Sudah tiga hari aku tidur sendirian. Apa-apa dikerjakan sendiri. Suamiku Nur pergi ke luar negeri untuk keperluan bisnis. Negara yang dikunjungi kali ini adalah Jepang. Dia bertemu rekan bisnisnya membicarakan rencana membangun usaha butik berskala internasional.

Sebelum terbang ke Negeri Sakura, Nur banyak meminta pendapat dari sejumlah desainer ternama tanah air. Jepang akhirnya menjadi pilihan karena saat sekarang didaulat sebagai kiblat fashion dunia. Kebetulan, suamiku memiliki teman yang sukses membangun usaha disana.

Keberadaan temannya itu membuat tekad Nur semakin bulat. Dia yakin usahanya akan sukses. Bisnis butik yang akan dibangun diyakini akan merajai pasar dan menjadi distributor fashion artis Hollywood ternama dan pejabat dunia.

Nur terbang sendirian. Dia tidak mengajakku meski agak lama akan berada di Jepang. Jika sesuai jadwal, pria yang menikahiku tiga belas tahun silam itu akan berada di Jepang selama 15 hari. Setengah bulan berjauhan dengan istri bukan tanpa risiko.

Godaan para geisha bukan tidak mungkin terjadi. Minum-minuman keras dengan ditemani perempuan di klub malam pun bisa saja terjadi. Hati kecilku sempat dilanda kekhawatiran luar biasa. Walau bagaimanapun, Nur adalah lelaki normal yang bisa saja tergoda perempuan bening nan aduhai.

Tetapi kondisi seolah tidak berpihak pada khawatir yang membuncah di relung hatiku. Nur pergi dalam keadaan kesal dan marah padaku. Pemicunya sepele. Fantasi liarnya tidak aku turuti. Dia ingin penampilanku di permak. Rambutku yang hitam kemerahan harus dicat pirang.

Seperti contoh foto yang disodorkan, rambut pirang yang diinginkan bukan hanya sebagian. Tapi sepenuhnya pirang mulai dari pangkal hingga ujung. Permintaan ini sulit kuturuti. Bukan karena malas datang ke salon, tapi rambut pirang seperti permintaan suamiku itu akan membatasi ruang gerakku.

Di rumah, biasanya aku mengenakan pakaian seadanya. Kaus oblong dan celana pendek dengan rambut tergerai. Bagaimana bisa aku membiarkan rambut pirangku tergerai sementara anak-anakku sudah mulai tumbuh besar. Aku malu pada mereka karena merasa tidak memberi contoh yang baik.

Sekalipun perempuan berambut pirang tidak salah, tetapi tidak kaprah. Bagaimana jika anak sulungku yang perempuan juga ingin berambut pirang sepertiku. Bagaimana caraku melarang keinginan anak sementara aku melakukan. Bagaimana jika anak lelakiku bercerita pada gurunya di sekolah kalau rambut mamanya yang setiap keluar rumah mengenakan hijab ternyata pirang seperti perempuan nakal.

Kekhawatiran itu yang membuat keinginan Nur belum aku penuhi. Tapi hanya persoalan rambut yang belum aku penuhi. Permintaan lainnya sudah ku babat habis sekalipun permintaan itu terkesan gila dan tidak masuk akal. Salah satu contohnya, Nur memintaku membesarkan "masa depan" dengan mengoleskan minyak bulus yang didapat dari temannya dari Arab. Sudah kuturuti. Hasilnya luar biasa memuaskan.

Nur juga meminta hutan lebat di area sensitifku digunduli agar tidak menimbulkan aroma busuk. Pun sudah kuturuti. Tinggal  rambut pirang yang belum aku lakukan. Jadilah dia marah dan terbang ke Jepang sendirian.

Tiga hari sendirian di rumah sangat membosankan. Anak-anakku kutitip di rumah umi. Mereka libur sekolah lantaran wabah korona. Semua aktivitas belajar mengajar dikerjakan secara virtual. Anak-anakku bisa melakukan semua itu tanpa perlu bantuan.

Dalam lamunan, aku teringat pada Andra, kekasihku. Lebih tepatnya mantan kekasih yang masih merajai otak dan hatiku. Sekalipun aku sendiri yang memutuskan hubungan, tapi bayang dan segala tentang dia masih saja terngiang.

Jenakanya, leluconnya, tawanya, tatapannya, bibirnya dan semua tentang dia masih tergambar jelas di layar besar ingatanku. Bahkan setiap sudut kota yang pernah kami singgahi seolah menyimpan senyum Andra yang kapanpun aku melintas, seluruh organ tubuhku terasa luluh tak berdaya.

