Tidak mungkin hilang seketika ingatan sosial kita mengenai kasus yang menyeret Irjen Ferdy Sambo yang baru saja ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Sebelumnya, publik disuguhkan oleh media massa bahwa Bharada Eliezer dan Brigadir Ricky, serta sopir istri Ferdy Sambo menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan berdarah di tempat kediaman Irjen Ferd Sambo.

Namun logika publik tidak berhenti sampai di situ, karena publik terus mencari dari berbagai kejanggalan-kejanggalan dalam kasus tersebut. Dugaan publik adalah ada orang yang mendalangi pembunuhan tersebut dan pada akhirnya Ferdy Sambo adalah orang yang diduga kuat mendalangi kematian.

Logika publik bukan dihasilkan dari asumsi yang mengawang di siang bolong akan tetapi logika publik didasarkan logika pada umumnya. Logika tersebut berbasis pada akal sehat (common sense) yang merupakan salah satu perangkat khusus yang diberikan Alkhalik untuk mendeteksi kebenaran. Memang logika bukanlah fakta tetapi merupakan penyelarasan antara pengalaman, ilmu pengetahuan, dan kesadaran yang dihimpun secara koheren sehingga memberi suatu hipotesis awal mengenai suatu hal.

Hukum mengisyaratkan adanya fakta dan bukti akan tetapi yang mendasari hubungan fakta dan bukti adalah logika. Oleh sebab itu logika hukum itu berpijak pada hukum logika. Tidak heran apabila terdapat adagium lex neminem cigit ad impossibilia (hukum tidak memaksakan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin), dengan kata lain “hukum tidak mengatur hal-hal yang tidak masuk akal”.

Secara umum dalam kajian epistemologi, berpikir logis mempunyai 3 komponen yaitu (i) konsep, (ii) keputusan, dan (iii) penalaran atau reasoning. Dari ketiga komponen tersebut saling terkait untuk dapat memberikan kesimpulan yang tepat. Artinya, apabila salah satu dari ketiga komponen tersebut tidak ada maka tidak akan dapat memberikan kesimpulan yang tepat.

Ketiga komponen dari logika itu dihubungkan pada kasus Ferdy Sambo, maka akan diperoleh beberapa hipotesis. Pertama, konsep atau pengertian itu berbicara mengenai suatu kejadian, peristiwa atau objek. Pada kasus Ferdy Sambo, kronologi awal Brigadir J melakukan pelecehan seksual terhadap Putri (istri dari Ferdy Sambo), kemudian Putri berteriak akhirnya teriakan tersebut terdengar oleh Bharada Eliezer akhirnya setelah Bharada Eliezer masuk ruangan langsung terjadi baku tembak antara Bharada Eliezer yang menembak sebanyak 5x dengan Brigadir Yoshua yang menembak sebanyak 7x namun tidak sedikitpun tembakan tersebut mengenai Brigadir Eliezer pada akhirnya mengakibatkan kematian Brigadir Yoshua.

Kedua, keputusan di sini berbicara mengenai suatu sikap individu ketika mengungkapkan untuk mengakui atau memungkiri suatu perkara atau suatu hal. Ternyata, setelah terjadi kematian Brigadir Yoshua, keputusan Ferdy Sambo ternyata hanya diam meskipun mengetahui adanya kematian di rumahnya, serta penyelidikan dilakukan setelah 2-3 hari kematian Brigadir Yoshua. Secara bersamaan CCTV di rumah Ferdy Sambo dikabarkan rusak dan hilang.

Ketiga, penalaran merupakan kegiatan berpikir untuk menghubungkan fakta atau data yang ada sehingga sampai pada suatu simpulan. Pada kasus Ferdy Sambo penalaran yang benar dapat dilakukan yaitu terdapat berbagai pertentangan antara kejadian satu dengan lainnya sehingga diperoleh data atau fakta yang tidak berkesesuaian.

Mulai dari kematian brigadir Yoshua yang meskipun menembak sebanyak 7x tidak ada satu pun peluru yang mengenai Brigadir Eliezer, kemudian 2-3 hari setelah kematian brigadir Yoshua baru dimulai penyelidikan, sikap diamnya Ferdy Sambo meski mengetahui baku tembak dan kematian brigadir Yoshua, kemudian tiba-tiba CCTV hilang mendadak, menggambarkan betapa proses penalaran akhirnya memberikan kesimpulan yang tidak logis dan tidak tepat.

