Perkenankan saya menuliskan di sini sedikit catatan saya tentang kecantikan.
Pertama, masyarakat di mana pun itu menetapkan standar kecantikan perempuan. Standar ini diturunkan dari generasi ke generasi, berakar dan terinternalisasi. Disebarluaskan oleh media dan industri kecantikan secara menggoda dalam bentuk iklan dengan model-model cantik yang tidak realistis.
Tidak realistis, karena seperti yang dikatakan Rhoda Unger, psikolog feminis, bila mengikuti prinsip kurva normal, perempuan yang kecantikannya di atas rata-rata tidak mencapai 2.5%.
Tetapi kita telanjur melihatnya sebagai sesuatu yang real dan wajar.
Kedua, masyarakat menuntut perempuan menjadi cantik sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan tadi. Dan ini dilakukan sejak ia masih gadis cilik, jika tidak bisa dibilang sejak dari hari-hari pertama ia melihat dunia.
Tuntutan ini dibungkus dengan indah, dalam bentuk pujian/penguatan: Ah cantiknya, tambah manis saja dengan pita berenda itu, dsb.
Kecantikan menjadi aspek yang dilekatkan kuat pada perempuan. Tiap kali sesama perempuan bertemu, puja puji ini terdengar: Ah makin cantik aja. Ah kamu masih tampak awet muda seperti yang dulu. Dan ah ah ah lainnya.
Dididik dari kecil untuk menjadikan kecantikan sebagai bagian dari dirinya, perempuan mana yang tidak senang menerima pujian seperti ini?
Ketiga, terkait dengan poin kedua, perempuan diajarkan bahwa menjadi cantik itu adalah sesuatu yang mendatangkan reward.
Seorang ibu sehabis mengenakan gaun pada putrinya akan memintanya menunjukkan gaunnya pada ayah/kakek/nenek, yang tentunya akan menyambut gadis cilik ini, “Ah cantiknya gadis cilik ayah, dsb.”
Dan sebaliknya, jika tidak cantik, perempuan dianggap tidak pantas mendapatkan reward.
Françoise Giroud, jurnalis, penulis, dan politisi Prancis, mengatakan: Perempuan muda, cantik, dan menarik akan dipandang (ditatap; ia ingin memperlihatkan bahwa perempuan dijadikan sekadar objek tatapan, tetapi tatapan ini menjadi reward bagi si perempuan). Ketika tidak muda lagi, kemampuannya untuk menarik orang untuk menatapnya sudah berkurang, atau bahkan hilang secara brutal. Ia pun menjadi cacat.
Keempat, dengan pengkonstruksian semacam ini, tanpa disadari, kita mempersiapkan si gadis cilik ini untuk kelak menjadikan perempuan lain sebagai saingan, dimulai dari persoalan kecantikan yang kemudian merambat dalam hal-hal lain.
Kriteria “kejam” dari perempuan terhadap sesama perempuan
Perempuan menciptakan kriteria yang “kejam” untuk menilai kecantikan sesama perempuan: Perempuan harus cantik secantik-cantiknya dan sealami-alaminya.
Tetapi ketika ada yang cantik alami tanpa make up, kita masih akan mencari-cari kekurangannya. Entah hidungnya kurang mancung, kulitnya terlalu gelap, sampai dengan kalimat, ”Ah saya kenal si A masih jauh lebih cantik tuh.”
Ketika ada yang cantik dan ber-make up, kita mungkin mengatakan,” Dia engga cantik2 banget deh kayaknya, cuma jago dandan aja…”
Ketika ada yang tidak cantik dan tidak ber make up, bisa jadi kalimat ini kita tujukan kepadanya, “Dandan sedikit kenapa, engga ada salahnya. Biar suami senang dan tidak lari..
Jika ia tidak cantik tetapi ber-make up : Kalau engga cantik mah engga cantik aja, didandanin kayak apa juga tetap engga cantik.
Jika dia cantik dan dikaruniai tubuh indah sensual atau senang berpakaian sedikit terbuka, kita menyebutnya cantik tapi seperti pelacur, terlalu berani, atau bukan perempuan baik-baik. Jika dia cantik dengan wajah baik dan lembut, kita mengkategorikannya cantik-cantik standar seperti model iklan ibu rumah tangga.
Jika dia cantik tetapi kurang berwawasan dan agak lambat proses berpikirnya, kita mengecamnya, ”Cantik tapi bodoh.”
Jika dia mendapatkan promosi di kantor, dan dia cantik, “Ah dia itu dipromosiin karena modal tampang aja, kerjanya engga becus.”
