Di tengah beberapa kesibukan pekerjaan, saya menaruh perhatian lebih besar pada penyelesaian skripsi. Sidang skripsi sudah di depan mata.
Selain harap-harap cemas terkait pelaksanaannya kelak, saya juga agak risih dengan keharusan menyiapkan tiga salinan skripsi setebal sekitar 90 halaman. Dua eksemplar saya siapkan untuk pembimbing 1 dan 2, satu skripsi lagi untuk jadi pegangan saya.
Hari ini adalah tepat dua pekan berlalu sejak sidang skripsi berlangsung. Sepulang sidang, saya membawa tiga eksemplar salinan skripsi dengan total sejumlah 270 halaman. Perjalanan Jakarta-Bandung jadi terasa lebih berat. Selain karena tanggung jawab revisi, juga karena isi ransel yang memang lebih berat. Iya, berat yang harfiah.
Saya masih bisa membayangkan betapa banyak kertas yang harus saya habiskan dalam pengurusan skripsi itu. Sejak proposal skripsi hingga surat-surat perbaikan dan kontrak penyelesaian revisi.
Merasa sayang? Jujur saja, iya. Namun, penggunaan kertas dalam konteks skripsi ini cenderung mengirim saya pada memori tentang wacana digitalisasi yang merebak sejak 2016 lalu, serta ketergesaan Indonesia dalam menghadapi Industri 4.0.
Industri 4.0; Di Mana Kertas?
Maret 2016, sebuah foto beredar dan jadi perbincangan banyak orang—terutama mahasiswa. Dalam foto itu, terpampang gunungan skripsi tergeletak di atas tanah dan bersiap diangkut ke atas sebuah mobil bak terbuka. Warganet menduga, skripsi-skripsi yang bertanda salah satu perguruan tinggi di Makassar itu hendak diloak.
Kebanyakan mahasiswa (atau eks mahasiswa) yang menyayangkan gunungan kertas itu diperlakukan begitu asal tentu tahu persis bahwa di dalam jilid-jilid skripsi itu tertuang kekayaan pemikiran yang beragam.
Tuduhan-tuduhan terhadap pihak kampus di Makassar itu ditanggapi. Mereka yang bertanggung jawab kemudian menjelaskan bahwa skripsi itu tidak dibuang, melainkan hanya disiangi fisiknya.
Sebelumnya, skripsi-skripsi tersebut telah dikonversi ke dalam bentuk file .pdf—membuatnya dapat diakses melalui website perpustakaan. Ramainya perbincangan tentang gunungan kertas yang dibuang itu membuat wacana proses pemberian atau pemakaian sistem digital (digitalisasi) kian mencuat.
Sebetulnya, Kementerian Perindustrian mencatat bahwa kedekatan Indonesia dengan kemudahan konektivitas, interaksi, dan peleburan batas antara manusia, mesin, dan sumber daya lain melalui teknologi informasi dan komunikasi dimulai sejak 2011. Namun perubahannya pelan. Sangat pelan—bahkan hingga hari ini.
Dalam konteks perguruan tinggi dan perindustrian dewasa ini, sistem digital sudah sangat dekat dengan peradaban manusia. Bahkan kian lekat dan tak bisa dipisahkan dari manusia.
Kampus-kampus sudah menerapkan metode digital untuk pengisian KRS, pemberian KHS, penyebaran jadwal, dan sebagainya. Itu hanya setitik kecil perubahan yang akan dialami dalam konteks industri 4.0 yang kelak akan mencapai puncaknya pada 2030 (lebih lanjut, silakan baca siaran pers yang diterbitkan Kemenperin mengenai industri 4.0 di SINI).
Industri 4.0 sebetulnya adalah istilah tren automasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik. Lima teknologi utama yang menopang pembangunan sistem ini adalah Internet of Things, Artificial Intelligence, Human–Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D Printing.
Maka, Indonesia menyiapkan diri melalui sebuah strategi, yaitu menyiapkan lima sektor manufaktur yang akan menjadi percontohan dalam upaya memperkuat fundamental struktur industri Tanah Air: industri makanan dan minuman, otomotif, elektronik, kimia, serta tekstil.
Lantas, di manakah kertas dalam konstelasi dunia yang makin canggih itu?
