Sebulan yang lalu, ibu saya didiagnosa terkena penyakit kanker getah bening. Penyebarannya sudah meluas, meskipun organ vital seperti jantung dan paru-paru masih aman.
Buat kami anak anaknya berita ini cukup mengejutkan mengingat ibu saya sebetulnya tipe wanita yang luar biasa kuat. Saya sebut luar biasa dikarenakan beliau adalah pekerja keras dan meskipun diusianya yang sudah 77 tahun, beliau masih tetap penuh semangat untuk belajar dan melakukan hal-hal baru.
Kehidupan yang dijalani beliau selama ini cukup sehat, setidaknya menurut kami sebagai anak-anaknya. Aktif di kegiatan organisasi agama di dekat rumah dan pola makan vegetarian. Seharusnya sakit ini tidak mengenal beliau. Tetapi apa daya, inilah kenyataan yang disampaikan oleh dokter yang merawatnya pada saat itu.
Informasi bahwa penyakit yang sudah menyebar dan bahwa usia yang sudah lanjut tidak memungkinkan bagi beliau untuk menjalani operasi juga merupakan hal yang tidak menyenangkan buat kami dengar. Seolah kami diminta untuk pasrah sambil memohon keajaiban di suatu ketika.
Kami dihadapkan pada tugas untuk terus berusaha sekuat tenaga memberikan dukungan dengan obat-obatan setiap harinya sambil menjaga beliau sebagai bentuk bakti anak terhadap orangtuanya. Pengetahuan yang minim akan penyakit ini juga membatasi gerak akan apa yang harus dilakukan selain menjaga di rumah sakit secara bergiliran dan memastikan asupan obat-obatan sebagai metode alopatik guna mengurangi rasa sakit tanpa tahu dampak sampingan yang akan timbul jangka panjangnya terhadap si pasien.
Kanker bukanlah penyakit yang serta merta datang mengetuk pintu dan menyapa apa kabar, dan bisa kita persilahkan pergi bila kita tidak menyukainya. Penyakit ini merupakan bentuk akumulasi ketidakmampuan tubuh yang mungkin kita zolimi sekian waktu. Apakah artinya Ibu saya telah menzolimi dirinya selama ini? Bisa jadi tanpa disadarinya, karena beliau selalu focus demi membantu ayah mencari nafkah demi kehidupan dan pendidikan anak anaknya.
Saya tidak akan membahas penyebab, sebab dokter pun bila ditanya jawabannya bisa beragam, entah karena mereka memang tidak tahu ataupun memang penyebabnya beragam yang sulit dijelaskan satu persatu.
Kembali ke ibu saya, kebiasaannya bekerja keras dikarenakan tuntutan hidup membuatnya kerap makan seadanya. Urusan makan bukanlah hal yang utama karena urusan perut anak dan pendidikan kami adalah yang utama baginya. Waktu begitu berharga untuk dilewatkan hanya sekedar untuk makan. Makan bisa apa saja tanpa perlu dipilih selama mengenyangkan sudah cukup. Jadi boro-boro konsep isi piringku seperti yang dicanangkan oleh departemen kesehatan diperhatikan dengan seksama. “gak ada waktu” untuk itu semua.
Judul besarnya makan vegetarian akan tetapi bukan sayuran segar melainkan sayuran seadanya, dan terkadang ‘daging’ bohongan untuk mengelabui rasa. Setelah ditelaah lebih lanjut ternyata lebih banyak kandungan tepungnya demi mendapatkan tekstur serupa protein nabati. Jadi konsep makan sayurnya tidak menaati aturan yang seharusnya dijalankan.
Penyakit yang datangnya yang perlahan ini bagaikan serangan pasukan yang menguat karena telah mengokupasi sejumlah organ. Merusak sel dan menimbulkan nyeri di otot dalam hitungan menit kemudian bergerak ke detik.
Lenguhan rasa sakit, ditambah suntikan jarum untuk ambil darah kemudian infus menimbulkan jejak hitam legam di sekujur tangan. Kesulitan mendapatkan nadi yang tepat jika tanpa dilakukan oleh dokter ahil juga merupakan satu tantangan tersendiri.
Di satu kala, ibu saya tidak nyaman dengan jarum infus yang tertancap ditangannya sehingga reflek mencabut, di tengah malam dokter anestesi muda harus kembali untuk memasangkan. Sambil menggerutu dokter tersebut melakukannya, yang buat saya luar biasa. Bagaimana seorang dokter yang tugasnya harus memasang infus ulang di tengah malam menggerutu dan menggurui keluarga pasien. Sepertinya tujuan awalnya jadi dokter mungkin hanya untuk gaya-gayaan bukan untuk menolong orang lain.
Rasa marah dan lelah mengikis dinding pertahanan kami pada waktu yang berbeda. Jaga malam bergantian di rumah sakit, menguras energi ditambah dengan melihat rasa sakit yang terus mendera karena ketidakmampuan obat mengeliminir semua bentuk sakit yang ditimbulkan membuat anggota keluarga memiliki pertarungan tersendiri di hati masing-masing.
Siapa yang tahan mendengar rintihan kesakitan dari orang yang kita cintai? Setiap rintihan yang keluar dari mulutnya terasa bagaikan mata pisau yang ikut mengiris hati.
Kondisi tubuh yang melemah dan nafsu makan yang hilang, membuat tubuhnya mengurus perlahan dan bisa terlihat jelas di wajah di mana pipinya semakin kempot, dan guratan keriput pada kulitnya semakin terlihat jelas.
Biaya rumah sakit, dokter maupun obat-obatan di Indonesia yang lumayan mahal dibandingkan dengan negara lain adalah bumbu penambah kekhawatiran. Asal tahu saja, peningkatan biaya rumah sakit di Indonesia sekitar 11%, menurut Mercer Marsh Benefits di tahun 2016. Lebih hebat dari inflasi tahunan maupun bunga deposito bank sekarang.
Bila ada asuransi kesehatan, maka setidaknya ini tidak akan menjadi masalah. Tetapi bagaimana bila tidak? Mengingat asuransi masih sering dianggap sebagai biaya yang belum mendesak dan bukan investasi masa depan bagi masyarakat kita.
Bagi si pasien, perlahan semangat untuk bisa diobati namun tidak segera ditemui jalan keluarnya juga mengupas perlahan rasa sukacita dan percaya diri. Jikalau ini dibiarkan maka si penyakit akan semakin merajarela di dalam tubuh tidak hanya menyerang fisik tetapi juga mulai ke immunitas dengan rasa stress dan ketidaberdayaan berkelanjutan.
Bagi saya bersama kakak dan adik meskipun dengan permasalahan kami masing-masing, perjuangan ini belum berakhir. Tugas kami adalah tidak boleh memadamkan bara semangat di hati dan ikut mengobarkannya untuk ibu kami. Masing-masing dari kami memiliki pergumulan sendiri di dalam batin melawan rasa khawatir, frustasi dan ketakutan yang tidak bisa kami ungkapkan satu sama lain, selain mengucurkan air mata dan berusaha menutupnya jikala bertatapan dengan orang lain.
Apa yang kami lakukan sekarang dengan jaga malam dan menemani ibu tidak akan cukup untuk membayar semua kasih sayang yang pernah dicurahkan oleh ibu kepada kami. Meskipun melelahkan dalam pengertian harafiah kami masih terus mencari cara yang siapa tahu akan kami temukan segera guna kesembuhan bagi ibunda. Semangat!