Tak bisa dipungkiri bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang selalu berhadapan dengan kecemasan. Tak peduli seberapa mapan dan seberapa tinggi prestasi yang sudah dicapai oleh seorang manusia, kecemasan seolah tak pandang bulu untuk datang menghantui bahkan meneror manusia.
Fakta tersebut membuat manusia sering kali kebingungan sehingga muncul pula sebuah kecemasan baru yang saya sebut ‘kecemasan akan kecemasan’.
Kecemasan sering kali datang dengan tanpa alasan dan tanpa sebab. Sebagai contoh ada seorang pasangan yang sudah menjalin hubungan selama bertahun-tahun dan akhirnya keinginan mereka untuk menikah berhasil direncanakan.
Beberapa saat sebelum pasangan tersebut bertemu di pelaminan sering kali mereka diterjang oleh kecemasan yang entah dari mana datangnya. Seorang musisi yang selama ini berlatih dan berkarya untuk bisa tampil di panggung impiannya ketika ia berhasil mendapatkan kesempatannya justru ia didatangi kecemasan.
Bisa dipastikan tak ada manusia yang memilih dikenai kecemasan. Manusia menginginkan hidup yang bahagia, tentram, dan damai. Kendati demikian kecemasan tetap datang seolah tak mengizinkan kita menggapai hidup yang demikian. Lalu muncul pertanyaan, dari mana datangnya kecemasan itu? Dan mengapa manusia cemas?
Usaha Manusia Menghadapi Kecemasan
Sepanjang sejarah intelektual, banyak kaum intelektual yang mencoba mencari tahu dari mana asal kecemasan. Fenomena kecemasan manusia membuat para kaum intelektual mencoba memahami lebih dalam mengenai struktur yang membentuk manusia untuk mengetahui akar permasalahan yang menjadi faktor kecemasan pada manusia.
Manusia adalah makhluk yang kompleks, ia berpikir, berperasaan, dan berhasrat. Usaha manusia dalam memahami misteri kompleksitas manusia akhirnya melahirkan sebuah cabang ilmu baru untuk memahami – dalam konteks ini – kecemasan, yaitu ilmu psikologi. Salah satu tokoh besar dalam ilmu ini adalah Sigmund Freud.
Menurut Sigmund Freud, kecemasan adalah salah satu komponen yang ada dalam kepribadian manusia yang muncul sebagai dampak dari konflik kehidupan manusia. Kecemasan adalah manifestasi dari fungsi ego dalam rangka peringatan akan adanya bahaya yang akan mengenainya. Freud tak membedakan kecemasan dan ketakutan. Pada manusia kecemasan bisa berbentuk bermacam-macam.
Menurut psikoanalisa Sigmund Freud, ada 3 macam jenis kecemasan, yaitu kecemasan realistis (realistic anxiety), kecemasan neurotik (neurotic anxiety), dan kecemasan moral (moral anxiety). Kecemasan realistis adalah kecemasan yang timbul karena adanya bahaya nyata (physical danger) yang datang dari luar diri manusia.
Kecemasan neurotik adalah kecemasan yang timbul karena adanya ketakutan yang muncul dari pikiran manusia terhadap sesuatu yang dia pikir akan menyebabkan dirinya dalam bahaya. Kecemasan moral adalah kecemasan yang timbul dari prinsip-prinsip kebaikan dan kebenaran yang sering kali berlawanan dengan egonya.
Berdasarkan analisa Freud tersebut bisa diketahui asal-usul kecemasan yang dijelaskan berasal dari struktur kepribadian manusia (id, ego, superego) yang memiliki dorongannya masing-masing dan sering kali berkonflik dengan realita kehidupan manusia.
Namun, analisa Freud bagi saya cenderung kering dan kurang memberikan makna yang dalam pada kecemasan. Freud hanya melihat manusia dengan sudut pandang materialistik. Problem kecemasan pada manusia adalah sesuatu yang – bagi saya – tidak bisa dituntaskan hanya melalui teori-teori psikologi yang cenderung bersifat positivistik.
Bisa jadi seseorang sudah begitu memahami teori-teori psikologi dengan begitu matang sehingga ia memahami kecemasannya sendiri, namun ia justru mengalami kecemasan yang lebih dalam – yang saya sebut di awal dengan ‘kecemasan akan kecemasannya’.
Pada titik ini seorang manusia membutuhkan pengetahuan dan solusi yang lebih dalam dan bermakna untuk mampu menghadapi kecemasan tersebut.
Kebuntuan ini akhirnya membawa manusia ke cara berpikir lain yang dianggap mampu memecahkan masalah kecemasan ini salah satunya adalah cara agama.
Agama menawarkan sebuah pemahaman akan adanya sebuah entitas adikodrati yang mampu memberikan apa yang manusia butuhkan dan menyelesaikan segala permasalahan yang dianggap seseorang berada di luar kemampuannya.
Ajaran agama yang diyakini banyak orang menyatakan bahwa kecemasan ada karena seorang manusia tidak memahami mengenai keberadaan sosok entitas adikodrati tersebut sehingga ia hanya terperangkap pada dirinya sendiri yang amat kecil dan tak berdaya.