Kenangan demi kenangan membuat rinduku bergemuruh. Aku ingin bertemu Andra. Aku ingin keliling menyusuri sudut kota hingga desa yang pernah kami singgahi dulu saat bersama. Tapi bagaimana jika suamiku tahu aku tidak dirumah. Dia pasti marah besar. Segudang dalil akan terlontar dari mulutnya untuk menghakimiku. Aku berpikir sejenak. Lalu kuputuskan menghubunginya.

"Dobroye utro, sayang. Apa kabar. Kamu tidak kangen Mama?" Aku mengirim pesan melalui WA menyampaikan selamat pagi menggunakan bahasa Rusia untuk menggoda suamiku. Nur beberapa kali mengajakku liburan ke Rusia. Dia ingin menuntaskan fantasi seksnya di Kota Moskow.

Sebuah kota dengan angka akses film porno tertinggi di dunia. Rusia menjadi negara idaman untuk dikunjungi Nur dengan berbagai macam alasan. Diantaranya karena negara penuh sejarah itu pernah menganut ideologi Atheisme Marxisme. Sebuah ideologi yang tidak percaya adanya Tuhan.

Ajarannya meyakini bahwa agama hanya candu masyarakat yang harus dibinasakan. Mereka tidak percaya surga ada di akhirat. Bagi mereka surga ada di dunia yang harus diciptakan tanpa aturan agama. Paham inilah yang berefek pada kehidupan bebas warganya. Seks bebas sudah seperti tontonan biasa.

Suamiku Nur sangat berfantasi mendegar sejarah negeri surga dunia itu. Bahkan keinginan ngotot agar rambutku dicat pirang se pirang-pirangnya juga karena Rusia. Nur ingin melihatku tampil seperti Tsarina Rusia yang berpenampilan modern.

Mengenakan palto dan syal melilit di leher, sepatu boots dan rambut pirang tergerai seraya meminum vodka ditemani sebatang rokok dan asap mengepul dari bibir manisku. Nur ingin aku tampil seperti Nonik Rusia. Seperti Tsarina Rusia yang berhasil melumpuhkan hati para kaisar.

Dalam imajinasinya, Nur adalah kaisar yang lumpuh pada pesona Tsarina Rusia berwujud aku, perempuan tomboy yang berpenampilan seadanya. Mirip seperti kaisar terdahulu yang takluk pada pesona Tsarina bernama Anastasia Romanovna, Praskovia Zhemchugova dan Mariya Naryshkina.

Bagi Nur, jika penampilanku di permak, pesonaku tak kalah dengan Tsarina itu. Bahkan titisan permaisuri kaisar Rusia seperti Mila Jovovich, Anna Vladinirovna Shourochkina dan Natalia Vodianova diyakini tak mampu mengalahkan pesonaku. Dengan syarat, penampilanku harus dipermak.

Fantasi liar dan obsesi gila suamiku itulah yang membuat dia marah bukan kepalang. Dia menganggapku durhaka karena berani membantah titahnya. Dia menganggap aku layak dihukum cambuk karena seorang Tsarina berani menolah perintah kaisar.

"Dobroye utro, Mama. Ayah masih sibuk," kata Nur membangkitkan sadarku dalam lamunan. Kalimat "Mama" dan "Ayah" yang digunakan memberi sinyal bahwa amarahnya mulai luntur.

"Udachi," balasku mendoakan dia sukses. "YA ochen' po tebe skuchayu, Ayah," sambungku.

"Ayah juga sangat merindukan mama. Ingin sekali segera pulang tapi pekerjaan belum selesai. Mama baik-baik dirumah,"

"Mama izin keluar rumah boleh,?" kataku memelas.

"Mau kemana? Sama siapa? Ada perlu apa sampai harus keluar rumah? Kalau tidak penting, tidak usah keluar rumah," Jawabnya nyerocos.

"Mama mau ke salon. Mau menuntaskan hasrat Ayah yang ingin melihat Tsarina Rusia berbaring di singgasana ranjang empuk yang ayah beli tahun lalu. Atau Ayah sudah tidak tertarik lagi pada Tsarina karena banyak Geisha disana,?" sindirku.

"Hah? Beneran Mama mau cat rambut seperti yang ayah minta? Kalau benar, boleh keluar rumah, dengan senang hati," kata Nur kegirangan.

"Ya sudah kalau benar diizinin Mama berangkat ke salon. Treatmennya butuh waktu lama. Sekitar 15 jam untuk menghasilkan warna yang sesuai keinginan. Bisa jadi baru nanti malam Mama sampai rumah, bagaimana?

