Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini mengalami perubahan yang sangat pesat. Hal ini diikuti dengan pola komunikasi dan tatanan masyarakat yang menjadi lebih modern pula. Dengan adanya kemudahan dan kelengkapan fitur yang diberikan tentu membuat masyarakat tak memiliki alasan untuk tidak menggunakannya.
Dengan kemajuan teknologi, kita dapat mengakses informasi maupun menyebarkan informasi dengan lebih cepat dan dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kemajuan teknologi mempermudah masyarakat dari berbagai kalangan untuk mengakses media sosial.
Sosial media menjadi tempat dimana manusia bisa saling berinteraksi, berpendapat, dan mengekspresikan diri. Bahkan penyebarannya pun cukup cepat tersampaikan ke banyak orang.
Sehingga internet dianggap sebagai saluran yang menawarkan kebebasan demokrasi yang hampir tak terbatas untuk melacak informasi, untuk berkorespondensi dengan ribuan individu lain, dan secara spontan membentuk komunitas virtual yang tidak mungkin dibentuk dengan jalan lain secara tradisional (Holmes, 2012, hal. 18).
Setiap harinya jutaan informasi diserap oleh banyak warganet entah itu informasi yang bermanfaat ataupun bisa juga informasi yang merugikan. Karena itulah masyarakat menganggap dunia maya menjadi wadah terbaik dalam menyuarakan pendapat dan berekspresi.
Akan tetapi, di sisi lain masyarakat juga menjadi sangat mudah dalam menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya (hoax) dan juga menyampaikan ujaran-ujaran kebencian atau yang biasa dikenal dengan ‘menghujat’.
Di mata dunia, Indonesia terkenal dengan penduduknya yang ramah dan murah senyum. Salah satu faktornya yaitu cerminan budaya di Indonesia yang hampir semuanya mengajarkan sopan santun. Akan tetapi citra ramah tersebut tidak berlaku bagi netizen Indonesia. Karena kesopanan netizen Indonesia dalam bersosial media dinilai sangat rendah.
Masyarakat Indonesia yang merasa memiliki kebebasan bersuara dan berekspresi ini juga didasarkan dengan adanya perundang-undangan yang mengatur tentang kebebasan berpendapat.
Dimulai dari era reformasi di mana kebebasan berpendapat mulai mendapat ruang yang ditandai dengan dikeluarkannya UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang mengemukakan pendapat di muka umum dalam pemenuhan jaminan hak asasi manusia.
Dalam UU tersebut berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”. UU tersebut menjadi landasan beberapa warganet untuk berekspresi tanpa memperhatikan norma yang berlaku.
Bahkan, dalam media sosial sering kali kebebasan berekspresi sudah sangat melampaui batas normal dan etika manusia yang berakhlak dan memiliki hati nurani. Komentar negatif dan segala bentuk hujatan selalu keluar dari mulut netizen Indonesia.
Parahnya hujatan ini tidak hanya sekadar untuk pertemanan atau orang-orang biasa seperti kita. Justru hujatan ini sering kali dilontarkan untuk para orang terkemuka. Seperti para artis, influencer, selebgram, hingga pejabat. Tidak dapat dipungkiri pejabat yang dihujat adalah salah satunya adalah seorang presiden, pemimpin negara kita.
Terlebih jika ada postingan yang mentrigger netizen dan cenderung bersifat proaktif, maka seolah postingan tersebut menjadi wadah untuk saling bersikeras dengan opini masing-masing.
Jika ada yang tidak sependapat maka akan menjadi target penyerangan warganet lain, bahkan hingga dihina dengan bahasa yang seolah tidak berhati nurani. Dan setelah melukai mental ‘korban’ yang dihujat, mereka pun tidak merasa bersalah sama sekali dan berlindung dibalik UU kebebasan berpendapat.
Hal ini menunjukkan pemanfaatan media sosial dalam menyampaikan informasi yang diharapkan membawa dampak positif, ternyata di samping itu pemanfaatan media sosial sebagai media alternatif dalam menyampaikan informasi ternyata juga banyak membawa dampak negatif dalam kehidupan, salah satunya yaitu depresi.
Tidak hanya mental sasaran yang menjadi korban, pengguna media sosial yang membacanya tentu juga dapat terpengaruh jika membaca kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan.
Efek media sosial sebagai penyebab depresi berkaitan dengan interaksi yang tidak sehat antar pengguna yang bersifat negatif, salah satunya yaitu ujaran kebencian. Caci maki, sumpah serapah, bahkan fitnah pun kerap lewat timeline maupun kolom komentar di media sosial, baik twitter, Instagram, facebook, tiktok, maupun media sosial lainnya.
Isu pokok mengenai kebebasan berpendapat yaitu aturan dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, dan budaya berkomunikasi. Salah satu prinsip komunikasi adalah irreversible atau tidak dapat ditarik kembali, sehingga penting untuk menanamkan dalam diri khususnya remaja mengenai bertanggung jawab dalam hal komunikasi.
Karena keterampilan dalam berkomunikasi dan menyampaikan pendapat baik secara personal maupun publik sangat dibutuhkan oleh remaja dalam interaksi kesehariannya, yang mana hal itu dapat dipengaruhi oleh cara berkomunikasi di media sosial. Kesadaran masyarakat pengguna media sosial juga berperan penting dalam penciptaan lingkungan media sosial yang sehat.
Masyarakat harus menyadari bahwa kebebasan berpendapat mereka yang dijamin negara sesungguhnya juga harus mematuhi norma dan tata aturan yang ada di masyarakat.
Media sosial berperan sangat penting dalam menggerakkan perubahan masyarakat, sehingga kehadirannya harus diatur sedetail mungkin untuk memastikan tercapainya perbaikan kehidupan sosial dan meminimalisir timbulnya ekses negatif terhadap masyarakat.
Karena pada hakikatnya, media merupakan perkara publik dan lingkup kerjanya selalu berada dalam ranah publik (Habermas, 1984). Sehingga perlu adanya kerja sama dari warganet dan pemerintah dalam usaha menciptakan interaksi media sosial yang sehat dan lebih bermanfaat.
Pembatasan usia pengguna media sosial juga perlu diperhatikan guna membentuk karakter anak maupun remaja yang baik dan untuk menjaga kesehatan mentalnya. Kesadaran masyarakat pengguna media sosial tentu juga berperan penting dalam penciptaan lingkungan media sosial yang sehat.
Masyarakat harus menyadari bahwa kebebasan berpendapat mereka yang dijamin negara sesungguhnya juga harus mematuhi norma dan tata aturan yang ada di masyarakat. Kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Masyarakat berhak untuk memperoleh edukasi tentang bagaimana menyuarakan pendapat dan mengekspresikan diri di ruang publik, khususnya di media sosial yang nyaris tak terkontrol ini. Karena hal ini pun akan mempengaruhi karakter remaja dikarenakan sifat remaja yang cenderung impulsif dan ikut-ikutan membuat mereka pun tergabung dalam menyampaikan ujaran kebencian dan secara alami akan merusak karakter mereka.
Maka salah satu etika dalam bermedia sosial adalah gunakan prinsip kebebasan yang bertanggung jawab. Karena apa yang kita sampaikan dapat berdampak bagi orang lain. Jangan menjadikan adanya kebebasan berpendapat menjadi tameng kita untuk bisa berkomentar sesuka hati kita kepada orang lain.