Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi-politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Pemahaman dan praktik partisipasi selama ini diwarnai oleh sejumlah jebakan yang membuat partisipasi kurang bermakna, dan advokasi partisipasi menjadi tunggang langgang. 

Pertama, partisipasi sebagai mobilisasi. Kalau butuh dukungan (material dan fisik), pemerintah selalu menggunakan pendekatan mobilisasi, yang juga diyakini sebagai partisipasi. Di setiap sudut kota, kita selalu melihat tulisan besar yang kental mobilisasi: “Partisipasi masyarakat membayar pajak merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.”

Tidak hanya lewat tulisan, para pejabat selalu menyerukan agar masyarakat mempunyai kesadaran yang tinggi dalam membayar pajak. Dalam bahasa kasarnya, mobilisasi ini adalah pemaksaan dan eksploitasi, sebab akumulasi pajak rakyat yang diikuti dengan akumulasi pejabat. Mobilisasi sangat tampak terjadi di tingkat komunitas lokal dengan kebiasaan gotong-royong dan swadaya Masyarakat.

Gotong-royong dan swadaya masyarakat sebenarnya merupakan modal sosial yang telah lama tumbuh dalam masyarakat. Akan tetapi, selama ini keduanya dimanipulasi dan dimobilisasi oleh pemerintah sebagai ukuran konkret keberhasilan pemerintah dalam menjalankan agenda pembangunan. Pemerintah selalu mengucurkan dana terbatas sebagai stimulan untuk mendukung pembangunan di tingkat komunitas maupun desa.

Karena sifatnya stimulan, maka dana bantuan dari pemerintah dibuat sekecil mungkin, sedangkan gotong-royong dan swadaya masyarakat yang diharapkan lebih besar ketimbang dana stimulan. Pemerintah dengan menggunakan instruksi kepada Kepala Desa, Kepala Dusun, maupun Ketua RT melakukan mobilisasi besar-besaran terhadap swadaya dan gotong-royong masyarakat.

Jika akumulasi gotong-royong dan swadaya yang diuangkan menjadi lebih besar ketimbang dana stimulan, maka pemerintah akan mengklaim bahwa dirinya berhasil. Demikian juga sebaliknya.

Kedua, partisipasi dipahami sebagai bentuk dukungan masyarakat. Pemerintah maupun parlemen yakin betul bahwa mereka memegang kekuasaan (jabatan) karena memperoleh mandat dan kepercayaan dari masyarakat melalui proses pemilihan umum.

Karena telah memperoleh mandat, maka menurut peraturan perundang-undangan, mereka mempunyai kewenangan dan kewajiban membuat kebijakan maupun peraturan yang sedikit banyak mengikat rakyat. Di tingkat daerah, Bupati/ Wali Kota dan DPRD mempunyai kewenangan dan kewajiban menyiapkan peraturan Daerah (Perda), termasuk perda yang menjadi justifikasi untuk memberi beban kepada masyarakat, misalnya tentang pajak dan retribusi daerah. 

Setelah menduduki jabatan, pemerintah dan parlemen itu membuat serangkaian kebijakan (mulai dari propenas, rencana strategi hingga RAPBD), yang mereka yakini untuk menciptakan keterbatasan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Rancangan kebijakan yang indah tersebut kemudian disosialisasikan kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pemerintah.

Dalam setiap pidatonya, para pejabat selalu mengatakan bahwa mereka dalam mengemban mandat rakyat tidak mungkin berhasil kalau tidak didukung oleh partisipasi masyarakat. Karena itu, para pejabat selalu meminta dukungan partisipasi masyarakat.

Dukungan berarti memberikan persetujuan terhadap rencana kebijakan pemerintah (meski rencana itu disusun secara sepihak), mematuhi dan menjalankan kebijakan atau peraturan yang telah disiapkan, serta berkorban atas energi maupun materi agar kebijakan bisa berjalan. Sebagai contoh, dukungan paling konkrit adalah membayar pungutan (pajak dan retribusi) yang telah ditetapkan dalam peraturan. 

Masyarakat yang tidak mau membayar pajak berarti sebagai warga negara yang tidak baik, yakni tidak mendukung, tidak sadar, dan tidak patuh pada peraturan. Dengan demikian, dukungan itu merupakan sesuatu yang dipaksakan oleh instrumen kebijakan atau peraturan.