"Tidak apa-apa, ayah mengizinkan, kalau sudah di rumah kabari ayah. Jangan lupa foto dengan model ramput dan belahan dada yang bisa dipandang seketika," perintahnya tegas.

Sebenarnya untuk permak rambut menjadi seperti permintaan suamiku hanya butuh waktu paling lama dua jam. Temanku Berliana Vergaro sangat mahir urusan rambut. Saya pamit sampai malam karena ingin menemui Andra, mantan yang masih kekasihku.

***************

Jarum jam menunjuk angka 12.00. Seluruh proses treatmen rambuku selesai. Hasilnya memuaskan. Persis seperti yang diinginkan suamiku Nur. Masih banyak waktu untuk kuhabiskan bersama Andra.

"Dra, aku sudah selesai, jemput aku di salon Wungu," aku mengirim pesan pada lelaki yang masih menguasai otak dan seluruh hatiku itu. Tidak lama berselang, mobil putih tiba. Klakson berbunyi dua kali sebagai tanda bahwa pengemudinya adalah lelakiku, Andra.

Aku langsung masuk mobil itu sebelum Andra keluar. Sebab, jika sampai mantan kekasihku itu menunjukkan wajahnya bisa berabe. Sebab, temanku Berliana Vergaro, si pemilik Salon Wungu itu tahu persis bahwa pria berambut ikal itu adalah mantan kekasihku.

"Apa kabar, bagaimana bisa pergi ke salon tanpa pengawalan suami," basa basi Andra mengawali perbincangan.

"Nur pergi ke Jepang, ada urusan," kataku ketus.

"Kalau begitu selama Nur di Jepang kau milikku seutuhnya. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa kita masih sama-sama saling cinta. Rasa yang terpendam dalam diri kita adalah kebenaran postulat. Kebenaran yang tak perlu dibuktikan dengan nalar dan akal," katanya.

Aku hanya terdiam. Semua kata-katanya benar. Aksioma rasa yang diucapkan tak lagi bisa disangkal. Aku memang masih mencintainya. Bahkan sangat mencintainya. Rasa yang terpendam sedikitpun tidak berubah. Tapi mulutku terasa kaku. Debar jantung seolah melumpuhkan seluruh syaraf dan nadiku.

Ada getaran luar biasa dalam dada. Ada aliran deras yang membasahi hutan dan ladang gersang. Kata-katanya seperti sihir yang membuat otakku beku. Bibirnya seperti sesajen yang ingin kulahap dan kulumat sampai tak tersisa. Aku sangat merindukan Andra.

Tanpa disadari, dua bola mata kami bertatap dalam jarak dekat. Sangat dekat. Teramat dekat. Tanpa sekat. Sampai kedua bibir yang lama tak bersua beradu bak serdadu yang saling menyerang musuh tanpa ampun.

Sungai yang megalir semakin deras. Semakin basah. Nafas ikut mendesah sampai tak ada sedikitpun resah. Semua yang terjadi di mobil ini adalah wujud rasa yang membuncah.

Sejenak kami terdiam. Hening tanpa kata. Lampu pijar di setiap sudut kota mulai benderang petanda hari sudah petang. Akupun diantar ke rumah dengan suasana masih hening. Hatiku sebenarnya sangat bahagia karena berhasil menundukkan ego dan gengsi di hadapan rasa.

Rasa yang tumbuh dan takkan mati sampai kapanpun. Sebenarnya aku masih rindu. Tapi harus kusudahi karena khawatir kebabelasan. "Aku bukan pelacur. Aku melakukan semua ini karena dorongan rasa cinta yang masih bersemayan di hati yang paling dalam," kataku lalu beradu kecup dan beranjak menuju rumah

Jarum jam menunjuk pukul 21.00. Aku nyaris lupa mengabari Nur. Terlihat ada 69 panggilan tak terjawab dari suamiku itu. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengirim foto sesuai permintaannya. Bahkan lebih dari permintaannya tadi pagi.

Senyumku mengembang. Aura semangatku terpancar. Seluruh syaraf di sekujur tubuh berpacu maksimal. Bahagia merasuki tubuh dan alam bawah sadarku. Kondisi seperti itu membuat Nur sangat bahagia.

"Ty ochen' seksual'nyy. YA khochu potselovat' tvoi sladkiye guby," kata Nur memujiku sambil mengucap ingin mengecup bibirku. Sementara aku tidak memedulikan pujian itu. Lamunan dan pikirku masih terus menjajaki deru dan desah perjalananku bersama Andra. Lelaki yang telah melumpuhkan otak dan pikirku dengan rasa. Sungguh kamilah pemuja Rasa. Rasa yang merdeka.