"At any street corner the feeling of absurdity can strike any man in the face"  Gagasan dari Albert Camus ini mungkin benar saja jika dibandingkan dengan kita yang selalu menanggapi sesuatu dengan begitu serius, merasa absurd mungkin merupakan cara yang tepat untuk memaklumi ketidakpastian dan ketidakjelasan hidup dengan segala humornya.

Semenjak era digital mulai merebak, kita telah menjadi tuhan bagi diri kita sendiri. kita merasa dapat mempermudah segala sesuatu yang ada dalam hidup dengan begitu sistematis. Untuk melihat sesuatu yang sedang terjadi dibelahan dunia, kita tidak lagi harus berpergian, cukup hanya dengan rebahan dan memainkan jari kita.

Begitu banyaknya konsumsi informasi, sehingga kita terkadang tidak dapat memfiltrasi mana yang bermanfaat bagi diri kita dan mana yang tidak. Kita sering diresahkan oleh informasi menyerang kelompok atau sesuatu yang kita sukai, dan kita berusaha mencarikan argumen untuk membelanya. 

Begitu juga apabila ada suatu informasi yang menyerang kelompok atau sesuatu yang tidak kita sukai kita juga berusaha mencarikan argumen untuk menjustifikasi kelompok tersebut.

Jari kita memainkan peran sesuai instruksi batin dan dikonfirmasi oleh akal untuk mendebat lawan dengan begitu serius, padahal informasi yang kita terima belum tentu kebenarannya. Hal ini begitu absurd karena tidak ada pengaruh bagi kehidupan kita, kita hanya membuang buang waktu untuk hal yang tidak penting. Tetapi kita asik dengan hal yang tidak penting itu.

Jika menengok Gagasan dari filsuf eksistensialis sebelumnya yaitu Søren Kierkegaard tentang the crowd atau problem besar manusia adalah problem kerumunan "massing of society" atau yang lebih relevan sekarang dengan istilah trend. 

Tambahnya, kehidupan manusia modern sering kali hidup dengan logika kerumunan yang hanya mengikuti trend di sekitar dan membuat kita tidak otentik menjadi diri sendiri.

Ketidaksesuaian antara kehidupan batin dan penampilan publik adalah ketidakkonsistenan atau bisa dibilang kebohongan. Topeng-Topeng yang kita kenakan hanya untuk mengelabui agar kita mendapat pengakuan bahwa kita salah satu bagian dari mereka, kita tidak berani berbeda. "Krisis eksistensialis" bagaimana cara kita mengada hanya dengan mengikuti mayoritas.

Menurut Kierkegaard hidup kita sekarang adalah seperti makhluk anonim atau makhluk yang tidak mempunyai identitas, karena kita hanya ikut yang terjadi di sekeliling kita. 

Trend yang kita ikuti hanya agar mendapat pengakuan dari orang lain. Mulai dari pakaian, merk handphone dan juga gaya hidup seperti kebutuhan perut, kita tidak lagi memprioritaskan kebutuhan perut sebagai prioritas utama, tetapi kita hanya memuaskan kebutuhan mulut.

Logika kerumunan inilah yang membuat kita menerapkan ideal-ideal pada hidup yang dianggap normal. ideal-ideal yang kita terapkan pada hakikatnya bertabrakan dengan diri kita, tetapi kita kejar itu agar mendapat predikat normal dari orang lain. 

Pada akhirnya kita juga diresahkan dengan ideal-ideal yang kita terapkan sendiri. Usaha kita dalam mengejar hidup yang dianggap 'normal' itu justru membuat diri kita aneh, yang lebih anehnya kita tidak menyadari akan hal itu. Dan bertanya kenapa hidup ini aneh ?

Ekspektasi tinggi tentang sesuatu yang pada akhirnya hanya mematok harapan tentang sesuatu dimana disitu juga terdapat paradoks. Tetapi kita selalu bersikeras bahwa dunia ini rapi dan sesuai dengan apa yang direncanakan yang pada akhirnya hanya terlempar oleh faktisitas-faktisitas.