Ketiga, partisipasi dipahami dan dipraktikkan sebagai bentuk sosialisasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Dalam konteks kebijakan, pemerintah merasa perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk memberi tahu sebelum kebijakan dilaksanakan agar tidak terjadi gejolak dalam masyarakat. Dalam proses sosialisasi, yang terjadi adalah “Anda bertanya, saya menjawab,” atau semacam komunikasi yang monolog. 

Repotnya, kalau kebijakan itu tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sekalipun ada sosialisasi, pasti akan terjadi gejolak dan penolakan. Kejadian ini sering terulang, tetapi pemerintah tidak pernah belajar dari kesalahan. Kenapa tidak mengubah pola sosialisasi menjadi konsultasi sejak awal?

Pemahaman seperti ini sebenarnya juga dikonstruksikan oleh para ilmuwan sosial yang berhaluan teknokratis. Menurut mereka, pembuatan kebijakan tidak bisa diserahkan pada rakyat banyak yang sebenarnya tidak mempunyai pemahaman yang memadai, melainkan harus disiapkan oleh pihak-pihak yang betul-betul ahli dan paham tentang masalah, yang dimulai dengan policy research yang memadai.

Keempat, partisipasi dipahami dalam pengertian nominal, yakni menjatuhkan pilihan (vote), bukan dalam pengertian substantif, yakni menyampaikan suara (voice). Sering muncul argumen bahwa partisipasi secara dengan melibatkan seluruh warga masyarakat tidak bakal terjadi, sehingga membutuhkan pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum secara berkala.

Partisipasi warga dalam menentukan pemimpin dan wakil rakyat itu dianggap sebagai bentuk penyerahan mandat dari warga untuk dikelola secara bertanggung jawab. Dalam praktiknya, proses pemilihan umum itu hanya membuahkan lembaga-lembaga formal.

Kelima, partisipasi cenderung dipahami dalam kerangka formal prosedural. Kalau sudah ada pemilihan dan lembaga perwakilan, tampaknya dianggap sudah ada partisipasi. Kalau Perda sudah memberikan jaminan, kalau musrembangdes sampai rakorbang digelar, kalau DPRD sudah melakukan dengan pendapat, dan sebagainya, dianggap sudah ada pelembagaan partisipasi.

Pihak kabupaten sering menyampaikan klaim bahwa perencanaan pembangunan daerah berlangsung partisipatif karena rakorbang yang digelar telah melibatkan berbagai stake holders yang ada. Aktivis NGO juga sering terjebak dalam pola pikir formal-prosedural ini. Dalam melakukan advokasi partisipasi, kalangan NGO hanya berpikir tentang siapa yang berpartisipasi dan bagaimana berpartisipasi.

Mereka cenderung mengabaikan aspek apa yang akan dibawa dalam partisipasi. Karena tidak membawa apa (substansi) yang betul-betul dibangun secara partisipatif dengan konstituen, mereka biasa bersikap frontal, misalnya dengan mengeluarkan pernyataan politik “TOLAK” ketika merespons naskah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Sering munculnya kata “TOLAK” itu memperlihatkan bahwa kalangan NGO sebenarnya tunggang langgang, kedodoran, atau tidak mampu menyiapkan naskah sanding yang betul-betul memadai untuk disandingkan dengan naskah kebijakan pemerintah.

Keenam, jebakan tirani partisipasi, yang sering terjadi di sektor pejuang masyarakat. Mereka yang sangat romantis terhadap masyarakat mengatakan bahwa partisipasi adalah segala-galanya dalam pemerintahan dan pembangunan. Apa pun kata rakyat, itulah yang terbaik, karena rakyat tidak berbuat salah. 

Semuanya harus ditentukan secara partiipatif, sehingga terkesan menihilkan otoritas pemerintah dan representasi wakil rakyat yang telah diberi “mandat” oleh rakyat. Kita sering mendengar jargon-jargon baru yang menyerukan partisipasi: participatory governance, participatory development, participatory budgeting, APBD Partisipatif, dan seterusnya.

Bagi pejuang masyarakat, partisipasi dianggap sebagai esensi dasar demokrasi dan pemberdayaan, yang memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan lebih terkontrol dan akuntabel.

Mereka beritu getol memperjuangkan partisipasi juga karena didasarkan pada ketidakpercayaan (distrust) pada pemerintah dan parlemen. Secara empirik, pemerintah dan parlemen yang telah memperoleh mandat dari rakyat hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak akuntabel, tidak peka (responsif), dan tidak dapat dipercaya.

Cara pandang tirani seperti ini cenderung mengedepankan pendekatan konfrontatif antara warga masyarakat dengan pemerintah, sehingga semakin menjauhkan proses pembelajaran dan trust building.