangkang sepenuhnya. 

Pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku di asrama tidak pernah dapat ditoleransi oleh penjaga dan pembina asrama. Hukuman terhadap pelanggaran pelanggaran itupun bervariasi, mulai dari hukuman fisik maupun psikis. Penjaga asrama tidak akan segan memukul bahkan sampai mencederai anak asrama meskipun dengan dalih ingin mengubah. 

Di sini saya bukannya ingin membela salah satu pihak, antara anak asrama maupun penjaga asrama. Namun apa yang saya tuliskan adalah murni dari pengalaman saya. Dengan kata lain, tidaklah semua asrama sama seperti yang saya lalui. 

Teman seangkatan saya semasa SMP mengalami banyak perubahan sejak masuk asrama. Ada yang semakin dewasa, ada pula yang semakin terjerumus dalam pergaulan yang salah. Asrama bukan berarti segala sesuatu yang baik. Itu merupakan tempat yang baik bagi orang baik dan baik pula bagi orang jahat. Dengan kata lain, orang baik bisa menjadi semakin baik, dan orang jahat bisa semakin jahat, tergantung pilihannya sendiri. Itu maka kita selalu mendengar kata-kata mutiara, "Hidup adalah Pilihan."

Asrama biasanya identik dengan istilah senior-junior. Tidak sedikit kasus pemukulan senior terhadap junior yang saya rasakan sendiri sejak SMP sampai SMA.

Di satu sisi, si junior tidak akan menghormati seniornya apabila hanya melalui kata-kata saja. Di sisi lain, terkadang si senior justru menjadikan kekuasaannya sebagai seorang senior untuk melampiaskan nafsu berkelahinya. 

Seketat dan sebaik apa pun suatu asrama, pastilah tidak luput dari beberapa orang bejat di dalamnya. Dan orang-orang inilah yang kemudian menjadi awal timbulnya masalah itu. 

Asrama SMA saya tidak berbeda jauh dengan asrama SMP saya. Satu yang bertambah ialah keragaman suku yang ada. Saat SMP, hanya ada satu suku yang dominan. Saat SMA, sudah ada dua suku yang dominan. Ini sebab SMA saya berada di luar pulau tempat saya tinggal dan berada di kawasan pertengahan dua suku yang berbeda. 

Perbedaan suku begitu kental sekali rasanya. Tidak jarang dalam seminggu itu terjadi perkelahian sebab perselisihan dua suku tersebut. Meskipun sudah mendapat sanksi yang keras dari pihak asrama dan pihak sekolah, tetap saja hal demikian tidak dapat dihindari.

Semakin dewasa usia, semakin kompleks cara berpikir, dan semakin banyak hal baru yang ingin di coba seiring masa puber berlangsung. Begitulah yang dialami remaja-remaja seusia saya saat SMA. Ketatnya peraturan terkadang menjadikan para remaja justru semakin tertantang untuk keluar dari peraturan itu sendiri. Demikian yang saya dan rekan-rekan saya rasakan. Banyak rekan saya terjerumus dalam pergaulan-pergaulan yang salah seperti dunia malam, minuman, rokok, bahkan sampai obat penenang. 

Saya bukanlah seorang anak yang baik sekali seperti yang semua orangtua idam-idamkan. Saya hanyalah orang biasa biasa saja yang suka membandingkan apa yang saya lihat sendiri. Itulah yang membuat saya tidak sampai terjerumus semakin dalam pada pergaulan seperti teman saya. 

Saya melihat ada teman saya yang kehidupannya biasa-biasa saja, namun ia selalu terlihat gembira meski tidak terlibat dalam pergaulan sebebas yang lainnya. Saya semakin penasaran dan menirunya. Dialah yang menjadikan saya semakin dekat dan haus akan ilmu-ilmu keagamaan. 

Hal itulah yang membuat saya terjaga dari hal-hal buruk yang ada di depan saya. Bukan berarti saat saya semakin dalam mempelajari agama, maka saya menjadi seorang yang fanatik. Bukan juga saat saya dekat dengan Tuhan, maka cobaan itu tidak ada. Cobaan itu tetap ada, namun sekarang saya punya pedoman melangkah, yaitu ajaran Tuhan saya. 

Meski kehidupan di asrama penuh dengah kedisplinan yang padat, tanpa dasar iman, maka itu semua justru membimbing pada pemberontakan dan kejahatan lainnya. 

Saya juga pernah tinggal di kost selama 2 minggu sebab alasan pribadi. Perbedaan yang sangat terasa adalah dalam hal kebersamaan dan kebebasannya. 

Setamat SMA, saya melanjutkan pendidikan di Politeknik Pembangunan Pertanian Medan. Di sini asramanya sangat berbeda dengan SMP dan SMA saya. Di sini, bertambah lagi keragamannya, yaitu agama. 

Dari ketiga asrama yang pernah saya jalani, mengenai keragaman, dapat saya tarik kesimpulan yaitu keragaman itu seperti pisau. Bila diasah terus dapat menjadi sangat tajam dan bermanfaat. Namun apabila sisi lainnya disinggung terus-menerus, dapat menjadikannya tajam pula sehingga pisau itu menjadi bermata dua dan justru menghancurkan diri sendiri.

Kehidupan di asrama menjadi sangatlah berarti ketika anda dapat menyelaraskan keinginan anda dengan peraturan yang berlaku. bukan menyelaraskan peraturan dengan keinginan kita. Sebab di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung. Dan sebaik apa pun tempat tinggal anda bila hidup anda tidak dilandasi iman padaNya, semua akan sia-sia. Peraturan dan kedisplinan 100% bisa mengubah perilaku dan gaya hidup. Tapi untuk menerima perubahan itu, 100% pula kembali pada diri kita sendiri.