…telah mendapat bimbingan Ilahiah untuk melakukan ruku’ dan sujud…

Shalat Bukan Sekedar Perintah

Masih terkait dengan tulisan 
Manusia dan ‘Manusia’, maka terdapat satu ayat dalam kitab Quran, berisi Kalam Ilahiah perihal sebutan Yaa Bani Adama dan Yaa Ayyuhaladzina Amanu, yang masing-masing menyiratkan penyebutan tentang adanya anak dan cucu Adam serta orang-orang yang beriman.

“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh dan dari keturunan Ibrahim dan Israil dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Quran Surah ke-19; Maryam ayat 58).

Ayat dalam surah tersebut juga menjadi salah satu ayat yang menyuratkan perintah Shalat kepada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad SalAllahu Alaihi Wassalam mendapat perintah Shalat dalam peristiwa spektakuler yang melampaui batas nalar dan imajinasi manusia, yakni; Isra' Mi'raj.

Semua nabi keturunan nabi Ibrahim Alaihis Salam baik dari garis keturunan nabi Iskak, yakni; bani Israil dan keturunan nabi Ismail, yakni; bani Arab, telah mendapat perintah mendirikan Shalat.

Dalam Quran telah disampaikan banyak para nabi telah mendapat bimbingan Ilahiah untuk melakukan ruku’ dan sujud sebagai wujud mendirikan Shalat. Mulai nabi Ibrahim Alaihis Salam, nabi Ismail Alaihis Salam, nabi Sulaiman Alaihis Salam, nabi Yunus Alaihis Salam, nabi Syuaib Alaihis Salam, nabi Musa Alaihis Salam, nabi Isa Alaihis Salam hingga nabi Muhammad SalAllahu Alaihi Wassalam.

Jadi, sebagaimana teladan orang-orang saleh terdahulu, yakni para nabi dan rasul, maka Shalat itu bukan sekedar ritual fisik yang terdapat momen membaca doa-doa semata. Namun juga sebagai ibadah, sebagai pernyataan sikap untuk menyembah keAgunganNya dan mengakui keEsaanNya.



…keduanya dibutuhkan agar seseorang bisa selamat mencapai tujuan akhir…

Karunia Isra’ Mi'raj

Perjalanan seorang manusia pilihan di tengah malam dalam waktu sekejap, menembus hingga lapis langit ke tujuh untuk berjumpa dengan Sang Pencipta dan orang-orang terdahulu pilihanNya.

Perjalanan menembus ruang dan waktu, yang meski saat ini dinilai memungkinkan oleh temuan ilmu pengetahuan, namun tetap hanya bisa dimaknai dalam balutan iman.

“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Demikian Tuhan berfirman sebagaimana disampaikan dalam Quran Surah ke-17; Al Isra ayat 1.

Tak hanya perjalanan singkat pada malam itu di dalam bumi, yakni Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa atau disebut sebagai perjalanan Isra’, namun juga nabi Muhammad SalAllahu Alaihi Wassalam sang manusia pilihanNya, juga diperjalankan dalam waktu singkat keluar dari bumi menuju ke suatu tempat di langit ke tujuh, yakni Sidratul Muntaha, atau disebut perjalanan Mi’raj, untuk bersua langsung dengan Tuhan, Sang Pencipta alam semesta. Bahkan, jarak sang nabi dengan Tuhan hanya seukuran dua ujung busur panah, bahkan lebih dekat lagi.

Amanah dari Sang Pencipta untuk menjalankan Shalat bagi sang manusia pilihan beserta pengikutnya, telah membuka akal dan wawasan baru bagi manusia, bahwa suatu tata cara baku untuk mengakui keEsaanNya bakal menjadi ruang bagi manusia untuk beribadah memuliakan bumi beserta isinya, hingga akhir waktu nanti.

Shalat adalah tata cara mengakui keagungan Tuhan, dengan waktu-waktu pelaksanaan, lantunan ayat-ayat suci, gerakan mulai takbir hingga salam serta hal-hal lainnya yang menjadikannya sah, telah dibakukan merujuk teladan sang manusia pilihan, pengemban amanah menebar pesan-pesan Ilahiah bagi para pengikutnya, agar mereka tak salah arah dalam menjalani kehidupan di dunia fana..

Tata cara Shalat menjadi suatu Ritual yang berdampingan dengan Ibadah, yang keduanya dibutuhkan agar seseorang bisa selamat mencapai tujuan akhir, baik selama berada di alam fana, maupun kelak di alam akhirat.

Ibarat perahu di atas sungai, Ritual adalah biduk, sementara Ibadah adalah penggerak penentu arah biduk, yakni; kayuh.

Jika Ritual dilakukan tanpa menjalankan Ibadah, maka biduk bakal mandek, pasif dan hanya mengikuti arah air sungai mengalir, tanpa tahu kemana arah dituju. Bisa selamat, bisa pula sebaliknya.

Sebaliknya, apabila Ibadah tanpa diiringi Ritual, maka seseorang hanya berbekal kayuh lalu nyemplung ke sungai. Malah runyam karena orang itu bisa langsung kelelep, tenggelam.

Oleh karenanya, mengutamakan pemahaman akan Ritual mengakui kebesaranNya dalam bentuk menjalankan Shalat sedari belia, adalah proses membuat kapasitas biduk semakin mantab.

Setelah itu, seiring bertambahnya wawasan, pengetahuan dan pengalaman hidup, maka seseorang lalu diajarkan untuk mengayuh biduk tersebut, menjadi suatu Ibadah, menuju tujuan akhir yang diharapkan. Yakni; kondisi yang selamat baik di dunia maupun di akhirat.

Mengimani peristiwa Isra’ Mi’raj, sejatinya memahami bahwa setiap kehendakNya adalah karunia.

Karena, tiada sedikitpun dari setiap kehendakNya adalah kesia-siaan belaka.

Selamat merayakan Isra' Mi'raj tahun 1444 Hijriah, 18 Pebruari 2023 juga setelah-setelahnya, hingga akhir masa selalu memaknai segala perintahNya sebagai karunia.