Alih-alih menjadi karya tulis yang dijauhi, malah menjadikannya justru dicari-cari.
Dunia Terhentak oleh Sebuah Novel
Tahun 1989, dunia pernah terguncang oleh sebuah karya literasi dalam bentuk novel.
Waktu itu, novel yang rangkaian kisah di dalamnya dinilai menyinggung umat Islam pun membuat banyak negara mencegah dan menangkal kehadiran salinannya, agar tak beredar bagi masyarakat umum di dalam negara tersebut.
Tak hanya itu, bahkan kehebohan yang terjadi karena novel tersebut pun bahkan membuat seorang imam besar karismatik, pemimpin negara di kawasan Timur Tengah, menjatuhkan hukuman mati bagi penulis novel tersebut.
The Satanic Verses, demikian judul novel tersebut, yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, judul tersebut berarti Ayat-Ayat Setan.
Atas nama kebebasan berekspresi melalui guratan tinta tulisan, novel tersebut pun menjadi tak sepenuhnya terlarang. Alih-alih menjadi karya tulis yang dijauhi, malah menjadikannya justru dicari-cari.
Lalu banyak para ahli, mendalami isi novel tersebut, menelaah sisi alur kisah, cara bertutur, makna yang tersirat, serta memprediksi pengaruhnya akan kehadiran karya-karya tulis mendatang, baik oleh penulis yang sama, maupun oleh penulis lain.
Penelitian pun dilakukan terhadap sumber inspirasi karya tulis tersebut, yang hasilnya, hingga saat ini, menangkap adanya indikasi terdapat peran makhluk ciptaan Tuhan dalam membentuk terminologi ayat-ayat setan. Makhluk tersebut, tiada lain adalah si setan itu sendiri.
…adalah caraNya guna menguji manusia menuju kemuliaan.
Ketergesa-gesaan Mengupas Makna
Secara eksplisit, penelitian terhadap makna yang tersirat pada alur kisah dalam novel dimaksud, adalah pada petikan dua ayat dalam Quran, yakni surah ke-53, An-Najm, khususnya ayat ke-19 dan ke-20.
Kedua ayat tersebut berisikan Kalam Ilahiah tentang keberadaan tiga berhala, yakni dua dewa dan satu dewi, yang tak layak disembah.
Sementara itu, bagi setan, kedua ayat Kalam Ilahiah tersebut justru diambil sebagai peluang guna menyesatkan manusia. Diubah maknanya bukan sebagai berhala-berhala yang tak layak sembah, melainkan menjadi sekumpulan sosok tuhan pemenuh harapan.
Padahal, Quran Surah ke-53, An-Najm, yang berarti bintang, mencakup Kalam-Kalam Ilahi tentang bagaimana proses turunnya wahyu Ilahiah kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Serta pesan bagi kaum Muslim, yakni orang-orang berserah diri, agar memaknai berkesudahannya orang-orang terdahulu, seperti yang dialami oleh orang-orang tak beriman pada era nabi Nuh, Ibrahim dan Luth.
Adapun dialog Tuhan dengan iblis, yakni nenek moyangnya setan, itu tertuang dalam Quran surah ke-15, Al-Hijr, yang berarti perbukitan negeri Tsamud, perihal iblis yang tak sudi bersujud di hadapan manusia karena terbuat dari tanah hitam yang lemah.
Sejak itu iblis dan keturunannya, yakni setan-setan, mendapat penangguhan waktu hingga kiamat, guna menggoda manusia agar sesat mengikuti jalan mereka.
Hanya saja iblis memang bilang, kecuali mereka yang bertakwa padaNya.
Diperkuat dengan makna atas diijinkannya oleh Tuhan bagi iblis dan setan menggoda manusia hingga kiamat, justru adalah caraNya guna menguji manusia menuju kemuliaan. Karena manusia adalah makhluk ciptaan paling mulia, sebagaimana tertuang dalam Quran surah ke-17, Al-Isra' ayat 70.
Dengan demikian, argumen akan adanya campur tangan iblis dan setan, bukan dalam cakupan isi Kalam Ilahiah yang tersurat, sehingga terminologi ayat-ayat setan menjadi tergurat ada.