Industri kertas—serta manufaktur pada umumnya—sebagai salah satu industri pokok nasional tentu mengalami keuntungan. Percepatan gerak karena diberlakukannya sistem siber-fisik (cyber physical systems) membuat industri kertas tidak akan terganggu sama sekali, bahkan memungkinkan produktivitasnya makin menggila.
Implementasi Industri 4.0 tentu tidak hanya memiliki potensi luar biasa dalam merombak aspek industri, tetapi pun sanggup mengubah berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Maka, di tataran yang lebih membumi; yang lebih dekat dengan manusia dan masyarakat, pertanyaan muncul: siapa yang akan menggunakan kertas? Masihkah kertas jadi media alternatif utama, tempat manusia mengabadikan pemikiran dan karya-karya?
Secara personal, saya begitu yakin bahwa kertas tak akan mati. Contoh sederhana yang kasat mata adalah transformasi kebiasaan mengakses buku dari bentuk tradisional ke bentuk elektronik.
Meski lebih praktis, membaca buku melalui gawai dianggap tidak menimbulkan sensasi seperti buku biasa. Alasan pertama, manusia sebagai makhluk sensasional dan perseptif masih jadi sumber penimbang keputusan paling utama—bahkan di atas teknologi dan industri.
Selama manusia masih menghargai pengalaman personalnya serta menganggap penting the problem of justification, maka manusia tak akan meninggalkan hal-hal yang sifatnya tradisional dan konvensional.
Alasan kedua, percepatan teknologi tidak mungkin terjadi dalam waktu yang singkat. Banyak prasyarat yang harus dipenuhi oleh industri 4.0, yaitu kemelimpahan sumber daya listrik dan kemudahan jaringan internet dengan bandwidth besar dan jangkauan luas. Dibutuhkan pula jaminan pemerataan dan sumber daya manusia. Poin terakhir itu, bagi saya, merupakan hal yang paling krusial.
Kebajikan Kertas
Dalam mengenang kiprah kertas, banyak orang akan mengaitkannya dengan peradaban dan pemikiran manusia sepanjang sejarah. Kertas sudah menemani manusia di waktu yang sangat panjang. Ketika kelak muncul penggantinya, yaitu media digital, maka akan dibutuhkan waktu yang panjang pula.
Berdasarkan pengalaman saya sebagai generasi langgas, kemudahan konektivitas dan interaksi antarmanusia belum juga stabil sejak kelahirannya—baik secara industrial maupun secara psikologis. Bersamaan dengan lompatan dari kertas ke digital, ketakjuban pada industri telah mengaburkan hal yang seharusnya jadi perhatian utama, yaitu kesiapan dan kesigapan psikologis manusia dalam bertukar informasi.
Ada sebuah paket data yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika pada awal 2017. Paket data itu berisi daftar dan jumlah situs serta akun media sosial penebar kebencian dan berita bohong. Dari tahun ke tahun, jumlahnya terus bertambah.
Di tahun itu, data Kemenkominfo menyebutkan, ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Di sudut yang lain, banyak orang Indonesia yang belum mampu mencerna informasi dengan benar, tetapi berkeinginan kuat untuk segera menyebarkannya. Simsalabim! Jadilah informasi palsu itu menghadirkan sebuah industri baru yang berkembang hingga hari ini.
Tentu itu bukan hal aneh. Informasi dengan mudahnya berlesatan di udara bagai ninja. Geraknya cepat dan sulit terkontrol.
Tepat di situlah perbedaan antara literasi tradisional dan digital. Kehati-hatian, kewaspadaan, dan pertanggungjawaban klaim kebenaran pengetahuan lebih dimungkinkan terjadi dalam konsumsi serta penyebaran di media konvensional. Manusia jadi tak perlu berkejaran dengan waktu, apalagi dikalahkan olehnya.
Kebajikan kertas sesungguhnya terdapat pada hal-hal yang terkandung di dalamnya. Apakah itu? Kita, manusia; manusia yang berpikir dan berdialektika dengan realitas kehidupan; manusia dan relasi intersubjektivitas yang kemudian memunculkan pemaknaan-pemaknaan diskursif.
Kertas dan media literasi tradisional akan selalu ada di tengah semua itu. Secanggih apa pun kemampuan sistem dalam membantu manusia membuat keputusan dan menyelesaikan masalah-masalah, kerinduan akan peristiwa dan bentuk asali akan selalu ada.