Maka, seorang manusia haruslah beriman pada entitas yang disebut sebagai “Tuhan” supaya ia terbebas dari kecemasan-kecemasan duniawi.
Namun, sayangnya agama yang dianggap sebagai obat kecemasan ternyata tak selalu membuat manusia berhasil menghadapi kecemasan dengan baik. Sering kali justru manusia terlena pada sebuah posisi yang bersifat takhayul yang membuat mereka lupa akan realitas yang nyata.
Agama justru diperalat menjadi ideologi yang membutakan manusia dalam melihat kecemasannya sendiri. Akibatnya mereka bisa melakukan hal-hal yang tak bermoral dan merugikan pihak lain.
Kebutaan tersebut timbul dari ketidakmampuan manusia menerima kenyataan akan kecemasannya sehingga ia menutupi kecemasannya dengan keyakinannya. Padahal sebenarnya ia sedang mengalami kecemasan akan kecemasannya sendiri.
Memaknai Kecemasan
Tak peduli seberapa pintar atau seberapa religius seseorang, dalam usahanya menghilangkan kecemasannya seolah ia selalu gagal karena kecemasan akan selalu datang menghampirinya lagi dengan bentuk yang lebih canggih.
Apakah memang manusia dikutuk untuk cemas? Apakah kecemasan adalah konsekuensi dari manusia sebagai homo rationale ? Karena sepertinya hanya manusia yang mengalami kecemasan tidak dengan binatang atau pun tetumbuhan.
Mungkin sebelum kita terlalu berpikiran buruk tentang apa itu kecemasan kita harus bekontemplasi lebih dalam mengenai kecemasan. Martin Heiddeger, seorang filsuf Jerman abad 20 adalah seorang filsuf besar yang mengajak kita untuk berkontemplasi lebih dalam tentang apa itu ‘kecemasan’.
Heidegger melihat kecemasan secara metafisis. Pandangannya seolah tak menolak kecemasan melainkan berusaha memahami dan menerimanya.
Dalam pandangan Heidegger, ada satu suasana hati dasar yang mendahului atau lebih primordial daripada segala macam suasana hati yang lain, yaitu kecemasan (Angst).
Heidegger membedakan rasa cemas dan rasa takut. Rasa takut menurutnya memiliki objek yang jelas dan dapat ditangkap indrawi. Sedangkan objek rasa cemas menurutnya bukanlah ‘Mengada’ pada dunia ini. Pada hakikatnya objek rasa cemas itu tidak tentu, ia tak memiliki persoalan duniawi. “Objek kecemasan” kata Heidegger “adalah berada-di-dalam-dunia itu sendiri” (Hardiman, 2016 : 89 - 90).
Mengacu pada pandangan Heiddeger, secara sederhana bisa kita pahami bahwa kecemasan adalah hal yang sudah menjadi kodrat kita sebagai manusia yang hidup di dunia ini. Sejak manusia masih kecil, ia selalu bertanya-tanya tentang segala sesuatu tentang dunia.
Manusia tak pernah memilih untuk dilahirkan, namun secara tiba-tiba ia eksis dalam kehidupan. Maka manusia bertanya untuk memahami di mana ia berada dan siapa dirinya sebenarnya.
Bagi saya kecemasan memang tak perlu kita tolak dengan sewenang-wenang. Karena semakin kita menghindari kecemasan justru semakin cemas yang kita dapatkan. Tanpa kecemasan kita tak akan berusaha memaknai kehidupan dengan lebih dalam.
Kegagalan hidup manusia bisa jadi karena ia tak mampu menerima kecemasannya sendiri. Karena ketika kita menolak kecemasan sebenarnya kita juga secara tidak langsung kita menolak kesejatian kita sendiri sebagai manusia.
Kecemasan perlu kita maknai sebagai penggerak kita menuju apa yang disebut sebagai kebijaksanaan. Kecemasan membuat kita hidup tak berlebihan karena kecemasan membuat kita sadar akan arti kekosongan dan ketidaktahuan.
Kendati tak mengenakkan namun kita baiknya harus menerima apa adanya yang disebut kecemasan.
Maka dari itu, ada salah satu pemikiran dari filsuf Jerman abad 19, Friedrich Nietzsche, yang saya renungkan dan saya kira cukup membantu dalam menghadapi kecemasan, bahwa kita harus menjadi “Manusia Super” yaitu, ia yang kuat menghadapi dan menerima ketidaktahuan dan ketidakmampuannya di satu sisi ia mampu untuk selalu berusaha melanjutkan belajar untuk mencari pengetahuan dan meningkatkan kemampuannya.
Jadi kecemasan hanya bisa dihadapi dengan baik dengan kekuatan dan keberanian untuk menghadapi kecemasan itu sendiri.
Referensi :
- ustpsikologiadmin. (2015). Teori Kepribadian Sigmund Freud. Diakses pada 1 Januari 2022, dari https://psikologi.ustjogja.ac.id/index.php/2015/11/05/teori-kepribadian-sigmund-freud/
- Hardiman, F. Budi. (2016). Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: KPG.