Melainkan, godaan yang ditebar bagi manusia untuk selalu memelintir makna atas kedua ayat surah An-Najm tersebut. Termasuk, bukan tak mungkin, bagi ayat-ayat yang lain.
Penulis novel itu pun secara tergesa-gesa memaknai keberadaan terminologi yang menyesatkan tersebut. Lalu dia sembrono menjadikannya sebagai sebuah judul novel, yang berpeluang menekuk cara berpikir, sebuah mindset, bagi banyak orang.
…beriring dengan masa kekalifahan ketiga, era kekalifahan Rasyidin.
Mengumpulkan Kalam-Kalam Ilahiah Menjadi Kitab Quran
Konon, pada masa awal perkembangan Islam setelah nabi Muhammad SAW (Shalallahu Alaihi Wassalam, semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepadanya) berpulang ke Rahmatullah, ada semacam tradisi dalam bentuk penyampaian kisah tentang adanya kekeliruan makna Kalam Ilahiah.
Kalam Ilahiah dimaksud, sebagaimana kelak tercantum sebagai dua ayat dalam surah An-Najm, yakni ayat ke-19 dan ke-20, perihal keberadaan berhala-berhala sesembahan nenek moyang bangsa Arab, Mekkah, pra Islam. Ketiga sesembahan itu ialah; latta, uzza, yang keduanya dianggap sebagai dewa lelaki dan manat, yang dianggap sebagai dewa perempuan.
Adanya penyebutan sesembahan selain Allah SWT (Subhanahu Wa Ta’ala, Mahasuci lagi Mahatinggi), menjadi peluang bagi setan guna memelintir makna kedua ayat tersebut, agar manusia tersesat. Oleh setan, ketiga dewa tersebut termaknai sebagai simbol tumbuhnya harapan.
Bila benar sejarahnya demikian, maka tradisi tersebut beriring dengan masa kekalifahan ketiga, era kekalifahan Rasyidin yakni Utsman bin Affan, hingga beliau meninggal, setelah 30-an tahun nabi Muhammad SAW wafat.
Utsman bin Affan yang mendapat julukan Dzun Nurain, yang bermakna pemilik dua cahaya, menjadi kalifah yang menetapkan kebijakan mengumpulkan ayat-ayat Kalam Ilahiah yang pernah disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam syiar beliau, setelah mendapatkan wahyu Allah SWT melalui perantara malaikat Jibril.
Penyusunan Quran pun dimulai sejak Kalifah Usman bin Affan.
Lalu sekali lagi, apabila benar, tradisi tentang ayat-ayat keliru tafsir akibat campur tangan setan, yang kemudian tersusun dalam Quran sebagai bagian surah An-Najm ayat ke-19 dan ke-20 tersebut, tak berlanjut lagi.
Kenapa demikian? Karena ayat-ayat yang telah terkumpul menjadi surah-surah dalam kitab Quran, maka antara ayat-ayat dalam surah yang satu dengan lainnya, ada yang mengulang dan bersifat menjelaskan ayat-ayat sebelum pun sesudahnya.
…‘kartu’ taruhan dalam membangun pemahaman ‘that’s something wrong in Quran.’
Antara Surah serta Ayat Saling Terkait dan Menjelaskan
Kejadian keliru tafsir tersebut bisa saja terjadi. Bukan dari nabi Muhammad SAW, melainkan oleh orang ataupun sekelompok orang, yang mencoba mengambil peluang agar pemaknaan akan isi Quran, sebagian maupun keseluruhan, menjadi meragukan.
Jelas, usaha itu merupakan makna dari niatan campur tangan setan.
Kisah tentang adanya keliru tafsir gara-gara campur tangan setan itu pun lalu menjadi catatan tersendiri dan dikembangkan sebagai kajian telaahan kalangan Orientalis, para penelaah peradaban dunia timur tengah hingga asia, pada abad 19-an.
Istilah satanic verses pun muncul, lalu populer didunia barat, saat seru-serunya era telaahan kalangan Orientalis tersebut. Menjadi semacam ‘kartu’ taruhan dalam membangun pemahaman ‘that’s something wrong in Quran.’