Hmmm sebaiknya saya hentikan kritik-kritik ini karena daftarnya bisa lebih panjang lagi.
Narsisme untuk dapat mencintai orang lain dan berhenti mengkritik sesama
Perempuan yang mengkritik sesama perempuan sebenarnya adalah perempuan yang merasa “terancam”, tidak merasa aman, dan tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Apa pun itu penyebabnya (pengalaman masa lalu, konstruksi masyarakat, pola asuh, dsb), perempuan-perempuan ini belum terbebas dari kompleks-kompleks.
Perempuan yang telah bebas dari kompleks-kompleks tidak akan merasa terancam. Ia telah menerima diri, memeluk semua aspek dirinya, mencintai dirinya utuh. Hasilnya, ia akan jadi perempuan bahagia yang tidak harus mengkritik sesama perempuan untuk meningkatkan harga diri dan menjadikan dirinya sendiri “merasa” bahagia.
Mengutip Lou Andreas Salomé, narsisme atau mencintai diri sendiri bukan bentuk pemujaan atas diri sendiri. Narsisme adalah awal dari kemampuan mencintai orang lain.
Lou Andreas Salomé ini adalah filsuf perempuan, psikoanalisis, dan penulis Rusia yang banyak berkontribusi dalam pengembangan teori narsismenya Freud. Ia juga mengilhami filsafat Nietzsche dan menjadi mentor sekaligus kekasih pujangga Rainer Marie Rilke. Ia cantik, cerdas, dan “bebas merdeka”.
Ia menolak menggunakan korset, yang wajib digunakan perempuan pada zamannya. Ia merasa lebih nyaman menjalin hubungan dengan laki-laki. Bukan karena banyak laki-laki memuja, mengagumi, dan mencintainya, tetapi lebih karena perempuan senantiasa melihatnya sebagai saingan.
Perlukah Merasa Cantik untuk Mencintai Diri Sendiri?
Jujur, saya merasa kurang sreg dengan tagar ataupun slogan-slogan yang sering muncul belakangan ini yang terkesan mengasosiasikan “mencintai diri” dengan “merasa cantik”. Seolah perempuan yang mampu merasa cantik itulah yang telah mencintai dirinya.
Pesannya sekilas memang “positif”. Tetapi di balik yang “tampak” positif ini, kita justru melanggengkan budaya yang menuntut perempuan untuk cantik.
Tidak perlu merasa cantik jika memang tidak merasa cantik. Bagaimana kita bisa menerima diri sendiri jika kita dimulai dengan menyangkal diri? Lantas apa yang dimaksud dengan penerimaan diri dalam hal ini?
Dalam pandangan saya, perempuan tidak harus merasa cantik untuk dapat mencintai diri sendiri. Karena nilai perempuan tidak hanya ditentukan dari kecantikannya. Jangan jadikan kecantikan sebagai tirani, kita bukan tahanan dalam tubuh kita sendiri.
Mengapa kita meminta perempuan untuk perlu merasa cantik sementara kita telah menetapkan kriteria yang kejam tadi untuk menilai kecantikan perempuan? Bukankah ini lagi-lagi menjadi penuntutan yang tidak masuk akal pada sebagian besar perempuan?
Seperti pertanyaan retorik beberapa teman perempuan, “Gampang untuk merasa cantik kalau memang sudah cantik. Bagaimana dengan saya yang jelas-jelas engga cantik?”
Sekalipun, mereka yang jelas cantik (lagi-lagi sesuai standar masyarakat) belum tentu mampu mencintai dirinya sendiri.. Karena selalu ada yang lebih cantik, dan manusia cenderung selalu merasa diri kurang.
Di sini cantik, di sana cantik, sementara kita dituntut untuk cantik dan untuk merasa cantik, bagaimana kita bisa untuk tidak berhenti membandingkan diri?
Pada akhirnya percayalah akan lebih mudah menerima diri bahwa kita tidak cantik daripada harus merasa cantik sementara kita tidak cantik (berdasarkan standar masyarakat).
Sebagai penutup, izinkan kita mencintai diri kita sendiri apa adanya, cantik ataupun tidak cantik. Kemampuan untuk jujur dan tulus dengan diri sendiri, dan membebaskan diri dari penilaian orang lain adalah dasar dari cinta diri. Dan cinta diri mutlak diperlukan untuk dapat mengasihi orang lain.
Perempuan, mari berhenti mengkritik sesama perempuan.