Namaku Andra. Seorang kuli yang suka sastra. Membaca fiksi mahakarya novelis ternama seperti Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazi dan Hati Suhita karya Khilma Anis adalah caraku melepas penat. 

Saat larut dalam baca, aku bisa lupa waktu. Membaca dari sehabis sholat Isya' bisa tembus hingga subuh tiba. Begitu aktivitasku setiap hari. Paginya, kembali pada aktivitas semula; Nguli.

Novel bacaanku mayoritas mellow, seputar percintaan dan asmara. Sesekali juga membaca novel erotis yang menggelitik gairah kelelakianku. Novel karya Enny Arrow seperti "Malam Kelabu", "Gairah dan Cinta" serta "Selembut Sutera" tak jarang menemaniku menghabiskan malam.

Seorang kuli yang setiap hari bekerja dibawah terik matahari tapi suka baca novel. Kedengarannya lucu. Bahkan banyak orang bilang aneh. Lazimnya, lelaki sepertiku gila main game, suka sepak bola atau menekuni silat. Sekalipun suka baca harusnya seputar politik atau ekonomi. Bukan novel cinta. 

Tapi bagiku, justru lelaki suka novel itu hal luar biasa. Setiap orang berhak melabuhkan angan, ingin dan hobinya dimana saja. Termasuk aku yang menandaskan hobiku dengan berlabuh di lautan fiksi.

Setiap orang yang mengenalku pasti beranggapan hidupku biasa saja. Layaknya orang miskin yang tak punya kesempatan bahagia. Umurnya dihabiskan untuk mengais rupiah. Malunya dibuang jauh agar tidak sungkan saat cari pinjaman uang. Itu penilaian orang. Penilaian dari luar, dari penampilan. Tidak tahu kehidupanku yang sebenarnya.

Sebenarnya akulah orang merdeka. Bekerja saat butuh uang dan istirahat dikala letih. Bekerja semaunya, istirahat seenaknya. Begitu seterusnya. Seorang PNS tidak akan bisa sepertiku. Bekerja serabutan membuatku tidak punya kesempatan menjadi koruptor. Tidak pula punya kesempatan memakai rompi oranye bertulis tahanan KPK. Akulah orang merdeka itu. Akulah pemilik kebagiaan yang sesungguhnya. Merdeka!!!

Satu lagi, yang paling membuatku bahagia karena dihatiku singgah seorang wanita. Perempuan lulusan pesantren yang cinta mati padaku. Zhafiratul Hilwah namanya. Asli orang Madura berperawakan Arab. 

Hidungnya mancung. Tingginya semampai. Matanya belok. Tatapannya tajam. Bibirnya tipis tapi manis yang setiap tersenyum mengundang debar dan gerimis di dadaku. Bagiku, dialah titisan Cleopatra sang pemegang tahta kecantikan jagat raya.

Zhafira sangat mencintaiku. Otak dan pikirannya lumpuh terjerat tentakel bernama cinta. Memorinya hanya mampu memutar semua tentangku. Bahkan setiap hela napasnya tersirat namaku, Andra Anindita, seorang kuli yang merdeka. Akupun sama. Sangat mencintainya. 

Tetapi dua magnet cinta itu tak mampu bersatu dalam ikatan resmi. Zhafira sudah menikah sejak tiga belas tahun lalu. Telah lahir anak-anak mungil dari rahimnya.

Dia dipersunting Nur, anak pengusaha kebun kopi asal Majalengka. Nur menguasai seluruh hidup Zhafira. Mulai dari waktu hingga fisik kekasihku sepenuhnya hak lelaki culun berkulit kuning langsat itu. Hanya satu yang tidak bisa direnggut; hati Zhafira.

Hanya aku yang ada di hatinya. Hanya bayangku yang ada di otaknya. Napasku menyatu dengan nadinya. Bahkan andai dadanya dibelah, maka tepat di pusara hatinya bertulis Andra, namaku. Begitu Zhafira pernah bilang padaku saat kami bercumbu menuntaskan hasrat dan rindu yang menggebu malam itu.

Banyak kegilaan yang kami perbuat. Gila segila-gilanya. Gila yang mampu menghilangkan luka. Gila yang mampu mengubur nestapa. Gila yang paripurna. Gila yang tak bisa dieja melalui kata dan makna. Itulah kami, sepasang kasih yang sedang dimabuk asmara. Mabuk semabuk-mabuknya.

Semenjak Zhafira menikah, kami tidak lagi bisa jalan berdua menyusuri jalan desa seperti dulu ketika dia masih lajang. Nur suaminya melarang dia keluar tanpa pengawalan darinya. Tapi pekan lalu, kami berdua bertemu. Beradu rindu sampai beberapa organ tubuhku ngilu.

Zhafira kembali menjadi milikku seutuhnya. Suaminya pergi ke Jepang untuk urusan bisnis. Paling tidak, selama Nur berada di Negeri Sakura akulah yang menguasai tahta kerajaannya. Perempuan berwajah teduh dibalut senyum manis itu kembali dalam pelukku. Kami bertemu, lalu bercumbu. Cumbu waktu itu seperti kafein, membuat candu. Bikin ketagihan. Bikin ngilu.

*********

Rindu syurgawi kembali menyelimuti otakku. Selalu ingin bertemu, lalu bercumbu bersama Zhafira kekasihku. Hari ini, rinduku kian menggebu. Lipstiknya membekas di bibirku. Deru nafasnya menghentikan detak jantungku. Tanpa berpikir panjang, aku ajak dia bertemu. Lagi-lagi ingin kutuntaskan hasratku.