Keanehan inilah yang digambarkan oleh Camus dalam novelnya (mitos sisifus). Dimana Sisifus dihukum oleh para dewa akibat ambisinya pada kehidupan.

Sisifus adalah putra raja Aeolus yang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak zalim. Akibatnya Sisifus dihukum di neraka, di neraka sisifus tidak kehilangan kelicikannya, ditipulah para dewa dengan berdalih ingin merasakan sejenak bumi, tetapi sesampainya dibumi Sisifus terlena dengan keindahannya dan membuatnya tidak mau kembali ke neraka.

Gambaran tentang ambisiusnya pada kehidupan dan kebencian pada kematian ini membuat dewa semakin geram yang pada akhirnya menghukum Sisifus untuk mendorong batu ke atas gunung, tetapi apabila batu itu sampai puncak, batu itu menggelinding kembali ke bawah, dan Sisifus harus turun kembali ke bawah untuk mendorong batu tersebut. Hal itu terjadi terus menerus berulang entah sampai kapan.

Hukuman inilah yang digambarkan oleh Camus pada kehidupan manusia yang tidak jelas, karena setiap usahanya selalu berbuah sia-sia.

Sadar atau tidak Sisifus itulah kita. Kita sering berupaya untuk mendapatkan ideal dalam hidup yang dalam kenyataan sebenarnya adalah sia-sia, tetapi kita selalu bersikeras bahwa itulah kebahagiaan hidup yang sebenarnya, kita hanya selalu mengejar, mengejar dan mengejar.

Padahal menurut Camus " you will never be happy if you continue to search" kita tidak akan menemukan kebahagiaan apabila kita terus mencari atau mengejar kebahagiaan, karena kita hanya diresahkan oleh proses pengejaran itu. Dengan kata lain kebahagiaan terletak di dalam bukan di luar.

Lalu bagaimana solusi dalam menghadapi hidup yang absurd ini?

Yang pertama, menurut Camus kita harus menerima bahwa hidup ini memang absurd, kita tidak lagi bersusah payah mencarikan argumen bahwa hidup ini rapi sesuai dengan apa yang direncanakan.

Camus juga memperkenalkan Gagasan "acceptance without resignation" (menerima tanpa menyerah) sebagai jalan untuk menerima bahwa hidup ini memang absurd. kita harus tetap menjalani hidup walaupun kenyataannya memang absurd, menerima bagaimana dunia bekerja tetapi kita harus tetap menikmati.

Menurut Camus, kita harus memaknai hidup kita menurut versi kita sendiri, atau menjadi diri sendiri tanpa bersandar dan bersikeras dengan mencari makna yang hakiki atau ideal yang kita terapkan dengan mengikuti "logika kerumunan " Itu.

Selain itu dalam ujung novelnya dengan optimisme yang juga absurd, Camus menginginkan kita membayangkan bahwa Sisifus ini bahagia dalam menjalani hukuman itu walaupun selalu berujung sia-sia.

Jika kita cermati, bahwa keabsurdan ini sebenarnya adalah tentang kelucuan kehidupan kita. Saya teringat dengan sufi terkenal yaitu Nasrudin Hoja, dengan cerita-cerita jenakanya terdapat makna yang mendalam, ini juga mengisyaratkan bahwa menikmati hidup secara mendalam tidak harus dengan selalu serius.

Cara kita memandang dunia dengan perspektif yang selalu serius membuat kita kaku dalam menghadapi keabsurdan yang dunia sajikan. Kelucuan kita ketika menanggapi sesuatu yang sebenarnya lucu dengan serius merupakan keabsurdan yang begitu absurd.

Begitu juga menurut Abu Hayyan at-Tauhidi dalam al-Bashir wa al-Dakhir "jangan engkau jauhkan dirimu dari mendengar sesuatu tentang kejadian sederhana yang lucu. Sebab bila engkau tidak mau memperhatikannya, pemahamanmu akan menjadi picik dan watakmu menjadi kurang tanggap. Dan bila engkau tidak mampu menikmati segarnya humor, awan kelabu kehidupan yang serius akan menghancurkanmu"