Sementara itu, terdapat silang pendapat pula terhadap adanya kisah pada awal-awal masa kekalifahan Islam, perihal terminologi yang ratusan kemudian dikenal sebagai satanic verses, ayat-ayat setan.
Bahkan, silang pendapat dalam kalangan Orientalis itu sendiri, setelah mereka mencoba memahami makna surah Al-Hajj ayat ke-52, perihal setan yang terus menggoda, bahkan pada ketetapan hati seorang nabi, baik nabi Muhammad SAW maupun nabi-nabi sebelumnya.
Juga tersurat KalamNya dalam surah Al-Isra ayat ke-73 dan ke-74, perihal keteguhan hati bagi nabi Muhammad SAW, agar tak pernah berpaling mengikuti tipu daya setan.
Selebihnya isi Quran baik ayat-ayat maupun surah-surah di dalamnya, telah dijamin oleh Allah SWT, sebagai KalamNya melalui malaikat Jibril, langsung dari singgasanaNya, Arsy, sebagaimana tersurat dalam surah At-Takwir, ayat ke-19 dan ke-20.
Dengan demikian, terminologi satanic verses itu terambil dari kisah yang masih diperdebatkan kejadiannya secara nyata. Atau, sebenarnya istilah ayat-ayat setan adalah sebagai peluang, agar generasi mendatang, khususnya generasi muslim selanjutnya, menjadi ragu akan makna Kalam-Kalam Ilahiah dalam Quran.
Jikalaupun nyata, maka telah benar langkah kebijakan terobosan spektakuler yang ditetapkan oleh Kalifah Utsman bin Affan, yakni membukukan Kalam-Kalam Ilahiah sebagai kitab suci umat Islam, yakni Al-Quran.
Bukan sebagai karya literasi, namun lebih kepada mengumpulkan catatan wahyu-wahyu Ilahiah, semasa syiar Islam oleh nabi Muhammad SAW.
…mengakui KeEsaanNya, dalam memaknai apapun ciptaanNya, menjadi paling utama.
Menjadi Mukmin itu Mengakui 99 Asmaul Husna
Dengan demikian, tentang novel berjudul satanic verses, bisa termaknai pula sebagai bagian dari kampanye tersembunyi, berupa tatanan edukasi oleh sebagian kalangan Orientalis, sejak abad ke-19 itu.
Dalam memaknai isi Quran perlu ketetapan hati, iman, berserah diri dan memaknai Kalam-KalamNya dalam cakupan Tuhan Yang Maha Esa.
Sebaliknya dalam karya literasi bergenre novel, yang dalam hal novel tersebut terkategori fiksi-realisme magis, maka tak ada ketentuan akan keimanan, keteguhan hati, menjadi berserah diri (muslim) dan mengakui KeEsaaNya, bagi para pembaca karya literasi dimaksud.
Malah, membaca karya literasi yang demikian, bisa-bisa membawa pembacanya kepada alam berpikir terlampau liar, melampaui sebuah dogma. Misal, bahwa sebagai Pencipta, maka Dia punya sifat-sifat mulia sebagaimana terwakili dalam makhluk-makhluk ciptaanNya, seperti manusia berakhlak mulia, para nabi dan rasul, juga sebaliknya punya sifat jahat selayaknya iblis dan setan.
Nah, bagi pembaca pun pembelajar muslim, yakni orang yang berserah diri yang mukmin, tentu sangat menghindari pikiran liar dan lancang yang demikian. Pilihan untuk mengakui KeEsaanNya, dalam memaknai apapun ciptaanNya, menjadi paling utama.
Oleh karenanya, bagi muslim yang mukmin, maka mengakui KeEsaanNya, tersurat pun tersirat sebagai 99 Asmaul Husna Allah SWT.
Dengan demikian, novel The Satanic Verses adalah suatu karya literasi yang menanam cara berpikir kritis nan liar, dalam kerangka bahwa kelak bagi generasi mendatang, bakal menuai keraguan untuk menjadi beriman.