Tapi diluar dugaan, Zhafira menolak ajakkanku. Dia mengaku tidak bisa bertemu. Bukan karena tidak lagi rindu. Tapi anak-anaknya tidak ada yang mengawasi. Pembantunya mudik ke kampung halaman karena orang tuanya meninggal.

Penolakan itu membuatku kecewa. Menuding Zhafira tidak lagi cinta. Menuduh dia tidak lagi sayang. Betul-betul kecewa yang luar biasa. Betapa tidak kecewa, sedari pagi darahku mendidih lantaran terpanggang bara birahi. Detak jantungku awut-awutan tak terkendali. 

Otak, akal, pikiran dan sejenisnya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Lumpuh dibalut rindu. Hasrat ingin berjumpa mengacaukan rotasi normal jiwaku.

Sementara, si penguasa hati, Zhafiratul Hilwah tidak memiliki ingin yang sama. Dia memilih bermain dengan anak-anaknya dibanding bertemu denganku, kekasihnya. Sungguh kecewa yang bikin hati nyeri.

"Maaf aku tidak bisa memenuhi inginmu. Aku tak mungkin meninggalkan anak-anakku dirumah tanpa pengawasanku," katanya dengan nada dingin.

"Ayolah, 30 menit saja kita ketemu," kataku.

"Maaf, aku tidak bisa," jawaban singkat melalui pesan WA itu disertai foto anak-anaknya yang asyik bermain gadget.

"Itu mereka main gadget. Pasti aman kalau hanya ditinggal setengah jam. Ayolah kesini sayang," ibaku.

"Maaf aku tidak bisa," etomicon sedih mengahiri kata maafnya.

"Ayo sayang, 30 menit saja," bujukku.

"Apa kamu yakin dalam waktu 30 menit semua hasratmu terselesaikan," tanya Zhafira seperti memberi sinyal akan menemuiku dengan batas waktu setengah jam.

"Waktu 30 menit tentu tidak cukup. Butuh waktu seribu tahun bagiku untuk menuntaskan rindu bersamamu. Tapi apa daya, kamu sibuk menjaga anakmu, 30 menit tentu lebih baik dari tidak sama sekali," sambungku.

"Maaf aku tidak bisa," singkatnya.

Jawabannya kembali menjungkalkan harapanku yang sempat tumbuh. Sinyal bahwa dia akan datang kembali dipatahkan dengan kata maaf. Sungguh kata-kata itu membuat kecewaku seperti tersayat sembilu. Pilu. Sejenak aku diam merasakan sayatan luka dan kecewa.

"Ayolah, aku tunggu di tempat biasa. Apa kamu tidak rindu? Seperti aku yang sangat merindukanmu," tanyaku.

"Aku sangat rindu, tapi tidak mungkin bertemu hari ini. Aku tidak mungkin membiarkan anak-anakku bermain tanpa pengawasanku,"

"Ya sudah, maaf sudah menganggu waktumu," kataku singkat penuh jengkel.

"Kamu marah sayang? Ayolah ngertiin aku. Aku tidak mungkin keluar rumah," katanya.

"Iya maaf, aku terlalu egosi. Ya sudah lanjutkan main sama anak-anakmu," ucapku.

"Ayolah jangan marah hanya karena persoalan nafsu. Bisakah kamu mencintaiku tanpa embel-embel nafsu."

"Bagaimana aku mencintai tanpa nafsu. Tidak tahukah kamu bahwa cinta lahir dari rahim nafsu. Tanpa disertai nafsu dan birahi, cinta akan mati."

"Adakah cinta muncul tanpa didahului ketertarikan? Entah ketertarikan pada fisik atau sikap. Tapi harus kamu tahu, ketertarikan itu adalah bagian kecil dari nafsu, camkan itu," kataku dengan nada jengkel.

Zhafira terdiam. Tidak membalas penjelasanku tentang cinta dan nafsu. Chat yang kukirim dibaca, tapi tidak dibalas. Notif WAnya menunjukkan online. Tapi tidak membalas. Kubiarkan HP ku tergeletak. Tiga menit kemudian, Zhafira membalas dengan emoticon sedih.

"Aku paham gejolak hasrat yang ada di dadamu. Akupun merasakan hal yang sama. Ingin bertemu, ingin bercumbu. Ingin menuntaskan hasrat rindu. Tapi kondisiku tidak memungkinkan keluar rumah, maaf telah mengecewakanmu," kata Zhafira menyusul emoticon sedih dan nangis yang dikirimkan.

"Tidak perlu meminta maaf. Semua ini salahku karena terlalu mencintaimu. Terlalu mencintai sama halnya dengan memupuk nafsu birahi," kataku.

Hari ini berakhir dengan kekecewaan. Hasratku bertepuk sebelah tangan. Pengakuan Zhafira bahwa dia juga rindu tidak lebih dari sekadar bualan. Buktinya, dia benar-benar tidak menemuiku, walaupun hanya setengah jam. Jika dia benar-benar rindu, pasti menemuiku. Menuntaskan hasrat bersamaku. Toh waktu setengah jam bukan waktu yang lama.

Anganku menumpahkan gumpalan rindu di perutnya, di dadanya, di wajah dan rambutnya seketika ambyar. Hancur berkeping-keping. Amarahku membuncah. Kecewaku kian parah. Kuputuskan mematikan HP lalu mencari penawar kecewa yang mendera. Ku biarkan gunung es kerinduan itu meleleh tanpa harus ditumpahkan.