Selama lebih dari satu dasawarsa, Indonesia telah menjadi negara pengekspor bijih nikel yang menyumbang sekitar 20% dari total ekspor dunia.
Indonesia juga memiliki 2,9% cadangan nikel dunia. Salah satu wilayah tujuan utama dari ekspor bijih nikel Indonesia adalah perusahaan industri dan baja di Eropa.
Namun, menyadari tidak terjadi peningkatan nilai signifikan atas ekspor bahan mentah, Indonesia akhirnya memutuskan melarang ekspor bijih nikel yang berlaku mulai tahun 1 Januari 2020 lalu.
Larangan tersebut dibuat atas pertimbangan akan dilakukannya hilirisasi bahan tambang mentah di Indonesia. Hilirisasi tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan nilai jual bijih nikel.
Faktanya, penjualan nikel yang telah dioleh lebih menguntungkan ketimbang sekedar mengekspornya dalam keadaan belum diolah sama sekali.
Sayangnya, keputusan ini tentu ditentang oleh Uni Eropa. Uni Eropa sebagai negara penikmat bahan mentah nikel terbesar selama bertahun-tahun tentunya tidak ingin harus membeli nikel olahan yang pastinya dengan harga lebih tinggi.
Mereka menilai larangan ekspor ini menghilangkan akses terhadap bijih nikel murah. Gugatan ke WTO menjadi jalan Uni Eropa menghentikan kebijakan Indonesia tersebut. Ditambah lagi, WTO mengabulkan gugatan tersebut.
Pertanyaannya adalah mengapa akhirnya Indonesia mengubah kebijakan luar negerinya tersebut? Lalu bagaimana respons Indonesia atas gugatan Uni Eropa?
Pandangan Teori Modernisasi
Untuk menganalisis kasus tersebut, penulis membawa salah satu teori ekonomi politik internasional yaitu modernisasi. Teori modernisasi beranggapan bahwa transformasi masyarakat dari dunia ketiga dapat dilakukan namun melihat dunia pertama sebagai tipe ideal.
Sementara itu, menurut Walt Whitman Rostow, terdapat beberapa tahap dalam modernisasi, salah satu contohnya adalah tanggal landas.
Pada tahapan ini, negara mulai memperbanyak industrialisasi dan mengalihkan aktivitas produksinya dari pertanian ke manufaktur.
Hal ini juga ditandai dengan penguatan fasilitas guna mendukung proses pengolahan barang jadi untuk dijual.
Jika dipandang sesuai dengan teori ini, kebijakan Indonesia untuk melarang ekspor bijih nikel merupakan bagian dari usaha Indonesia memajukan industrialisasi di bidang pengolahan tambang.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada peringatan Kemerdekaan RI kemarin, bahwa Indonesia perlu memaksimalkan potensi sumber daya mineralnya.
Di kesempatan yang lain, Jokowi juga menyatakan kebijakan larangan ekspor nikel menjadi salah satu upaya perbaikan tata kelola tambang di Indonesia.
Penambahan nilai tambang dalam negeri juga diharapkan tercapai lewat kebijakan ini.
Usaha hilirisasi manufaktur dilakukan mengingat keuntungan yang sangat tinggi dari proses pengolahan nikel.
Argumen di atas dibuktikan oleh data dari Kementerian ESDM di tahun 2022, akibat kebijakan hilirisasi nikel, ekspor baja meningkat 18 kali lipat.
Jika dihubungkan dengan teori modernisasi, kebijakan Indonesia ini dapat merepresentasikan tahapan tanggal landas.
Negara dunia ketiga mulai mengganti aktivitas produksinya dari yang berbasis komoditas atau bahan mentah ke manufaktur.
Indonesia juga melakukan hal tersebut lewat kebijakan larangan ekspor bijih nikel ini.
Indonesia mulai mengganti komoditas nikel mentah ke olahan nikel jadi dengan nilai yang lebih tinggi.
Untuk mendukung pengolahan tersebut, Indonesia menargetkan membangun 36 buah smelter nikel, 11 diantaranya sudah dibangun dan 25 sisanya masih dalam proses.
Harapannya, setelah semua smelter siap, Indonesia akan mampu memproses semua bijih nikel dalam negeri dengan berbagai kualitas.
Dalam proses ini, pemerintah juga menggandeng beberapa investor asing seperti China. Investor tersebut diharapkan mampu menyuplai dana untuk pembangunan teknologi.
Tentu saja kebijakan Indonesia ini ‘mengusik’ beberapa pihak di dunia internasional.
Meskipun menguntungkan Indonesia, kebijakan ini akan menghilangkan peran Indonesia sebagai pemasok nikel mentah yang murah.
Salah satu pihak yang sangat responsif atas kebijakan ini adalah Uni Eropa. Dengan dikabulkannya gugatan Uni Eropa di WTO, Indonesia diharapkan akan merevisi kembali kebijakan larangan ekspornya.
Lantas, apakah Indonesia akan melawan gugatan WTO atau kembali membuka kembali pintu ekspor bagi Uni Eropa?
Jawabannya adalah melawan. Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo atas respons dari keputusan WTO.
Jokowi mengatakan tidak akan mengubah atau merevisi kebijakan apapun. Hilirisasi dan peningkatan nilai tambah dalam pengelolaan SDA tambang adalah tujuan mutlak negara yang tidak bisa diganggu gugat.
Hal ini juga mendapat dukungan dari elemen pemerintahan yang lain seperti DPR, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri ESDM.
Atas putusan WTO ini, Indonesia masih berupaya melawan dan merencanakan banding.
Meskipun demikian, ada beberapa risiko yang mengikuti perlawanan Indonesia ini. Pertama, jika keputusan banding telah diketok palu, apapun pokok putusan didalamnya sifatnya mengikat dan Indonesia tidak dapat mundur lagi.
Kedua, sengketa ini dapat menghambat proses hilirisasi dikarenakan hilangnya kepercayaan investor atas legalitas nikel di Indonesia.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan Indonesia untuk memastikan keamanan posisinya di sesi banding besok adalah penggalangan solidaritas dari negara-negara lain di dunia.
Gagasan yang dapat dibawa Indonesia adalah tentang bagaimana cadangan nikel di Indonesia terus berkurang dan dampaknya bagi lingkungan sehingga perlu diadakannya pembatasan.
Lewat pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah memutuskan untuk mengubah arah kebijakan tambangnya dengan melakukan hilirisasi.
Salah satu implementasi dari kebijakan ini adalah diterbitkannya larangan ekspor nikel mentah.
Jika dilihat dari teori modernisasi, upaya Indonesia ini masuk sebagai langkah transformasi menuju negara maju.
Meski ditentang Uni Eropa dan digugat hingga WTO, Indonesia tidak berniat sama sekali mengubah keputusannya tersebut.