Ketidaklogisan tersebut kemudian terjawab dari hari ke hari sampai pada akhirnya Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengumumkan Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka. Hal ini semakin membuktikan bahwa logika itu merupakan pre-asumsi kebenaran. Sensor tajam logika mampu menembus batas-batas tipu muslihat, dominasi, serta kebohongan sehingga ia sedikit demi sedikit semakin memperlihatkan kebenaran yang dikuatkan dengan berbagai temuan fakta dan bukti.

Pada proses penyidikan, ditemukan fakta bahwa tidak ada pelecehan seksual terhadap Putri dan tidak ada kejadian baku tembak yang mengakibatkan kematian Brigadir Yoshua, yang ada adalah dugaan pembunuhan berencana. Logika sudah menerawang pembunuhan berencana itu dalam hipotesisnya sehingga tinggal menunggu fakta dan bukti untuk menyatakan kebenaran akan sesuatu.

Konon kebenaran itu tidak perlu dibuktikan karena kebenaran akan memperlihatkan dirinya sendiri kepada semua orang. Dalam kajian hukum alam atau sering disebut hukum kodrat, kebenaran hukum alam itu bersumber dari Tuhan dan akal manusia. Keabsahan dari hukum alam tidak perlu dibuktikan karena telah jelas ia bersumber dari Tuhan dan akal manusia.

Bahkan hukum alam yang bersifat universal (berlaku di mana pun dan kapan pun) itu menjadi batu uji terhadap hukum positif (hukum yang berlaku di suatu negara). Artinya hukum positif tidak boleh bertentangan dengan hukum alam. Sekalipun hukum positif dapat berubah sesuai perkembangan masyarakat serta peradabannya, tetapi hukum alam tidak berubah.

Dalam perjalanan sejarahnya, kekuatan hukum alam itu dinamis, terkadang naik dan terkadang turun tetapi tidak pernah lenyap. Jarang sekali disadari oleh manusia bahwa ketika berbagai ketidakadilan yang dilakukan oleh orang, kelompok, organisasi, maupun negara, seolah-olah keadilan itu tidak ada.

Padahal penghukuman hukum alam itu jauh lebih berat daripada hukum positif buatan manusia. Hukum positif menyatakan barangsiapa melakukan penipuan dihukum paling maksimal penjara 4 tahun (Pasal 378 KUHP). Akan tetapi orang yang melakukan penipuan tersebut dihukum oleh hukum alam berupa hancurnya kepercayaan banyak orang terhadap dirinya, sulitnya mencari pekerjaan, diperlakuakn secara diskriminatif akibat pernah dipidana, dan lain sebagainya.

Artinya, melalui penghukuman hukum alam, satu perbuatan dapat merusak seluruh upaya dan usaha yang dilakukan seseorang. Coba dibayangkan seorang yang bertahun-tahun berusaha keras menjadi presiden dan akhirnya ia menjadi presiden tetapi suatu saat ia ketahuan korupsi. Maka yang terjadi seluruh upaya dan usaha ia sejak awal untuk menjadi presiden hancur seketika hanya karena satu perbuatan jahat yaitu korupsi.

Dalam kasus Ferdy Sambo, Ferdy Sambo yang diduga menjadi dalang di balik kematian Brigadir Yoshua tidak pernah berpikir bahwa kekuatan hukum alam begitu dahsyat. Menurut isu yang berkembang, Ferdy Sambo akan dijagokan untuk menjadi Kapolri, tetapi nampaknya seluruh upaya dan usahanya tersebut harus dikuburkan seketika karena kasus yang sedang ia hadapi sekarang.

Upaya dan usahanya selama kurang lebih 49 tahun (usianya saat ini) untuk berkarir menata kehidupan akhirnya harus lenyap hanya karena satu perbuatan jahatnya. Inilah kegagalan Ferdy Sambo dalam membaca hukuman hukum alam terhadap dirinya. Ia mungkin berpikir bahwa semua bisa dimanipulasi karena jabatan yang ia miliki. tetapi nasib berkata lain.

Hukum alam bukan hanya ornamen yang sering ditulis dalam bentuk teks-teks oleh para filsuf, tetapi hukum alam begitu nyata dan aktual yang hidup di dalam waktu. Hukum alam akan benar-benar menguak kebenaran. Oleh sebab itu barangsiapa memperlakukan waktu, demikian pula waktu akan memperlakukan orang yang bersangkutan. Apabila orang melakukan kejahatan di dalam waktu, maka waktu akan membalasnya dengan hal yang setimpal. Semua “tinggal tunggu waktunya”.