Setiap kebijakan yang dimiliki oleh negara yang berdaulat pasti mengatur hubungan suatu negara dalam tingkat internasionalnya dengan negara lain maupun masyarakat internasional.
Kebijakan ini merupakan bagian dari kebijakan luar negeri negara dan tentu saja mencerminkan kepentingan nasionalnya. Sebagai negara berdaulat, Indonesia juga mengikuti politik luar negeri yang selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan keadaan internasional.
Kebijakan luar negeri Indonesia berlangsung selama puluhan tahun sejalan dengan usia Republik Indonesia. Pergantian kepemimpinan dari Presiden Soekarno ke Presiden Joko Widodo menunjukkan bahwa proses demokratisasi di Indonesia tetap berjalan meskipun menghadapi berbagai persoalan.
Terkait politik internasional dan ketahanan nasional, Joko Widodo akan menerapkan tiga strategi diplomasi selama masa kepresidenannya, pertama diplomasi antarpemerintah atau intergovernmental diplomacy.
Yang kedua adalah diplomasi antar pelaku bisnis dan yang ketiga adalah diplomasi antar masyarakat. Ketiga strategi tersebut diterapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam upayanya untuk menangani permasalahan-permasalahan termasuk isu pencari suaka.
Pencari suaka dan pengungsi termasuk kelompok rentan yang cenderung mengalami diskriminasi dan pelanggaran HAM. Sejak saat itu, pencari suaka dan pengungsi terus diproses di Indonesia. Meningkatnya jumlah pencari suaka dan pengungsi di Indonesia membuat Indonesia memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini.
Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus tentang perlakuan terhadap pencari suaka dan pengungsi. Namun, Indonesia terus berupaya memberikan perlindungan kepada para pencari suaka dan pengungsi.
Realitas saat ini menunjukkan bahwa begitu banyak aktivitas manusia lintas batas di kawasan Asia-Pasifik, terutama yang menuju dan melalui Indonesia.
Pasalnya, letak Indonesia yang berada di antara benua dunia, Asia dan Australia, serta dua samudra, Pasifik dan Samudra Hindia, menjadikannya pusat jalur pelayaran dunia yang begitu strategis.
Letak negara Indonesia yang sangat strategis menjadikan Indonesia sebagai tempat perpindahan dan transit yang populer bagi para pengungsi dan pencari suaka asing, terutama dari benua Asia.
Kebijakan Luar Negeri Pada era Jokowi menangani pencari suaka di kawasan Pasifik, beliau mengeluarkan Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang Perlakuan Pengungsi dari Luar Negeri yang tertuang dalam pasal-pasalnya yaitu; Dengan pendekatan Pasal 3 tentang pemulangan sukarela yang dimaksud, agar negara Indonesia menjaga citranya di mata publik dunia tanpa kekerasan terhadap pencari suaka, tetapi dengan cara yang sangat manusiawi dan juga menegaskan bahwa geopolitik Indonesia bersifat non-blok.
Orientasi geostrategis Indonesia, yaitu dukungan terhadap geopolitik, tetap diprioritaskan dengan tindakan tegas dalam pasal-pasal Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Dalam pasal 24 suaka saat ini menggunakan sistem pinjaman untuk digunakan, sehingga ketika menetapkan hingga 10 tahun tinggal harus siap untuk dipindahkan ke negara ketiga yang statusnya adalah negara tuan rumah, yaitu Australia, AS, dan Kanada.
Dengan ketentuan ini, Indonesia akan aman di yurisdiksinya di masa depan karena penurunan populasi karena kedatangan dan kepulangan sukarela. Pengesahan Peraturan ini juga mencerminkan konsep keamanan non tradisional yang melihat adanya ancaman dari populasi.
Namun Presiden Joko Widodo sebagai aktor negara harus terus meningkatkan stabilitas operasi penahanan dan pemulangan sehingga ancaman pertumbuhan penduduk akibat kedatangan manusia perahu tidak menimbulkan ancaman bagi keamanan negara.
Mengkritik pemerintahan sebelumnya yaitu pada masa Presiden SBY dengan Pasal 41 yang lebih menekankan pada perlakuan terhadap pengungsi yang membedakan pencari suaka dan perdagangan manusia.
Pada peraturan sebelumnya khususnya Perpres No. 11 Tahun 2011 tidak dapat membedakan penyelundup dari pencari suaka dan status mereka sebagai imigran ilegal pada saat itu, hal tersebut menyebabkan banyak konflik antara pemerintah dengan para pencari suaka.
Dengan menetapkan Pasal 41, dapat membantu citra Indonesia di mata dunia bahwa Indonesia bukan negara teroris. Selain itu juga melindungi Indonesia dari ekstremisme dan mempertahankan kebijakan bersama dalam komunitas keamanan Asia Tenggara.
Dalam ketentuan akhir di Perpres No. 125 Tahun 2016, Presiden Jokowi ingin menunjukkan bahwa permasalahan yang muncul di kawasan Pasifik sudah mulai kembali tertib namun belum sempurna.
Maka dari itu perlu adanya dukungan dari masyarakat agar ketertiban dapat berhasil di luar wilayah hukumnya dan di dalam wilayah hukumnya sesuai dengan butir 3 Nawacita agar kedepannya Indonesia menjadi negara maritim yang aman dan tetap kuat dalam politik “bebas aktif” luar negeri.
Pemerintah Indonesia di sini harus meningkatkan fasilitas yang ada untuk dapat memprasaranai penanganan pengungsi dan pencari suaka asing yang jumlahnya terus meningkat.
Sementara aturan bagi pengungsi dan pencari suaka asing di Indonesia juga harus dikembangkan lebih lanjut untuk melindungi para pencari suaka yang tinggal di Indonesia.
Politik luar negeri bebas aktif yang menjadi prinsip politik luar negeri Indonesia terbukti memberikan kontribusi yang sangat berharga dari segi stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan nasional.
Sejak akhir tahun 1970-an, pemerintah Indonesia mulai menyadari pentingnya Pasifik Selatan dan kepentingannya bagi pertahanan dan keamanan Indonesia. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa negara di Pasifik Selatan menunjukkan kesamaan etnologis dengan masyarakat di wilayah timur Republik Indonesia.
Tentunya politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan Joko Widodo ini berbeda dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di mana pelaksanaan politik luar negeri Indonesia akan tetap berdasarkan prinsip bebas aktif.
Semua politik luar negeri Indonesia pada dasarnya dilakukan untuk kepentingan nasional Indonesia, seperti pada masa Susilo Bambang Yudhoyono yang berperan penting dalam terhadap ASEAN.
Perhatian yang lebih pada kawasan Asia Tenggara menyebabkan berkurangnya perhatian terhadap wilayah Pasifik, yang juga merupakan lingkaran konsentris kebijakan luar negeri Indonesia secara geografis. Berbeda dengan zaman Joko Widodo, hal ini terlihat jelas ketika Indonesia mulai aktif berpartisipasi dalam Forum Pasifik Selatan.